Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Abdul Wachid B.S.

2

TELUNJUK KIAI KHARIRI
 
Ada tegalan ilalang memutih
kembangnya di tepian pesantren
Ada tawaran mendirikan rumah
membayarnya dengan ngaji syi’iran
 
Saban kali Sang Kiai memanggil
pulangnya seperti kulakan hari raya
Setiap kali ada tamu bertandang
pulangnya salam tempel dan kenyang
 
Saku baju Sang Kiai seperti kantong seorang pesulap
Sepertinya tak habishabis lembar kertas itu
berpindah tangan, hingga seseorang segan
“Duh, Rama Kiai, mestinya para santri yang
 
memberi, tetapi kami senantiasa menerima?”
Jawab Kiai Khariri seperti langgam lama
“Ada yang datang, ada yang pergi
Ada yang menerima, ada yang memberi”
 
Bolakbalik berputar seperti telunjuk kanannya
menari, tarian dzikir samawi
Bagai gasing tarikat Maulawi
di tengah malam, di antara bukit Kaafi dan Nuun
 
“Gusti, kalaulah ada hidup hamba sahaya yang
menjadikan Baginda ridla purnama
Anugerahkanlah kemudahan bagi para santri
Agar cahaya ilmu menjadi petunjuk arah akhirati”
 
Ada tegalan ilalang memutih
kembangnya di tepian pesantren
Di sini bukan pemujaan seorang kekasih
Kini hanyalah kenangan seorang santri
 
Telunjuk Kiai telah terkubur umur
tetapi tariannya tak pernah hancur
 
 
Yogyakarta, 10 juni 2021



METAFORA


Cinta itu telah tumbuh
Akarnya mengakar kedalaman lubuk hati
Tanahnya keras berlapis-lapis
Menembusnya begitu linggis
 
Cinta itu telah tumbuh
Pohonnya merindang bagi burung-burung
Begitu tamparan angin mau merapuh
Akarnya mengokohkan, sambung-menyambung
 
Tapi begitu pemilik kebun mau mencabutnya
Akar-akar itu terasa mengelupas di lubuk hati
Ada rasa sakit berlapis-lapis
Ada beribu kenangan mengiris-iris
 
Kau aku hanyalah sepasang mata
Yang berharap-harap cemas
Linangan air yang suatu saat mengguris
Sampai lubuk hati yang mendebarkan bahagia
 
 
2020



WASILAH DUA SEJOLI
 
bangun-bangun malam
jendela buka
kerlip bintang
sapamu
 
tidak bisa tidur
cahya wajahmu
memotretku
berjaga
 
berwudlu ke fajar
jiwa yang tenang
pendakian
impian
 
bersujud tahajud
hujan fatihah
tumbuh hati
mulia
 
jumpa di dunia
sekali cinta
kau aku
swarga
 
 
yogyakarta, 22 agustus 2020


 
 SULUK PENYAIR
(Soni Farid Maulana)
 
mengikuti langkah para peziarah
ia sampai pada sebuah negeri, di mana
matahari berkabut, pohonpohon kesejukan
dan pada malam harinya 1000 bulan
 
memekarkan bungabunga kecubung, di taman
ia terkenang, menghirup aroma kota yang
terbakar, impian seorang gadis di depan cermin
sekalipun pada siangnya, kembali
 
ia saksikan krematorium matahari
“oh, kehidupan yang berbolakbalik arah
kemanakah para peziarah itu menuju?” bisik sepi
gelap menyergap, harihari tanpa mata hati
 
ia mencatat semua dan segala itu, di antara
salak anjing memperdingin tiang listrik
dipukul peronda, dan sunyi mempertegas
daundaun gugur, mengaburkan jalan pergi
 
oh ya, ia ingat, di bawah hujan keremajaan
ia mencoret nama desi, dan ia cabut widuri dari
luka hati lelaki yang menyingkir ke tepian kota
demi mengekalkan 1000 rembulan yang muncul
 
