Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen IBW Widiasa Keniten

0




Kupanggil Namamu Kekasih


            Sudah beberapa minggu ini, aku tidak bisa tidur. Setiap tengah malam, bangun disertai dengan getaran jantung yang tak beraturan. Aku bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya? Apa ada orang bermaksud kurang baik padaku? Terus apa untungnya mempermainkanku?” mataku tak mengenal kata kantuk kalau sudah seperti itu. Aku berusaha menenangkan diri dengan duduk bersila. Kuatur napas. Kutenangkan jiwaku. Setiap kutarik napasku, setiap itu juga namanya muncul di napasku. Ia kekasihku yang telah lama pergi. Pergi berbekalkan beragam derita yang kubuat sendiri. Aku sengaja membuat agar ia terus menjauhiku. Inilah kekurangajaranku. Dulu, aku yang mengejarnya, setelah dekat justru aku tak peduli lagi. Dasar manusia kurang ajar aku ini.

            Dulu, ia satu kantor denganku. Setelah, kujauhi, ia pindah ke kantor lain yang masih satu grup perusahaan denganku, tapi, tidak dalam satu provinsi. Aku waktu itu merasa menang karena bisa memutuskan tanpa ada kata putus. Kudengar setelah berada di kantor barunya, jiwanya tak seimbang. Katanya sering kesurupan di tempat kerja. Aku yakin, akulah penyebabnya. Apa karena itu lantas aku terus dibayang-bayangi olehnya? Entahlah.

Kelelahan menghampiri jiwaku. Tubuhku terpengaruh. Teman-teman dekatku mengentarakan bahwa aku semakin kurus saja. “Kau sakit ya?” temanku yang sering datang ke rumahku bertanya sambil memperhatikan perubahan yang terjadi pada diriku.

            “Kupikir tidak,” jawabku sambil berupaya agar temanku tak lagi menanyakan akan perubahan pada diriku. Sengaja aku mengalihkan perhatiannya. Kusampaikan bahwa beberapa teman sekolahku ada yang telah menghadap Yang Kuasa karena gering tahun ini. Ia jawab dengan senyuman.

            “Semua sudah ada yang mengatur. Tapi, kita tak boleh menyerah. Hidup bukan menunggu kekalahan, tapi mengukir kemenangan” ia pergi meninggalkanku menuju ruang kerjanya. Aku merasa lebih nyaman karena tak lagi mendengar kata-kata yang seolah-olah peduli dengan perubahanku. Kubuka laptop. Kubaca tulisan-tulisan yang pernah kutulis walau hanya beberapa buah saja. Aku merasa sedikit terhibur.

“Tulisanmu lumayan banyak?” teman seruangan melihat tulisanku di laptop.

“Ah, tidak juga. Iseng saja.”

“Iseng yang bagus. Kau bisa menuliskan isi hatimu, sedangkan aku hanya bisa membicarakan isi hatiku saja. Kau bisa mengobati dengan tulisan itu.”

Aku memandang wajahnya.

“Benar. Tulisan itu bisa mengurangi beban pikiranmu. Jangan berhenti menulis. Jika kau punya kenangan buruk, tuliskan saja hingga lapang hatimu. Jangan-jangan karena tak sempat nulis kau menjadi begini?”

Aku tak menjawabnya. Ia sepertinya tahu bahwa ada perasaan bersalah dalam hidupku. Aku telah menyakiti seorang gadis yang seharusnya kusayangi. Ah, aku memang kurang ajar sekali. Ini adalah karmaku.

“Jangan pendam deritamu. Ia bisa menggerogotimu dari dalam lama-lama organ dalammu bisa keropos. Ibaratnya virus, ia pelan-pelan akan menerkam dirimu. Keluarkan saja dengan tulisan.”

