Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Hari B. Mardikantoro

1


GADIS YANG KUTUNGGU DALAM HUJAN

oleh Hari B. Mardikantoro

 


Sore yang kering. Keremangan mulai menyembunyikan kabut ketika aku menyudahi aktivitasku. Angin bersirobok menyentuh kulit dan apa saja yang bisa disapa. Dingin tapi tetap kering. Tubuh tuaku mulai bisa membedakan sentuhan-sentuhan angin.

Siang sampai sore ini aku menjadi ragu, apa yang harus kukerjakan. Rasanya aku mulai kehilangan ritme hidup yang sudah enam tahun kujalani. Ya, ritme hidup yang sangat aku nikmati, bahkan sangat aku rindukan. Pagi mengantar anak wedok ke terminal lalu menungguinya sampai dia masuk ke angkot untuk berangkat sekolah adalah suatu kenikmatan seorang ayah melebihi kenikmatan hidup yang lain. Lalu pada sore hari digenapinya dengan menjemput di tempat yang sama atau tempat lain yang kami sepakati.

Sore mulai menua. Sore yang selalu berkabut dalam beberapa hari ini menambah murung suasana. Satu dua burung terbang tergesa dengan rasa gelisah dan ingin segera sampai sarangnya supaya tidak terhempas hujan.

Aku kian gelisah, beberapa pekerjaan rutinku jadi terjeda. Ya, hidupku kini sudah berubah, bukan hanya kehilangan ritme hidup tapi lebih pada kehilangan makna hidup. Aku masih duduk termenung di kursi pojok yang sandarannya sudah tidak tegak lagi. Kusulut rokok yang sedari tadi melilit di jariku. Kuhisap dalam-dalam meski kini aku pun belum sepenuhnya bisa menikmati harumnya tembakau yang dibakar itu. Aku tak tahu, tiba-tiba aku ingin melakukan sesuatu yang dulu menjadi kebiasaanku. Kebiasaan yang sebenarnya sudah kuhentikan lama. Ya lama sekali. Kumainkan batang rokok itu di jemariku.

Teh panas yang sedari tadi ada di depanku pun belum aku sentuh sama sekali. Kuadak-aduk teh itu berulang kali hingga keruh tapi tak juga kuminum. Teh panas itu masih mengepul. Kepulannya mendatangkan kehangatan meski hatiku masih saja menggigil. Menggigil bukan karena kedinginan.

***

Matahari sudah sepenggal masuk ke peraduannya, lantas memancarkan warna keemasan yang sangat elok. Sebagian awan bergerombol mendesak ke sana ke mari terbawa angin sore.  Mestinya cahayanya berpedar keemasan menghiasi langit. Tapi tidak sore ini. Mendung hitam menggelayut. Angin pun berhembus perlahan tapi tetap belum bisa mengurangi rasa panas yang sejak siang tadi banyak dikeluhkan. Tampaknya hujan akan segera turun dan mungkin akan lebat. Meski waktu masih menunjukkan pukul 16.00 tapi banyak orang yang menyangka sudah mendekati magrib. Gelap kembali menyergap perlahan lantas mengalirkan kekhawatiran. Jujur, saat ini aku juga khawatir karena anakku belum pulang.

“Pak, mau ke mana? ini mau hujan lho” sapa istriku ketika tahu aku bersiap-siap mau pergi.

“Nggak ke mana-mana” jawabku serius sambil memakai jaket.

“Lho sudah siap begitu kok, nggak ke mana-mana. Bapak ini bagaimana to?” istriku sewot mungkin karena aku tidak menyampaikan tujuan yang sebenarnya.

“Bapak itu sekarang berubah. Ini kan bukan pertama kali Bapak pergi tanpa aku tahu ke mana perginya” keluh istriku masih dengan muka masam. “Beberapa hari ini setiap sore juga pergi tanpa jelas tujuannya”, sambung istriku lagi.

“Ya hanya ingin pergi saja, cari udara sejuk”

“Cari udara sejuk atau cari penyakit? Sudah tahu mau hujan begini kok ya nekat mau pergi. Itu namanya cari penyakit. Kemarin sore dan beberapa sore sebelumnya juga pergi tidak jelas tujuannya” sambung istriku lagi sambil membawa segelas kopi dan disodorkan ke arahku. Aku tahu ini salah satu cara istriku untuk mencegah supaya aku tidak jadi pergi. Kuterima kopi dan kuletakkan di meja. Kuaduk kopi pelan-pelan meski aku tahu kopi itu tentu sudah diaduk oleh istriku. Kuseruput kopi hitam perlahan. Ada rasa hangat mengaliri tubuhku.

Setiap pagi dan sore aku memang pergi untuk mengantar dan menjemput anak wedokku. Mosok istriku tidak tahu. Setiap hari anakku kan sekolah dan ini sudah berlangsung enam tahun mulai dia masuk sebuah SMP. Setiap pagi aku selalu mengantar ke terminal untuk selanjutnya dia naik angkot. Setiap sore kalau aku bisa pasti kujemput juga. Mosok istriku tidak tahu tujuanku pergi dan mengatakan aku sudah berubah hanya karena tidak menyampaikan tujuanku pergi. Aku berkata dalam hati.

“Buk, aku jadi pergi lho….” pamitku setelah menyeruput kopi beberapa kali.

