Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Wahyu Budiantoro

0

Mahabbah

Oleh: Wahyu Budiantoro

Puncak keberagamaan adalah al-mahabbah (cinta), kata Imam al-Ghazali. Kata mahabbah berasal dari kata hubb, yang sebetulnya mempunyai asal kata yang sama dengan habb, yang artinya biji atau inti. Sebagain sufi menyebutkan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan manusia. Mereka juga mengatakan bahwa hubb terdiri dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya ruh, dan ba berarti badan. Karena itu, hubb merupakan ruh dan badan dari proses keberagamaan.

Sebagai simbol luhur keberagamaan, cinta (mahabbah) bagi al-Ghazali merupakan orientasi utama kehidupan manusia sebagai hamba Allah SWT. Ibn ‘Arabi (via Hadi W.M., 2001) pun senada dengan al-Ghazali. Dia meyakini bahwa cinta merupakan prinsip pergerakan alam semesta. Hulu dan hilir segala penciptaan dan asal usul adalah Dia. Cinta yang diraih dan menggejala dalam setiap kesadaran transendensi umat manusia akan menjadi inti atau biji bagi tumbuh kembangnya keabadian dan kelezatan iman, di dunia maupun di akhirat. Peristiwa penciptaanpun diawali dengan cinta. Tanpa ada Cinta semua akan “diam” membatu.

Dalam Futuhat al-Makkiyyah (2017), Ibn ‘Arabi menjelaskan kesempurnaan penciptaan alam semesta oleh Allah SWT, menurutnya, tidak ada duanya, hingga tidak ada sesuatupun di dalam posibilitas (imkan) yang lebih sempurna darinya. Kemudian Dia memunculkan tubuh manusia hingga terlihat oleh pandangan mata. Maqom cinta (mahabbah) sebagai tingakatan ruhani manusia yang paling tinggi, merujuk kepada al-Ghazali, merupakan percikan atas sifat Al-Rahman Allah SWT. Dan cinta, tidak bersemayam di mata kepala, melainkan mata batin. Pandangan mata yang “sempurna” merupakan representasi dari Dzat yang Maha Memandang.  

Di dalam al-Qur’an, Allah SWT jelas memberi penakanan bahwa “adapun orang yang beriman sangat mencintai Allah (Q.S. al-Baqarah: 165) dan sesungguhnya jika kita (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah, niscaya Allah melumuri mangguyur manusia dengan keberkahan dan cinta abadi (Q.S. al-Imran: 31-32).

Dalam tradisi tasawuf, cinta (mahabbah) merupakan interaksi intensif antara tiga “subjek”, Allah SWT, manusia dan alam semesta. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kuswaidi Syafi’ie (2016) dengan mengutip potongan syair Mansur al-Hallaj, aku adalah engkau dan engkau adalah aku atau ana al-Haqq. Dalam konteks sebaris puisi tersebut, Mansur al-Hallaj aku-engkau dalam cinta telah berhasil mengubah struktur dan hierarkhis menjadi orkestrasi sepadan yang memukau. Itulah sebabnya al-Hallaj mengungkapkan ketakjubannya tidak saja kepada Allah SWT yang dipersonifikasikan sebagai kekasih satu-satunya yang bertahta di puncak segala impiannya, tetapi, juga kepada dirinya sendiri yang telah dibebaskan oleh cinta dari segala atribut yang fana, sia-sia, suram dan nista.

Seluruh ciptaan di alam semesta merupakan proyeksi atau citraan dari Dzat Agung yang penuh cinta dan kasih sayang. Artinya eksistensi Allah SWT maujud dalam bentuk jasmani dan ruhani manusia dan alam semesta, meskipun Allah SWT tidak membutuhkan bentuk-bentuk (zahir) tersebut. Oleh karenanya, Mulyadhie Kartanegara dalam Menyelami Lubuk Tasawuf (2006), berpendapat bahwa orang yang mencintai sesuatu, yang tidak punya keterkaitan dengan Allah SWT maka, orang itu melakukannya dengan kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah SWT. Adapun cinta kepada selain Allah SWT, tetapi, masih terkait dengan Allah SWT, maka hal tersebut masih dipandang baik.

Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi menerangkan hakikat cinta dengan indah:

Yang Menerangkan Cinta Adalah Cinta Sendiri
 
...
Cinta akan membimbing kita ke Sana pada akhirnya
Pikiran akan gagal menerangkan cinta
Seperti keledai di lumpur. Cinta sendirilah pegurai
Cinta
Tidaklah matahari sendiri yang menerangkan matahari?
Kenali ia! Seluruh bukti yang kaucari ada di Sana.
 
