Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Badruddin Emce

0

ALAMAT-ALAMAT JAMAN BHERI 

 

I.


Kiranya hanya Donan mengalami jaman ini. Tapi belum ada setahun, sudah berlalu.
        Kapan carutmarut itu berlarut-larut, meragukan kesungguhan Demak amatlah patut.
 
Seperti inikah akhir carutmarut itu?
        “Telih-nya terluka, hinggaplah bersama kesakitannya di ketapang tengah kuburan itu,” pungkas seorang sesepuh dari kampung nelayan Sidakaya. Mungkin hendak menguatkan yang sebelumnya diungkap, tajam ke mata saya, matanya, “sejak saya kecil dahannya sudah berlaku seperti itu. Nanti, setelah pelelangan ikan jembatan Kaliyasa, dari jalan pantai Tegalkatilayu, bisa lebih jelas : seperti lunglai. Begitulah, jika bebannya besar lagi kepayahan. Beruntung sebelum mematahkannya, dengan tekad sekedar menghantar jasad rusaknya, sang pemangsa sapi kembali mengepakkan sayap ke lautan sana.”
 
Adakah saat Demak merajai lautan, kabar carutmarut itu tersiar hingga daratan Tiongkok?
        Perihal klannya, seorang pengusaha dealer sepeda motor berkisah, “sejak rel kereta menghubungkan kota ini dengan beberapa kota di Jawa Selatan, menyusul yang meletakkan batu pertama, setelah turun dari serta pantang kembali ke kapal, sebelum berpencar, demi tegaknya Klentheng ini, demi membentengi kota ini dari pengaruh buruk lautan, seikhlasnya orang cina menyerahkan sebagian miliknya.”
 

II.


Pernahkah peta pelayaran para juragan menyadari sibuknya Donan?
        “Meski baru dua tahun jalan, tapi omsetnya terus naik. Silakan gabung, kang. Setidaknya ikut serta mengatasi pengangguran. Dijamin kualitas produk saya selalu terjaga!” Pesan mas Hari disertai foto-foto kegiatan usahanya. “Tak perlu ragu. Simping laut kesukaan sultan Turki pernah berkapal-kapal dari sini,” sambungnya membumbui tawaran kerjasamanya.
 
Bersediakah yang telah 5 abad bepergian kembali ke sini?
        Coba, untuk siapa dan apa, dari berbagai kerajaan, para juragan bergegas ke sini? Maka, sekilas saja sini bergolak, sebelum pesaingnya menyadari begitu pokoknya kenyamanan bersauh, Demak, pengagum utamanya Donan, sudah jauh bertindak. Pernah dengar?

 
a.       Konon, demi perlindungan setara,
taat pada adatnya kewula
dari jerihnya melaut,
sesekali dari memetik sukun
kareman warga kota,
sesekali dari berburu celeng,
kaum pengagum Bheri
tak pernah lambat
membayar tagihan pajak.
Adakah paugeran pajak 
jadi memberatkan mereka?
Kini di hadapan para pemungutnya
tak lagi sungkan menghiba –
kenapa tak seperti masa
sebelum kapal-kapal Sultan
menjadi tuan di lautan saja.
Telinganya tetap rapat,
agaknya para pemungut
sedang bertugas sesuai arahan juragan.
Begitu dari lautan gelombang paceklik
berduyun merambah pesisir Donan,
lahirlah kewula terpuji : 
Dari menggembala
dan memerah susu sapi para juragan,
imbalan mereka belanjakan
keperluan somahan
sekalian menguatkan hak-haknya kewula.
Lahir pula :
Sulit menerima nalarnya pungutan,
tak hanya menghindari petugas.
Bahkan dengan terbuka
mungkin dari sisa Tembini yang sembunyi,
ada permintaan
merampas sapi para juragan.

 
b.      Diolah di Limbangan,
jadilah retak Donan sudah buaya nganga,
bunga bisikan dekat telinga Sang Sultan.
Bisa diduga,
“mengapanya” juragan terkaya Donan
tak cepat ambil tindakan,
bersama tawar menawar,
bersama tarik bayar,
beredar dari saudagar ke saudagar,
dari bandar ke bandar.
Padahal dekat istana Kesultanan,
ada ahlinya memadam kobar api makar.
Siapa ahlinya?
Dialah, yang jika nama serta
langkah-langkahnya diuraikan,
gentarlah para gembong.
Yang berlindung di balik wingit hutan.
Yang bertimbun bersama jarahan
dalam gelap gua-gua tak terjangkau
teropong kapal dari lautan,
bakal menyambut takzim kehadirannya.
Lalu menjabatnya, tanda paham
baris-baris paugeran.
 

