Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Antologi Puisi Nizar Machyuzaar

0

Antologi Puisi Di Puncak Gunung Nun





 FRAGMEN BUMI YANG LAYAK HUNI

 

Tak seperti Planet Lainnya
Bumilah Satu-satunya Planet Layak Huni

 

Kemudian aku memuisi:

Kelahiranku, air mata pertama tumpah

Seprei, kasur, bantal, dan bale paraji 

tempatnya.

Juga seperangkat mitos begitu bahagia menyambut

seperti kelahiran Indonesia

Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa

Selembar samping dikadokan buat paraji

Seutas tali ari-ari ditanam di depan halaman rumah

Sepasang telinga menerima basuhan azan dan iqamat

Semua, atas berkat rahmat Tuhan Yang Mahakuasa

Konon, syarat keselamatanku menjalani hidup kemudian

Ya, ibu-bapak dan keluarga besar merelakanku lahir

menjadi penduduk bumi

Planet yang layak huni

 

Kemudian aku meneriak:

Kelahiranku, air mata pertama tumpah

Cahaya lampu ruang, bumi yang layak huni, 

ibu-bapak dan keluarga besar

Juga paraji dengan sentuhan kasih sayang tangannya

Seperti air mataku tumpah karena respons dari 

planet gelap

Mereka semua menumpahkan air mata

 

“Anakku anak pertama, kau terlahir laki-laki.

Sini Bapak gendong! Bapak timang-timang. 

Kelak besar, kau penerus bapakmu”,gumam bapak.

Sedang ibu tersenyum bahagia

 

Aku bayangkan perasaanku saat itu

Saat meneriak: 

“Salam keselamatan, salam keselamatan, salam keselamatan.

Aku telah bersaksi sebagai makhluk yang berbahagia bahwa

s(eorang ibu dengan rahman-rahim-Nya, telah melahirkanku.

Salam keselamatan, salam keselamatan, salam keselamatan.”

 

Begitulah kurang lebihnya:

Aku memuisi bersama malaikat-malaikat pembawa sejuk

bersama jin-setan yang renyah tawa

Dan teriakanku itu

duh, betapa setia dan membekas

 

Aku, makhluk yang berbahagia

- T(aksempat interupsi, mengapa dulu di planet gelap itu

menyetubuhi segumpal darah. Mungkin semacam kesemestian 

kehendak-Nya - 

resmi menjadi penduduk bumi

Planet yang layak huni




The Oldiest Songs 


Aku membaca pagi

Malam penempuhanku 

seperti doa purba yang mengabu.

Kurelakan hati menjelajahi segala

kemungkinan

Menerima teriakan dan keberadaan

sebagai khotbah diri

 

Engkau pun berlari

Mencari Timur menemu Amus

Timur tempat sujud purna

Memaknai pertemuan sebagai

awal dan akhir

 

Engkau tahu 

Betapa aku

Betapa rindu di sini

Dosa terakhir yang sisa

Sedang waktu memutar jalanku

berpusing

 

O nafs ini

Tiupan kekal

Sebuah nama dan upacara 

keselamatan

 

Cincin melingkar

Kawin massal musim penghujan

Aku bertemu kembali

Tanah dengan bangsa

bangsa-bangsa

 

Kutanam-tanam cinta

Kau anyam-anyam duka

Kukerah-kerah humusan

Kau gelar-gelar cemaran

 

Aku takingin kitab sejarah cintamu

Bau amis anyir kaki lalat-lalat

Aku ingin seyum kulum manismu

yang legendaris

Yang menempel pada sanubari bangsa

Yang meremiks hati penyair

Berdangdut dengan artis-artisnya

yang ratapan

 

Engkau pun sujud purna purba

Mewirid batu-batu yang pernah 

kaulemparkan

Sedang radio bututmu mengalun

Membayang sepasang mata bola

Yang mulai rabun melihat Timur


 

 