Cinta oleh Jalaluddin Rumi diposisikan sebagai realitas mutlak yang tidak dapat ditafsri dengan alam pikiran (logika) manusia semata. Hanya keterbukaan hati dalam menerima segala macam bentuk gejala transendensi (Ilahiah) yang dapat menghidupkan kesadaran cinta kepada hakikat tertinggi, Allah SWT. Melalui puisi-puisinya, Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin lewat cinta, bukan semata-mata dengan kerja yang bersifat fisik. Juga dalam puisinya, kita bisa membaca bahwa Allah SWT, sebagai satu-satunya tujuan, tak ada yang menyamai. Karena itu, dalam menggambarkan Allah SWT, hanya mungkin lewat perbandingan, di mana yang terpenting adalah makna dari perbandingan itu sendiri, bukan wujud lahiriahnya atau interpretasi fisiknya.

Rasulullah Saw. menjadi salah satu referensi utama bagi para sufi untuk terus mengobarkan api cinta kepada Allah SWT dan sesama manusia. Nabi Muhammad Saw., dalam catatan Haidar Bagir (2017), pernah bersabda secara kategoris berikut: “Pangkal agama adalah pengenalan hakiki (makrifat) akan Tuhan”, sedangkan “makrifat itu adalah akhlak yang baik,” sementara “akhlak yang baik itu adalah silaturahim: memasukkan rasa bahagia ke dalam hati sesama.”

Sabda tersebut jelas menjadi amanat sufistik sekaligus profetik yang idealnya harus dilaksanakan oleh semua manusia. Oleh karena itu, Haidar Bagir mengungkapkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman saja kurang lengkap, apabila belum disertai Rukun Ihsan. Rukun Ihsan inilah disebut olehnya sebagai pilar cinta. Karena, Rukun Ihsan adalah melakukan amal yang paling indah, paling sempurna (yang penuh keintiman) dengan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan penuh solidaritas kepada sesama makhluk-Nya.

Sosok Nabi Saw. yang welas asih dan penuh dengan cinta inilah yang menjadi dasar epistemologis bagi Syekh Bushiri dalam Kasidah Burdah-nya yang memukau. Dia menggambarkan keagungan Nabi Muhammad Saw. ibarat raja: Jika kau melihatnya di tengah dan hamba-hambanya/ lihat, kebesaran pribadinya tidak ada tolok bandingannya/. Selain itu, Syekh Bushiri juga menulis demikian:

Muhammad adalah raja dua alam, manusia dan jin
Pemimpin dua kaum, Aran dan bukan Arab
Nabi kitalah dia, yang menganjurkan dan melarang,
Tidak ada duanya dia, terpercaya dalam berkata Ya dan Tidak,
Kekasih bagi mereka yang mengharapkan uluran tangan
Di tengah kezhaliman dan ancaman kekejaman
Diserunya kita kembali kepada Tuhan
Yang berpegang teguh memperoleh tali pegangan yang kuat
Sifat-sifatnya mengungguli nabi-nabi lain,
 
Tilikan Abdul Hadi W.M. (2016) atas sajak (na’tiyaah) Syekh Bushiri di atas mengabarkan makna bahwa kualitas dan sifat Nabi Muhammad Saw. melebihi nabi-nabi yang lain dalam konteks pengetahuan dan kesempurnaan makrifat. Dengan munculnya Nabi Muhammad Saw., pintu pengetahuan makrifat melalui metode lain di luar Islam telah ditutup bagi penganut agama Islam. Karena peran besar Nabi Muhammad Saw., al-Qur’an merasuk dan bersemayam di hati umat Islam di penjuru dunia. Oleh karena itu, cinta (mahabbah) dalam tradisi tasawuf ditujukan kepada puncak pengalaman tertinggi, Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Dia (Allah) akan “menyatakannya” sendiri kepada manusia. 


Tentang Penulis


Wahyu Budiantoro lahir di Purwokerto, 10 April. Saat ini ia tercatat sebagai Kepala Sekolah sekaligus pengajar di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Tulisannya sudah dimuat berbagai media, cetak maupun online. Setelah menyelesaikan studi Pascasarjananya, dia berkonsentrasi untuk menyelesaikan naskah buku ke-2 tentang sastra dan budaya. Tempat tinggalnya di Jl. Dr. Angka, Gg. III, No. 36, RT: 02 RW: VII, Sokanegara, Purwokerto Timur, Kab. Banyumas, Jawa Tengah, 53115. Sehari-hari bisa dihubungi via No. WA: 08979559154. 


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top