c.       Bagi Sang Ahli,
sudah nggenggam Cis Tilam Upih
pusakanya Sang Sultan
juragan terkaya Donan langkahnya lamban,
tentu berlebihan.
Maka memilih baju gelar Santri Undik,
singgah di Limbangan,
menghimpun perkembangan Donan.
Tak sampai berbulan
langkah-langkah yang diperlukan pun
sudah dapat ditentukan.
Tapi hendak ke atas arena terbuka, terbersit –
bertindak dalam baju gelar
orang haus keilmuan, bakal sulit dinalar
orang telah kembali liar.
Maka di hadapan juragan terkaya Donan,
tegaslah Sang Ahli –
siapapun tampil mengejawentahkan putusan,
terpenting menggenggam wenang Sang Sultan.
Juragan terkaya Donan sejak mula ragu,
akhirnya pilih mengembalikan
pusakanya Sang Sultan.
Beruntung Sang Ahli segera ingat –
juragan terkaya Donan
kerabatnya kaum pengagum Bheri.
Bagaimana mungkin memihak satu bagian
ketimbang bagian lainnya?
 

d.      Makin erat keris pusaka digenggam,
makin kuatlah geliatnya.
Sang Ahli pun menguarkan,
“wahai, para makar,
demi kemuliaan para pelintas daratan lautan,
Sang Sultan tak sanggup berkepanjangan!”
Angin kencang susul menyusul,
kobaran pada unggun cumplung-belukang mobat mabit,
mengapa Sang Ahli tiba-tiba tersirap?
Tanggapan pertama yang lawan gelar,
rupanya mengingatkan
saat-saat bersama kawanannya
mengamati penjagaan rumah para juragan
penimbun barang kebutuhan :
Sambil melenakan sasaran dengan tetabuhan,
tak henti bertukar sandi
dengan cucuk lampah di garis depan!
Tersenyumlah Sang Ahli –
satu langkah lawan telah dapat ia baca.
Karenanya, satu langkah berikutnya,
meski baru bisa ia kira,
sudah sepatutnya :
Di kegelapan sana, para cucuk lampah
berebut selesai menggambar
sepersis-persisnya sasaran –
di tengah lahan terbuka,
di atas arena yang ditinggikan,
dalam paparan cahaya api menjilat-jilat
hingga teranglah putih mori
membungkus jasadnya,
menggenggam pusaka Sang Sultan,
memandang ke arah asal suara tetabuhan,
berdiri sidakap, jadi taruhan.
Maka langkah lawan berikutnya terperikan :
bertengger di dahan-dahan bakau,
sesekali tepercik airnya Segara Anakan
mondar-mandir buaya muara,
betapa riuh para makar menata ulang
bentuk perlawanan.
Seperti apa bentuk perlawanan
yang akan mereka berikan?
Masih berdiri jejeg di arenanya,
Sang Ahli mulai mengingat
cara-cara bertahan
yang pernah ia cipta-ajarkan.
Tetapi hingga pagi datang,
hal-hal yang membahayakan dirinya
sekelebatpun tak ada yang melintasi
ruang pandangnya,
terlebih menjelangnya.
Sekelasnya, telah diperlakukan
layaknya bangkai hewan mengambang
patutkah merasa terhina?
Di belakang punggungnya
tinggi matahari telah melampaui sepenumbak.
Tapi meninggalkan arena,
ditimbangnya tak seberapa beda
dengan membenarkan tindakan makar.
Dirasakannya keringat makin terkuras.
Tapi dari arah surutnya asap,
sudah melangkah sosok tinggi besar.
Setelah cukup jelas,
legalah Sang Ahli –
Sebab, langkah pertama
yang digelar lawan semalam,
mengingatkannya pada sosok
yang lama dikenalnya :
bermata tajam celakan,
berdada bidang.
Sosok yang saat bersamanya
membelah badai,
meski kapal telah patah tiang layarnya,
tetap berdiri kokoh di sampingnya.
Sosok yang jika bertemu lawan
pantang menampakkan tengkuk
serta punggungnya.
Sosok yang kini,
demi kehormatan daratan lautan,
Sang Ahli pantang memanggil nama besarnya.
Terlebih turun menjabatnya.
Sosok yang saat Sang Ahli
mendengar perkataannya,
gendang telinga nyaris pecah.
Sambil memahami maksud ucapannya,
menatap matanya
pandangan nyaris ganda.
Sambil menyelami kedalaman gelisahnya
serta mencari hari-hari yang pernah
dan ingin dilihatnya,
hendak memulai kata, mulut telah terkunci.
Detak nadi menuju jantung nyaris berhenti.
Sang Ahli pun memancang kembali posisi bertahan.
Meski matahari sudah lingsir jauh,
sambil mengamati bagaimana sosok lawan
berupaya menghentikan
yang sedikit demi sedikit melanda tubuhnya,
posisi Sang Ahli tak berubah.
Cengkeraman kaki sedikit ia kuatkan,
makin deraslah kucuran peluh sosok itu.
Membasahi sekujur sarung.
Menggenangi permukaan tanah
seputar tumpuan kaki.
Begitu laku Sang Ahli berhembus layaknya angin,
terurailah lewat tatapannya, kemurnian nalar –
“Raihlah lautan sejauh Bheri terbang.
Jika mina tangkapan bisa mendapatkan
hak-haknya kewula, berlabuhlah.
Bagi yang memerlukan yoga,
sanggar-sanggar tetap terbuka.
Ingat, setinggi apapun kalian,
tak bakal lepas dari jangkauan!”
Bagaimana akal sosok itu sanggup meredamnya?

