Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Tjahjono Widijanto

0


ANAK PEMANJAT TIANG  BENDERA DI ATAMBUA


Di Atambua, seorang bocah

menyelimuti hatinya dengan bendera

tanpa busana telanjang dada

tak segagah paskibraka

angkasa hanya cerita milik para dewa

tapi seorang bocah telanjang dada

menakluk angkasa mengibarkan bendera

 

“Aku tak butuh tali temali,

hanya hati untuk negeri ini!”

 

Di Atambua,

seorang bocah telanjang dada

tak segagah paskibraka

bertaruh nyawa

mengibar bendera di angkasa

ketika para bapanya di ibu kota

tanpa muka dan kepala

berebut melahap negara untuk diri sendiri

 

Di Atambua,

bersama angkuh cakrawala

aku belajar kembali

mengibarkan bendera

dengan hati tanpa tali temali

 

Di Atambua,

bersama seorang bocah dan bendera

belajar lagi mencinta negara

dengan jujur dan sederhana

 

 

Ngawi, 170818


 

 

BURUNG YANG JATUH DI TAMAN

 

aku bukan pengembara yang bernafsu mengukur

luas panjang benua lalu menancapkan panji-panji di ujumgnya

sementara cuaca akan memandang dengan diamnya yang biru

tak bisa aku membaca apalagi menghafal peta

hanya aku ingin memasuki sebuah pintu

yang kelak menjelma secuil celah tempat bertemu

ujung- ujung jariMu dan ranting singgahku

 

kalau boleh meminta

kelak aku bisa sampai jauh ke pesisir

di tepi-tepi yang selalu basah di usap ombak

tempat kekasih menunggu pacar berlayar

bersama bau ikan tuna yang dibakar

dan purnama  mengatur surut dan pasang lautan

 

aku baru sampai di taman halaman

dalam pagar rumah tempat orang-orang bersulang

sebelum mereka berangkat ke kantor atau ke pasar

ditemani kekupu menjalangi bunga-bunga di taman

bunga-bunga yang merunduk meyerahkan tubuh

pasrah pada musim yang selalu datang berulang-ulang

 

aku belum sampai ke pesisir

juga belum ada ujung peluru pemburu

tapi bau humus tanah dan warna hitamnya keburu melambai

 

 

Ngawi, 2021

 


 

 

BAWANGIN

 

Di puncak Tiwallung seseorang memandang pelangi

dan nubuatpun terbentang dari Wuidduanne

orang-orang berebut menyalakan lilin dalam sunyi pantai

seorang suci menggedor-gedor pintu langit

di pojok gerbang yang perkasa melantunkan doa-doa

mantram-mantram sorga yang melayang bersama kabut

singgah di pohon-pohon teduh juga belukar yang terbakar

“Aku bertapa di bukit ini, di kedalaman Lirung yang hijau

mendendangkan pujian langit gemanya membayang di ujung-ujung pasifik!”

 

Tak ada yang mesti diperebutkan di sini karena bagimu

Tuhan tumbuh dalam tubuh, bermekaran dalam jantung

seperti kabar yang dikekalkan debur ombak dan teguh karang:

diwartakan pada yang rendah hati, tempat yang sunyi menjadi tempat tinggalmu!

 

Dan warta itu menjelma seutas rantai tangga langgit

tempat seseorang tertatih tatih menjumpai Tuhannya

saat matahar dikepung bintang-bintang

di Sabaat yang suci di bawah naungan mawwu warlada

di dalamnya jagat bungkuk dalam Adat Bawangin

 

 

Mussi-Jkt, 017/019

 

 Mawwu warlada (bhs. Talaud) yang berati Tuhan Pemelihara.

Adat bawangin: Aliran kepercayaan di ds Mussi di Pulau Lirung, Talaud, yang disebarkan oleh seorang tokoh bernama Bawangin.


 

 

PULAU SARAK

 

 

pertama datang melempar sauh aku nyiyir bertanya

siapa menabur warna salju di punggungmu?

dari pecahan karang yang di obrak abrik naga lautan

engkau menjelma gadis dengan wajah malu-malu

menari-nari mendendangkan larik-larik sasambo

 

“berangkatlah dari air pangkalan

disertai mantra-mantra pengasihan

kuatkan hati meminta berkat

sebab semua pemberian Tuhan

 

di sana haluan perahu

emas-emas gemerlapan

di antara pulau-pulau

di tengah-tengah tanah besar

 

di sana api di pantai

tanda-tandanya akan sampai

terima kasih sudah sampai

selamatlah telah tiba”

 

di heningmu aku tenggelam dalam santi patana dan surya manaskar

meminum cahaya hangat matahari dalam khusuk pantai

mendengarkan pekik burung-burung sampiri menjerit riang

dalam rimbun daun-daun bakau dan gericik buih mencumbu pasir

membayangkan dewa-dewi menari bersama matahari

meminjam tenaga nelayan yang tak pernah lelah mendayung perahu

membayangkan menjadi anak laut berdiri di atas jukung

mengejar ikan-ikan terbang dengan paonade

di atas buih air-air lautmu yang berganti-ganti warna

darinhijau lelumut ke warna kecubung

 

bagai seorang yang kangen pada kekasih

aku terbang memassuki tirai laut yang putih

bagai gaun pengantin berkelebat-kelebat pada sayap-sayap awan

sebelum rontok menggelepar mabuk kepayang

 

di pulau ini sungguh Tuhan memperlihatkan secuil surga dengan sempurna.