Membaca Surat Cinta /
Yang Engkau Berikan /
Ingat Kisah Cinta /
Siti Nurbaya

 

The oldiest song

Ninsy menunggu

Abab-abab sejengkal

            tulang rusuk

Abad-abad stagnan

Abad-abad kegelapan

 

The oldiest song

Amus menekur

Timur yang jauh

Timur yang takditemu

Timur yang purba

 

Ninsyku sayang

Jika kauelus daun-daun

Kaurasalah saksama

Menembang napas kasmaran

Namun rambutmu takjuga

                        memutih

Takperlu seperti itu

Hingga musim gugur tiba

Rahasia lain ketuaan

Kautetap berteduh di bawah

                        pohonnya.

 

Pertemuan

Jengah yang lara:

 

Yang dinanti yang dinanti

Indukku induk kalsium

Laluku patah tercerabut

Aku kesemestian itu

Rindu cinta membebaskan

Rindu cinta mendewasakan

 

Gerangankahkau

Takkutemu batas Timur

Duh, pohon ini janabat

Daun gugur bukan isyarat

Sebab kau takniat surat

Yang dinanti yang dinanti

 

Ninsyku menembang

Seperti berada di planet gelap

menjadi janin

Kemudian kelahiran

Menjadi bayi

Menjadi kau sendiri

Menjadi yang beranak-pinak

 

Ninsyku sayang

Takseperti planet gelap

Bumilah satu-satunya planet

                        layak huni

 

Seperti api bumi berinti

Seperti rindumu itu

Seperti tanah bumi berbadan

Seperti kesabaran dan 

            kesuburanmu itu

Seperti hijau pohonan 

Seperti biru langit dan lautan

Dan tentu senyummu 

kala fajar

Fiksi-fiksi tentang anak cucu 

 

Ninsyku menangis

Engkau cengungukan

Engkau kesemestian itu

Turunan dan kelokan

 

Basah di akaran

Basah di dalaman dan gelap

Basah di hati-hati petani

Membasah di rendahan dan 

                        rekahan

 

Takseperti planet lainnya

Bumilah satu-satunya planet

                        bijak keluhan

Angin berhembus seperti siulan 

    Amus

Gapai-menggapai rambutmu

 

Ninsyku berlari

Berlari menemu batas Timur

Berlari sampai merasa takperlu

                                    berlari

Berlari menyusuri air sungai

Berkelok meninggalkan rendahan

Tengadah menginjakkan rekahan

Tembang-tembang kala fajar

Tembang-tembang ajaran malaikat

                   penjaga Gunung Nun:

 

Ia yang berjaya

Induk semangku

Ia yang bersahabat maut

Siulan burung Hud-hud

Ia yang tepercaya

Yang suci

 

Dari lembah Gunung Nun

aku berlari

Segala terlewati kecuali kala

Serat semburat fajar seperti 

memecah Gunung Nun

Gunung kembaran satu lava

Tempat bayi-bayi menyusu

Sawah-sawah dibajak

Syair-syair bersanjak sayu

Segalanya diberi jarak

 

Duh, kepanaanku

Lihatlah susu-susuku mengembang

Tembangku tembang kepagian

Tanpa rupa bayang aku taksiap

berias

Apalagi bertemu denganmu

Duh Gusti, rusuhnya hatiku

 

Ninsyku rusuh

Puncak Gunung Nun dituju

Ninsyku Ninsyku

Engkau kusayang-sayang


 


Tentang Penulis


Nizar Machyuzaar, penyair, esais, dan pembelajar tekstologi dan stilistika. Aktif di organisasi Mata Pelajar Indonesia, Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk, Gelanggang Sasindo Unpad. Karya tulis dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital. Karya: Buku puisi bersama  Doa Kecil (1999), buku puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Terbaru, esai ulasan puisi dimuat di artikel laman Badan Bahasa Kembikbud.go.id berjudul "(e)M-(e)L Acep".

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top