Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Juli Prasetya

0

 


Aku, Hujan, dan Genangannya


Jika Sapardi mengatakan “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni” maka bagiku November adalah bulan perayaan hujan paling ramai sekaligus mengharukan. Karena November adalah bulannya hujan, November rain. Segala muasal tentang hujan dimulai dari sini, yang menderas dari linangan meninggalkan kenangan, dari kenangan menyisakan genangan.

Hujan pernah mempertemukanku dengan seorang lelaki brengsek yang mengaku filsuf. Sialnya, aku percaya dan mencintainya begitu saja, dia juga mencintaiku. Tapi Setelah perasaan itu selesai, aku berpisah dengannya, tanpa aba-aba, tanpa kata-kata, tanpa meninggalkan jeda. Setelah perpisahan yang begitu menyakitkan, kini tiba-tiba saja dia meneleponku dan mengajakku untuk bertemu.

Entah angin apa yang membuatnya seperti itu. Aku tak tahu apakah otaknya sedang baik-baik saja, setelah semua kejahatan yang dia lakukan kepadaku. Kini dengan gagah berani dan begitu percaya diri dia mengajakku untuk bertemu, bahkan dia mengajakku bertemu di tempat yang pernah menjadi saksi bisu kisah cinta kami berdua; Warung Makan ABG 99.

Semenjak ia memaksaku menghapus segala ingatan dan kenangan tentangnya dulu, maka sejak saat itulah aku bersumpah untuk menyudahi segala pertemuan dengannya. Dan aku rasa aku berhasil melakukan itu. Jika mau dihitung, mungkin sangat lama sekali kami sudah tidak pernah bertemu. Setelah KKN yang tak meninggalkan bekas apa-apa itu, dan kemudian kami baru bertemu lagi hanya sekilas dalam satu ruangan saat tes CPNS berlangsung, dan aku tahu, kami sama-sama tidak lulus di Tes Wawasan Kebangsaan, dan saling tak acuh satu sama lain.

Setelah itu kami tidak bertemu lagi. Kami berdua hening kembali, tak ada kata-kata sapaan yang khas dia berikan tiap pagi, tak ada kata-kata mesra yang sering  disisipkan, tak ada kata-kata motivasi hijrah yang selalu dia kirimkan padaku via whatsapp, tiap aku bangun dan menjelang tidur. Sudah tidak ada lagi, itu semua tinggal kenangan.

Tapi kali ini lain, dia  menelpon dan mengajakku bertemu ketika aku sudah belajar melupakannya. Apakah dia tahu, tak ada yang lebih menyakitkan selain melupakan sesuatu yang benar-benar dicintai.

. Di luar hujan, setelah menutup telepon darinya. Aku tergugu, tercekat, segalanya yang dulu kupendam dalam ingatan tumpah. Air mataku merembes, menderas, netes ke mi instan yang sedang kumakan sore ini. Aku terngiang kembali suaranya yang tiba-tiba meminta ingin bertemu. Aku langsung keluar rumah, memulai percakapan dengan hujan;  entah mengapa perasaan ini begitu melelahkan dan menyakitkan.

Aku masuk ke dalam hujan.  Hujan-hujanan di luar sambil menangis. Apa benar jika kandungan air di dalam hujan itu hanya satu persen saja, sisanya adalah kenangan, nyatanya tubuhku kuyup dan menggigil seperti rindu telah sampai ke ujung kematiannya. Menangis dalam hujan adalah sebuah trik yang kudapatkan waktu berkelahi dengan teman saat kecil. Hujan-hujanan sebagai kamuflase saja untuk tak ketahuan ketika aku sedang menangis, untuk menutupi kesedihan dan kekalahan.

Kata ibu, air hujan itu mengandung obat, sedangkan bagi penyair hujan digunakan  sebagai inspirasinya membuat puisi, meskipun saat hujan mereka melipir dan memilih berteduh di emper toko, atau memakai jas hujan. Mengaku penyair hujan, yang puisi-puisinya menceritakan tentang hujan, tapi saat hujan lebat turun, mereka memilih untuk berteduh. Sedangkan aku menangis di dalam hujan, menangisi perasaanku sendiri dan menangisi seorang lelaki yang sedang kucoba untuk melupakannya, tapi hatiku ingin terus menggenggamnya. Lelaki yang kemudian kembali mengajaku bertemu, dan tololnya aku menyanggupinya. Apakah cinta setolol ini?

***

Hari yang dijanjikan tiba. Jika Sapardi mengatakan “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni” maka  bagiku November adalah bulan perayaan hujan paling ramai sekaligus mengharukan. Segala muasal tentang hujan dimulai dari sini, yang menderas dari linangan meninggalkan kenangan, dari kenangan menyisakan genangan.