 

 

Sarak, 017/019


 

 

GANDRING

 

Kupahat kutuk di bilah karatan ini

mantram-mantram yang ditanam

dalam pamor walang sinuduk

dengan genggam hulu kayu cangkring

kutuk yang dihanyutkan air kali

menjelajahi waktu demi waktu

 

Kupahat serapah di lancip besi

bersama mantram aji-aji

serupa rajah  di lancip  besi

aku menitipkan masa depan

mengabadi dalam jejak

dapat dibaca sembari minum kopi

betapa para pemburu dilahirkan di tanah ini

syajarah selalu  roboh oleh kapak para penebang

yang mengendap-endap di balik bayang-bayang

 

Kupahat kutuk di lancip dingin ini

disediakan bagi para petualang

yang tak pernah mau layu

dalam genggam waktu

membiarkan ruh-ruh bergemuruh

menyambut siapa saja yang pergi

mengabadi dalam kutuk yang beku

 

 

Ngawi, 2019


 

 

AJISAKA

 

 

--tuan, mana  kau pilih nyawa atau aksara?

 

maka selepas senja buram itu

langit tak henti berkabung

dua jagoan lenyap diserap halimun

meninggalkan rajah menua

bersama musim yang insomnia

berharap abadi dalam lipatan

 

nafas-nafas waktu memburu serupa hantu

membayang di tiap tikungan

siapa  masih sudi mengeja alfabet ini

yang lahir dengan mahar nyawa

dipuja kaum satriya serupa mantram keramat

para jawara, sudra dan praira ditabalkan

jadi pahlawan yang ditumbalkan

 

tuan, apa benar aksara ini milik kita

atau cuma milik para satriya

pangeran lembut nan tampan

bersama putri-putri jelita

tanpa keringat dan air mata

 

darah kawula dan jawara

mengabadi dalam amis yang pilu

dan tuan tertawa pada sayap-sayap malam:

“bahasa ini milik satriya bukan kawula

mampus kau dirajam mimpi!”

 

 

Ngawi, 2019/2020


 

 

DEWATA CENGKAR
 

apa salahku berwujud raksasa?

aku  lahir di tanah ini

kalau boleh kuminta

tentu akan kupilih rupa

wajah halus tampan satriya

bukan denawa dengan taring lancip

mengapa pula kau sampai di negeriku

musyafir yang disesatkan samodra

tersangkut di karang karang lautku

 

apa yang salah dengan wajah raksasaku

berabad di negeriku musim datang tanpa cedera

tanpamu  musyafir lata berwajah satriya

bunga dan buah tumbuh silih berganti

tunas tunas selalu setia menjelma batang

tentu wajah tampan bukan alasan

kau datang mengangkat pedang

lalu menguburku jauh di kedalaman samodra

tanpa sempat kau tanyakan

berapa besar cintaku pada negeriku

 

apa yang salah dengan wujud raksasaku?

apa kau cemburu melihat cintaku

pada negeri ini seluas bentangan samodra

sedang kau sekedar pelancong tanpa KTP

cintamu pada negeri sendiri cuma sebatas selokan

karena itu kau tinggalkan negerimu

menyendiri dalam ingatan sunyi yang pilu

dan perlahan melupakan namamu

 

 

Ngawi, 2019/2020


 

 

HANACARAKA

 

ini cuma masalah tafsir, tuan,

kau di ujung sana aku di kutub lain menaksir aksara

lidah api yang keluar dari mulut  titisan para dewa

dan kita sepasang kadang berseberang dalam tarung 

yang kejam pada lurung-lurung gaduh mengguruh.

sebelumnya telah kubayangkan  kau menunggu di terminal

menyambut dengan sebuah pelukan alit, cipika cipiki,

selfie lalu pulang bersama. nyatanya tak.

kita bersikukuh dalam tafsir-tafsir kejam sedingin lancip keris

 

ini cuma persoalan tafsir, tuan

maaf kami beda menangkap isyarat

karena kita bukan pendeta waskita

bukan satriya titisan dewa

cuma petarung silsilah para jawara

karena itu jangan paksa kami seia menafsir

mantram mantram rumit dalam kuasa bahasamu

 