 
III.


Jauh sebelum Donan, Nusakambangan kiranya lebih melimpah hewan mangsa. Sejahteralah Bheri di tengah aneka pilihan. Pernahkah carutmarut itu melintasi Tembini?
        Tidak mustahil, masa itu Bheri dapat dijinakkan. Jadi hewan tunggangan, umpamanya. Sayangnya, tiap kisah Tembini dipentaskan, seperti apa saat dikendarai orang-orang pesisir kidul, terlebih bagaimana saat mengintai sapi seperti di masa Donan, sepenggalpun tak ada adegannya. Para sutradara ingin menonjolkan kemolekan raja terakhirnya, Ratu Brantararakah? Entahlah, terlebih bagaimana setelah seorang Adipati dari Bali yang jenuh bersanding dengan patung kayu sang Ratu selalu gagal menemui sang Ratu, kisahnya terserah siswa. Sudah biasa, pak guru buru-buru kembali dengan bagaimana berbahasa Jawa, bahasa yang kami pakai, utamanya saat berbicara dengan beliau atau sejawat beliau. Sesekali dengan orangtua –
 
 
Kroya, 2020/2021
 



Tentang Penulis


 
Badruddin Emce, adalah pensiunan PNS. Di samping menulis juga aktif di Lesbumi PCNU Cilacap. Kumpulan puisinya yang telah terbit, Binatang Suci Teluk Penyu (2007), dan Diksi Para Pendendam (2012) masuk 10 besar Khatulitiwa Literary Award 2012. Akun twitternya @BadruddinEmce.
 
 

Daftar Pengertian

Yang dimaksud dengan :
  • *    Cucuk lampah yang secara harfiah berarti pemimpin pasukan, dalam puisi adalah  orang yang berada di garis depan yang bertugas mencari informasi seputar sasaran serangan.
  • *        Cumplung-belukang yang secara harfiah berarti kelapa dan pelepah daun kelapa kering, dalam puisi adalah bahan bakar dari bagian-bagian pohon kelapa yang terlepas atau telah dilepas, berupa cumplung dan belukang. a.) Cumplung adalah buah kelapa yang terlepas jatuh karena layu lalu mengering, dan sebagainya. Sedang b.) belukang adalah pelepah daun pohon kelapa yang telah dipotong-potong, per satu potongnya sekitar tiga kilan. Untuk mempercepat proses pengeringan, khusus bagian yang cukup lebar, yaitu bagian pangkal ke pucuk sekitar dua potong, dibelah tipis-tipis.
  • *        Jejeg adalah sifat sikap berdiri yang mengesankan tidak tergoyahkan.
  • *        Kareman yang secara harfiah berarti kesukaan, klangenan, dalam puisi adalah buah kesukaan orang kota, yaitu sukun.
  • *        Kewula adalah warga dari suatu kerajaan yang memiliki hak dan kewajiban sebagai warga.
  • *        Lingsir adalah istilah teknis yang biasa digunakan dalam tradisi pembacaan kitab kuning untuk menyebut Posisi matahari telah bergeser dari titik tertinggi.
  • *        Mobat mabit yang secara harfiah bergerak tidak tentu arah, dalam puisi adalah keadaan nyala menjilat-jilat tidak tentu arah dari api pada unggun cumplung-belukang.
  • *        Paugeran yang secara harfiah berarti tempat mengikatkan, tonggak, dalam puisi adalah teks ketentuan yang mengatur dan bersifat memaksa a.) perpajakan, b.) ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, dan sebagainya yang berlaku di wilayah kekuasaan Demak. 
  • *        Sepenumbak adalah istilah teknis yang biasa digunakan dalam tradisi pembacaan kitab kuning untuk menyebut posisi ketinggian matahari batas awal waktu Dhuha.
  • *        Somahan yang berasal memiliki kata dasar somah (lihat pengertian somah dalam puisi nomor 2), adalah hal-hal yang termasuk urusan kerumahtanggaan suatu keluarga (somah).
  • *        Telih yang secara harfiah berarti tembolok, dalam puisi adalah organ tubuh burung garuda Bheri yang berfungsi untuk menerima dan menyimpan makanan sebelum diolah dalam pencernaan.
  • *        Wingit yang secara harfiah berarti angker, dalam puisi adalah keadaan hutan yang dipercaya dihuni banyak makhluk gaib.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top