“Terima kasih,” jawabku. Aku mencari tulisan-tulisan yang belum terselesaikan.  Entah apa yang kutulis? aku tidak tahu tulisan-tulisanku bermutu atau tidak. Aku tak mau mengirimkan ke media cetak atau media online. Tulisanku hanya menambah sampah pikiran saja. Kubiarkan di dalam laptop. Menulis untuk diri sendiri saja.

Ini sering kulakukan. Setiap memulai tulisan, kutulis nama kekasihku itu. Ia kupanggil dengan beragam sebutan. Sebutan pertama, kuberi nama, Putri Bunga. Kuceritakan seorang putri yang selalu mengumpulkan beragam warna bunga dengan beragam baunya. Kubayangkan dirinya memetik bunga-bunga itu dan menyumpangkan di kedua telingaku. Mencumbui bunga-bunga dan mendekap bunga-bunga itu dengan penuh cinta.

Malam selanjutnya, kupanggil kekasihku dengan Putri Bulan. Kutulis beragam kisah bulan. Mulai dari bulan berbentuk bulan sabit, bulan gelap hingga purnama raya. Ini purnama pertama tahun ini. Rembulan muncul dengan wajahnya yang memutih. Awan-awan tak menyelimutinya. Lapang jalannya purnama hingga ia tegak di ubun-ubunku. Purnama-purnama yang lainnya pun kutulis hingga purnama kedua belas.

Malam ketiga, kuberi panggilan Putri Angin. Kubayangkan ia bisa menyusupi setiap tempat sesuka hatinya. Ia menyejuki hatiku saat panas tak terbendung. Semilir datangnya, kutulis bahwa angin tak tampak hanya kulit yang bisa merasakan. Kalau angin tak ada, manusia akan mati. Jika angin marah, apapun bisa berubah dalam sekejap.

Malam keempat kuberi nama Putri Air. Desauan air di sungai, gemuruh ombak di pantai, tenangnya air danau, derasnya air bah termasuk jika tak ada air kuungkapkan. Jika air tak ada, maka kekeringan akan memasuki hati. Mungkin aku ini juga sudah kering hingga tak bisa melihat hati kekasihku.

Malam kelima kuawali dengan menulis Putri Cahaya. Kubayangkan ia membawa penerang mendatangi jiwaku yang kegelapan. Ia bongkar jelaga yang menutupi hatiku dengan cahaya cintanya. Ia tersenyum saat itu. “Ini jiwamu telah dikotori oleh keinginanmu,” bisiknya.

Malam keenam kutulis namanya dengan Putri Api. Ia memberi panas agar aku terus bersemangat dalam hidup. Kurasakan panasnya hingga kemalasanku bisa kukurangi. Aku juga tuliskan api itu membakar tubuh dan jiwaku. Ia tak menangis saat melihat tubuhku terbakar karena menangis bukan jiwanya.

Malam ketujuh aku mengalami kesulitan mengawali tulisanku. Kekasihku sepertinya menumpahkan kemarahannya di hadapanku. “Kau laki-laki pengecut. Aku tak percaya pada dirimu. Kau berjanji setia padaku. Tapi nyatanya kau memalingkan hatimu. Apa itu memang sifat dirimu?”

Ia menampar pipiku. “Rasakan ini! Ini balasannya bagi seorang laki-laki yang tak setia pada kata-katanya. Aku muak melihat wajah sepertimu. Laki-laki pecundang.”

Aku mau membela diri. Tapi tak bisa. “Putu bangun! Bangun! Banguuuuuuuuuuuuun!” Ibuku menggoyang-goyangkan tubuhku. “Ini ada WA dari temanmu bahwa kekasihmu telah pergi.”

 

Catatan:

Gering: wabah



 Tentang Penulis




Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten, Pengawas Sekolah di Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Bali, Pemenang Pertama Guru Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2013 menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali berupa puisi, cerpen, esai maupun resensi buku. Beralamat di Jalan Ngurah Rai, Gang Mahoni, No. 20 Semarapura Kaja, Klungkung, Bali.

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top