 

Ngawi-Jakarta, 018/019

 


 

 

NUBUAT POHON ASAM
*Baradah

 

aku lahir dari kutuk

doa tua yang membonsai tubuh

memisahkanku dari genggaman langit bapa angkasa

belenggu yang berpinak sepanjang gelisah nafas tak pernah lunas terbalas

tempat sunyi yang menyerah pada kehendak berkarat

batang tubuhku yang kuat perkasa

hanyalah si terkutuk dengan jiwa nelangsa

menggumpalkan kekalahan dalam samadi tak terperikan

menjinjing waktu bersama darah meleh di pinggang

menunggu penebang mematahkan tulang-tulangku

 

aku lahir dari kutuk

mantram yang membelenggu dahan rantingku

mengurung rinduku pada nikmat  liukan ujung badai

juga bisikan cinta dari pucuk kabut di tangga langit

terbungkuk-bungkuk jadi si tua diterpa dingin dan mimpi buruk

 

aku lahir dari kutuk

berkabar pada cuaca yang datang dan pergi

dalam kubangan waktu yang gelisah dalam sejarah

bersama ingatan-ingatan kecut serupa pecut

menganyam senja, jarak dan peristiwa

berkawan hantu tua penunggu jalan yang juga tua

merajam bunyi menjadi sunyi

 

 


 

 

PISANG BAKAR DAN SEBIJI TREMBESI SERUPA KHULDI

 

seseorang di dalam kamar

merajuk dalam mimpinya:

“aku ingin pisang

yang tumbuh di bilik sorga,

ditanam para malaikat,

dibakar dalam rahasia api!”

 

sesorang  entah siapa

menjawab dalam mimpinya,

“tak ada pisang  yang ditanam

dan bisa dibakar, 

di ceruk ini cuma ada

sebiji trembesi sebesar khuldi!”

 

seseorang terjaga dari mimpi,

di mejanya sepiring pisang bakar

telah jadi dingin dan basi

langsung ke luar kamar

pergi ke angkringan

memesan  sebiji pisang

minta  dibakar di perapian

 

pisang separo terbakar

mendadak  ditinggal pergi

sebelum sempurna matang

karena pandang  matanya

terbentur hitam warna arang

 

 

Ngawi, 018/019

 


 

 

HIKAYAT PALA
 

kisahku sampai juga di benua-benua ini

ditiup angin selatan dan angin barat, didendangkan nelayan

memburu marulaga pada bulan  alo kasuang

hinggap ditelinga nahkoda kaparo bersama serombongan kelasi berkudis

menyanding sebotol minuman keras dan peta yang kumal

berteriak-teriak parau, meracau nyaris putus asa

                                                                        --“ad loca aromatum!”

perjalanan edan untuk persembahan maharaja yang lapar

 

ini si tua, hidangan rahasia penghuni sorga

mendekam dalam ceruk ceruk lembah

dilindungi mantram-mantram dan dentam tifa

pulau-pulau bukit menjulang, gunung api,

pasir-pasir perak serta laut warna kecubung

gumpalan-gumpalan padat sejarah yang mendadak telanjang

 

aku si tua, berhasil membuat para jagoan mengidap insomnia

mata caling beling terkesiap menatapku lalu dentam sepatu

anyir angin bersiutan, wangi amunisi, leher meriam yang dibelai

seringai badai api menggasak pantai-pantai

batang-batang lenganku terkayuh jauh

meninggalkan celah lembah, pasir perak dan laut warna kecubung

mengembara dan terbantai seperti nabi disalib di tengah bandar

 

ini si tua, korban sekaligus pahlawan

jadi penumpang sial dipaksa berlayar ke ujung-ujung jagat

tak kuasa mengutuk apalagi menolak

 

ini aku si tua, kini tak lagi digdaya

seperti dulu saat sebiji merah coklatku ditukar maharaja

dengan pulau di ujung dunia yang lain lagi

 

 

Melonguane, 05017


 

 

NELAYAN PULANG DI PANTAI SAWANG

 

lelaki jantan, sudah lama kau pergi

dibawa kencang angin laut pasang

kubayangkan kau segera pulang

dengan tubuh wangi lautan

para kekasih menunggu

di pasir basah yang gelisah

 

lelaki jantan, sepanjang malam Tuhan biarkan

aku gemetar membayang takdir lelaki lautan

setiap saat siap disalib tajam karang

mataku basah membayang

berapa tajam kelokan

berapa purnama sampai tujuan

 

lelaki jantan selalu saja aku gemetaran

membayangkan berapa kali kau mati

dalam gemuruh lindu dan geluduk taufan

 

lelaki jantan selalu aku gemetar

membayang purnama

tanpa kekasih dalam dekapan

 

