Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Teguh Trianton

1


Vertigo


apabila kepala telah diguncangkan
dengan guncangannya;
yang diam.

keseimbangan adalah; kursi-kursi sempoyongan,
tanah yang menari-nari, pohon berjalan sendiri-sendiri 
langit turun merendah, matahari berpindah dari sisi ke sisi, 
terbit dan terbenam bersama; 
nirjeda.

suara adalah; telinga yang menghunus dengung, 
seperti kawanan kolibri berputar, 
berpusar dalam perut yang pasang, 
yang surut bersamaan. 

aku tak mendengar apapun,
selain nafas yang berombak,
membuihkan nama-nama
yang tertanam entah sejak kapan,
lalu daun-daunnya merimbun
membuat mata pedut,
berlompatan dari dalam kepala
berpendar pendar, berpijar pijar
mengejar kunang-kunang 
yang terbang rendah di terik
bulan yang juga rendah.

apabila kepala telah diguncangkan 
dengan guncangannya;
siang dan dan malam adalah entah, 
aku harus bersiap kembali 
pada yang paling diam.



Di Luar Rencana


di luar rencana 
seperti hatimu duduk di bangku megah hatiku, 
tak perlu ada rencana, lantaran rindu dan cinta 
tak pernah dapat direncanakan.

di luar rencana, 
sepagi ini hujan membasahi kotaku
di luar itu, aku kirimkan pesan pendek;
“kau tahu, apa yang indah dari hujan?”

lalu kau membalas;
“dinginnya yang membuat lenganku 
melingkar di pinggang waktu“

lantas hujan meredakan dirinya
membebaskan cuaca dari apa saja
dari semesta prasangka 

Purwokerto, Juni 2016


Pengertian Dendam


dendam adalah sejenis pisau tumpul yang kita tusukkan ke hulu hati,
lalu benci adalah cinta yang berluberan menutup disiplin
: ada lebaran jarak antara keduanya yang ditipiskan ingin

aku masih menggigil sejak kau datangkan kopi
melembabkan pengetahuan dan almanak yang tergantung bebas 
di dinding yang juga lembab kopi.

: hari ini semua kalender tengah berlibur dari menerka peristiwa
mengenai semua yang basah atau yang terlanjur basah
oleh gerimis atau apa pun yang serupa dengan kopi.

Purwokerto, 2016-2017


Empat Peristiwa Kecil


[1]
di bawah lindugan hujan, 
waktu bersimbah bersimpuh di ujung 
hari terlilit dingin 

aku menyaksikan saat kau menghunus cuaca
melepas masa dari sarung ingatan; memuai dan menua,
batu-batu mengilap, lumut bertumbuh, tanah melicin, 
kaki-kaki khawatir tergelincir kenangan melompat jatuh 
melesap ke dasar ditumbuhi pohon-pohon berdaun basah

[2]
setelah hujan pertama,
embun tanpa sayap jatuh 
memutus musim memecah batu 
cuaca dan cinta

identitas;
aku sudah tak punya nama
saat pertama pernyataan cinta, 
tanggal seluruh identitas
menjadi apapun tertulis sebagai basah

[3]
menjelang hujan kedua
di kedip lampu dan bola matamu 
semua cerita ambyar
meninggalkan kunang-kunang 

: seperti detak jantung
rindu memiliki tempatnya sendiri 
di tempat paling jantung di jantungku 
sampai aku atau kamu berpacu lebih dulu
menghunus waktu menyelesaikan 
semua debar

[4]
setelah hujan kedua, 
sudah takada lagi puisi, lampu-lampu jalan memungutnya
menyelipkan di antara lengan dan lipatan bajumu di tubuhku
yang aku kenakan seperti tubuhmu dan bajuku 
menutupi cerita panjang menjelang pemakaman dada 

: setelah hujan sudah takada lagi puisi
hanya lembab batu nisan tertanam di kepala;
yang dipenuhi ingatan
 
Purwokerto, 2016-2017

Tentang Penulis:


Teguh Trianton, lahir di Purbalingga, bermukim di Purwokerto. Aktif di Komunitas Beranda Budaya (Purwokerto). Buku puisinya yang telah terbit berjudul Ulang Tahun Hujan (2012) dan Babad Tulah (2020).


Tags

Post a Comment

1 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Join the conversation(1)
To Top