“Bapak kok nekad. Ini mau hujan deras lho” cegah istriku sambil menghampiri tempat aku berdiri.

“Ya mumpung belum hujan, kasihan anak kita” aku memberi alasan.

“Anak kita?” istriku bertanya setengah mencecar. Aku tak menjawab. Segera kupakai jaket dan helm. Hanya dalam hitungan detik, aku sudah melesat dengan motorku meninggalkan istriku yang masih terbengong-bengong.

Jalan ramai. Semua orang yang memanfaatkan jalan itu tampak tergesa-gesa. Barangkali mereka ingin menghindari hujan yang sebentar lagi akan mengguyur bumi. Beberapa mobil sudah menghidupkan lampu, meskipun hanya lampu kota karena memang jarak pandang yang terbatas gara-gara gelap tipis yang sudah mulai memenuhi jalan.

Seperti biasanya kutunggu anakku di pojok terminal, dekat warung angkringan yang ada di terminal itu. Angin berhembus agak kencang tapi tetap terasa panas. Mendung di langit kian menggumpal. Kulihat beberapa orang tengah asyik menikmati hidangan di angkringan sambil berbicara ngalor ngidul yang aku sendiri tidak paham. Aku tetap berdiri di pojok terminal itu ketika gerimis mulai membasahi. Aku belum berniat beranjak dari tempat semula.

Gerimis mulai membesar. Air pun seperti ditumpahkan dari langit, mengguyur deras. Aku masih tak berniat pindah dari posisiku. Posisiku berdiri masih cukup aman. Paling hanya terpaan air tipis yang menerpa tubuhku karena angin yang membawanya.

Kutengok jam di tanganku, ternyata aku sudah dua jam berdiri di tempat ini menunggu anak wedokku pulang. Hujan kian mendera, airnya bergulung-gulung jatuh dari langit. Sesekali terdengar halilintar yang memecah keheningan malam.

Malam mulai menghadirkan sepi. Gaung gelap sejak tadi sudah menerjang ke sudut-sudut terminal di mana aku menunggu anakku pulang. Aku mulai gelisah. Tubuhku pun sudah basah karena diterpa air yang bertubi-tubi menghampiriku. Meski sedikit demi sedikit tapi akhirnya tubuhku basah juga. Dingin. Tubuh tuaku mulai menggigil. Aku tidak boleh menyerah. Kasihan anakku masih di perjalanan, kehujanan lagi. Sudah kubawakan mantel dan minyak sebagai penghangat ketika nanti anak wedokku sampai di sini.

“Kulihat Bapak dari tadi berdiri di situ, menunggu siapa?” tiba-tiba pemilik warung angkringan memecah keheningan. Tampaknya ia sudah mau menutup warungnya. Aku terhenyak mendapat pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu.

“Anakku sampai sekarang belum pulang” jawabku setelah berhasil meredakan kekagetan.

“Kalau boleh tahu anak Bapak naik apa?” tanyanya dengan hati-hati.

“Angkot”.

“Lho angkot sudah habis dua jam yang lalu” terangnya dengan sungguh-sungguh sambil tetap membereskan warungnya. Aku terhenyak lagi. Betulkah? Mengapa anakku belum juga nongol? Aku mulai gelisah. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan anakku.

“Bahkan kalau saya tidak salah, sudah beberapa hari ini Bapak setiap sore sampai malam berada di terminal ini ya? Apakah juga menunggu putri Bapak?” pemilik warung itu bertanya lagi. Aku diam saja dan memang tidak berniat menjawabnya. Sepi menjadi jeda. Ya aku memang tiap sore datang ke terminal ini.

Tubuhku mulai menggigil, bukan hanya karena kedinginan tapi lebih karena rasa kecewa aku tidak pulang bersama anakku. Karena sudah malam dan tubuhku basah, kuputuskan untuk pulang tanpa anakku. Seperti malam-malam sebelumnya, aku pergi sendiri dan pulang pun juga sendiri.

Tiba-tiba ada suara dan getar telpon di sakuku. Ternyata dari istriku dan ternyata sudah beberapa kali telpon itu berbunyi tanpa kusadari. Kubuka telponku. Istriku sudah beberapa kali telpon. Selain telpon, ternyata ada WhatsApp juga yang dikirim istriku. Kubuka WhatsApp itu. Aku terpana, “Pak, anak kita nggak usah selalu dijemput di terminal. Anak kita sudah bahagia di surga”. Degg. Aku seperti ditampar berkali-kali. Benarkah, anak wedokku sudah dipanggil Sang Pemilik Sejati? Jadi selama beberapa hari ini, pagi dan sore aku mengantar dan menjemput anakku hanya karena kebiasaan yang belum bisa aku tinggalkan?

Tak terasa tubuhku mulai menggigil, juga hatiku. Bahkan aku juga tidak tahu lagi karena kedinginan atau karena kesedihan. Aku berharap mulai malam ini, aku bisa membiasakan dengan kesendirian.

 

Lembah Sindoro, Mei 2018

 

                                                                                               

 Tentang Penulis


Hari B. Mardikantoro, alumnus Sastra Indonesia UGM. Kini mengajar pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Beberapa cerpen telah dimuat di media cetak dan online. Sekarang ia tinggal di Ungaran.

 

Tags

Post a Comment

1 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Join the conversation(1)
To Top