 

Pantai Sawang Melonguane, 2017


 

 

TULUDE*

 

bersama ombak saat laut pasang

telah aku kirimkan perahu  lalotang

tanpa kelasi, juru mudi atau nahkoda

namun tak sangsi pasti esok sampai

melempar sauh di dermagamu

krasan disitu dan takkan kembali

 

tahun-tahun lalu lewatlah larut

ditiup angin laut dan angin darat

tahun-tahun kecut dan wajah purut

biarlah hanyut dibawa topan lautan

 

berangkatlah perahu  lalotang

memanggul beban tahun merimbun

melarungnya jauh-jauh ke pusar laut

\bersama ombak janganlah kembali pulang

 

bersama ombak saat laut pasang

perahu lalotang biarlah karam di karang

bergantilah tahun dengan senyum gelombang

setelah badai turun kemarin malam

gantilah kini nelayang berdendang

bersama ikan-ikan rajin bertandang

 

 

 01/18

 

 

*Tulude adalah upacara perayaan tahun baru di kepulauan Talaud dengan cara menghanyutkan perahu tanpa penumpang. Perahu terbuat dari pohon khusus tanpa cabang yang dihanyutkan ke tengah samodra sebagai simbol semua hal yang tak baik biarlah lenyap bersama tahun yang berlalu untuk tidak kembali, dan yang datang  biarlah hal-hal yang baik bersama tahun yang baru.


 

 

INGATAN PADA FRANSISCO RODRIGUES*)
 

atlas ini telah menyediakan jalan menuju lembah-lembah sorga

bandar demi bandar dan kapal-kapal yang menyala

ingatan jalang, tatapan liar dendam dan putus asa                   

kebangkitan dan kebangkrutan silih berganti

bagai hantu tua yang dikeluarkan dari peta usang yang rengat

menjadi roh abadi dalam dada para pelaut petualang yang liar

dan matahari sungsang di lautan mendadak gerhana

darah dari segala tarian perang meramaikan lautan

menyusup di antara sengat bau pala dan sangit bakaran kopra

 

tak ada yang dapat menolak sejarah

kaulah pencuri ulung alamat pojok-pojok sorga

cuilan firdaus dari secarik kertas retak lamat-lamat

menjadi route perjalanan, persaingan penuh rahasia

sangkakala api yang berkelabat sepanjang detak detak jam

digerakan taufan ke arah bebukit karang yang segera terbakar

racikan-racikan sorga diperebutkan dalam tangan-tangan terbuka

 

tak ada yang dapat menolak sejarah

di pantai-pantai ini tangis bocah-bocah diterbangkan camar

di atas geledak kapal kapitenmu mengelus-elus kepala meriam

menggambar langit dengan asap lada, cengkeh dan pala yang terbakar

membabat menimbunnya di tebal papan geledak kapal

persembahan dari tanah sorga yang kehilangan pintu gerbangnya.

 

 

017/018

 

 

*) Rodrigues adalah salah satu ahli peta Portugis yang berhasil merampas sebuah peta route jalur rempah kawasan Timur setelah sebelumnya menaklukan Malaka.

 

 


 

Tentang Penulis

 


Tjahjono Widijanto,  sastrawan dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, alumnus Program Doktoral Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta (2020)  ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Dia menulis puisi, esai, dan cerpen. Buku karyanya:  Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai Sastra  (2020); Dari Jagat Wayang Hingga Peahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020); Prodisa: Surga Halaman Depan (Badan Bahasa, 2017); Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpulan Esai Budaya (2017); Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011); Wangsit Langit (2015); Janturan (Juni, 2011); Singir (2014); Cakil & 15 Kisah Lainnya(2019); Rezim Para Satriya (Naskah drama, 2013); Menulis Sastra Siapa Takut? (2014); Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedia dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010); Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000); Birahi Hujan (Logung Pustaka, 2004,); Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009).

Dia diundang dalam berbagai acara sastra nasional dan internasional: memberikan ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan  (Juni, 2009); Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival (2009); Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004); Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996). Dia memperoleh Penghargaan Seniman (Sastrawan) dari Gubernur Jawa Timur (2014); dan Penghargaan Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur (2019). Pada bulan April-Mei tahun 2017 lalu ditunjuk Badan Bahasa untuk mengikuti program Residensi Sastrawan Berkarya di Talaud Sulawesi Utara. Dia memenangkan berbagai sayembara menulis: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004); Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010); Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009); Pemenanang Lomba Mengulas Karya Sastra (5 kali berturut-turut; 2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006).

Selain sebagai sastrawan, dia menjadi Kepala Sekolah SMA Negeri di Ngawi; bertempat tinggal di Jl. Hasanudin Gg Cimanuk 1-A Ngawi; HP 082143785362; email tjahwid@yahoo.co.id.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top