dari masa kanaknya, bersama seorang nenek yang
menari, di bawah hujan masa yang menua
“oh, kehidupan yang bagai hutan lambang
telah sempurna kuambung masa silam, dan
 
kini, matahari akan terus terbit di sebelah timur
benak dunia, menjadi arah para pekerja”
ia terus akan mengetuk gerbang kehidupan
ia membuka pintu cahaya
 
 
yogyakarta, 23 agustus 2020



PURWOKERTO-SOKARAJA
 
 
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Ada banyak keasyikan duniawi
Hawanya menyejukkan, mata memandang
Panorama kehijauan masih banyak dijumpa
Hawa yang lalulalang, berujung selendang
Lenggak-lenggok Ronggeng Sungai Serayu
Bertamu Sang Kekasih
 
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Ada soto atau getuk goreng Sokaraja
Lukisan-lukisan panorama tempo doeloe, begitu syahdu
Sajak Arif Hidayat dengan metafora segar di luar
Atau kedalaman Heru Kurniawan yang kuselami bagai lagu
Atau Mas’ut si Peziarah yang kabarkan di mana terakhir
Bertamu Sang Kekasih
 
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Sepertinya kuyakin dia masih datang-pergi di sini
Atau keluar-masuk di antara rak-rak buku
Di antara nisan makam Syekh Makdum Wali
Atau di puncak Walang Sanga yang entah di mana terakhir
Bertemu Sang Kekasih
 
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Ingin banget kutanya kepada Habib Abdul Hamid Sokaraja
Tapi sudah lama dia tak mau lagi berbahasa kata
Kecuali senyumannya lebih meyakinkan sapa
Adanya kasih sayang dan cinta
Padahal sekali itu saja dia berkata di mana terakhir
Bertemu Sang Kekasih
 
 
Yogyakarta, 2020

 


Tentang Penulis


Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur.  Wachid lulus Magister Humaniora Sastra Indonesia UGM, jadi dosen-negeri di IAIN Purwokerto, dan lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (15/1/2019). Buku terbaru karyanya : Kumpulan Sajak  Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus, Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), dan, Kumpulan Sajak Biyanglala (2020).


Tags

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Keren ayah... Selalu mencerahkan... 🌻🌻

    ReplyDelete
  2. Puisi-puisi sederhana dengan makna yang jelas bisa dicerna dan ditangkap indra. HB. Yasin pernah berkata di bukunya yang berjudul "Penyair Muda" penerbit Djambatan : "Puisi ada 2 kategori yaitu ada puisi yang gelap seperti kaca prismatis berwarna biru, hitam dsb. Puisi jenis ini kaya dengan metafora, simbol dan diksi yang bisa dirasa sesama penyair dan intelektual berwawasan luas dan sastrawan ilmuwan psikolog. Ada puisi yang seperti kaca es, terlihat bayang-bayang sosoknya atau benda disebaliknya, puisi jenis bisa dikatakan puisi remang-remang. Biasanya puisi tetap ada metafora, simbol namun tetap mengundang multi tafsir atau memberi keleluasaan interpretasi pada pembaca sesuai pengalaman batinnya. Puisi kategori ketiga adalah puisi seperti kaca transparan, bisa terang terlihat, bisa langsung dimengerti, bisa langsung didapat maksud penyairnya layaknya kaca transparan tembus pandang kita dapat menembuskan mata ke sebalik kaca. Puisi semacam ini bisa dijumpai di puisi-puisi WS. Rendra di masa-masa terakhir hidupnya seperti puisi pamplet, puisi kritik sosial, dan beberapa puisi penyair Taufiq Ismail, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi dan lainnya.

    Puisi Mas Abdul Wachid penyair Purworejo Indonesia ini menurut saya termasuk kategori puisi transparan dan puisi kaca es he he....Tabik....

    Salam Sastra Kreatif,

    Jang Sukmanbrata
    Bandung

    ReplyDelete
Join the conversation(2)
To Top