 Kami akhirnya bertemu, setelah sekian lama aku belajar untuk melupakannya, tapi tetap saja tak bisa. Dan sekarang aku bersamanya di warung makan, kami memilih meja yang dekat sawah. Meja favorit kami dulu saat hubungan kami masih menyenangkan. Dia memesan makanan, ayam goreng kriuk sambal bawang, menu kesukaanku. Padahal aku tahu dia paling suka makan di sorjem-nya Bu Pardi (ngisor jembatan)[1]. Tapi hari ini dia mungkin ingin mengatakan sesuatu yang penting, maka memesan menu spesial untukku adalah sebuah pilihan yang tepat.

“Kamu apa kabar? Lama tak bersua” dia membuka percakapan seperti biasa, basa-basi yang terlalu basi, ditambah dengan raut muka yang tak pernah berubah. Sumringah dan ndesa, tapi wajah itulah yang menjadi salah satu alasan untuk membuatku berkali-kali mencintainya. Betapa mencintai semenyebalkan ini.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya diam seperti sedang terkena penyakit gusi bengkak, sambil diam-diam terus menahan air mata yang selama ini aku simpan sendiri di lubuk ingatan. Aku mencoba dingin kepadanya. Tapi sekali lagi itu sia-sia, aku tak bisa. Ada sedikit air mata yang  merembes dari mata sebelah kiriku, menuju pipi turun ke dagu, dan aku pura-pura kelilipan.  Kutarik napas panjang sebelum memulai kalimat pertama.

“Kamu tiba-tiba menghilang meninggalkanku dan sekarang dengan enteng meminta bertemu, kamu kira aku ini apa?” Dia terkesiap, diam, wajahnya yang agak bodoh dan lucu berubah menjadi wajah lelaki kikuk yang ketahuan habis nyolong ayam.

“Aku tak pernah meninggalkanmu, kamu saja yang tak tahan untuk menunggu,” katanya sambil memalingkan wajah ke lantai, seperti sedang mencari uang  receh yang jatuh. Mendengar kata-kata itu, ingin sekali kugampar mulutnya biar sedikit mencicipi rasa sakit ditinggalkan dan dicampakkan tanpa kabar. Tapi niat yang sudah bulat itu kuurungkan, melihat wajahnya yang kuyu itu aku tak tega, tak sampai hati aku melakukannya.

Betapapun marahnya seorang perempuan yang selalu disakiti, pasti ada saja pintu maaf yang terbuka untuk lelaki yang paling dicintainya. Apakah hanya aku saja yang melakukan hal seperti itu, seorang perempuan yang paling perasa sekaligus rapuh? atau apakah ini bentuk lain dari filsafat kebodohan? Ah entahlah.

“Herlin, aku ke sini ingin meminta maaf baik-baik perihal ketakjelasan hubungan kita selama ini. Bukankah kamu juga sibuk dengan cita-citamu menjadi seorang youtuber profesional, sedangkan aku sibuk dengan cita-citaku menjadi pengisi suara anime. Bukankah logis jika kita saling meninggalkan kemudian melupakan satu sama lain, karena ditelan kesibukkan masing-masing?” katanya sambil menggunakan suara Naruto. Hampir saja aku tertawa dibuatnya, tapi aku berhasil menahan ke-sok-lucuannya itu, jangan harap ini akan semenyenangkan dulu.

“Kamu tidak usah membawa cita-cita, bilang saja kalau kamu itu hanya lelaki yang tak memiliki komitmen, seorang lelaki pace, cembrean, cemen dan pengecut. Seorang lelaki yang meninggalkan kekasihnya tanpa kabar, apakah berlebihan jika kusebut dirimu sebagai pecundang!!!” mendengar kata-kataku yang mengandung magma kemarahan, dia diam. Warung ABG 99 seperti hening seketika, hanya ada aku, dia, dan cerita yang belum selesai.

Dua porsi ayam kriuk goreng, dua gelas es jeruk, sambal bawang, dan tumis kangkung tiba di meja tempat kami berdebat tentang masa lalu dan kenangan.

“Herlin, kamu tahu tidak...?”

“Tidak!!!” mendengar jawabanku, wajahnya semakin kuyu, kusut dan seperti sedang menyimpan ketakutan demi ketakutan. Memang harus seperti itu wajah orang yang bersalah. Jangan seperti para pejabat korup, yang setelah tertangkap tangan, masih bisa cengangas-cengenges di depan layar kaca sambil mengacungkan ibu jari, pis, dan metal.  Aku tahu dia ingin melucu untuk mencairkan suasana, tapi seharusnya dia juga berpikir, sekarang kami dalam posisi dan keadaan yang tidak lucu.

Kami saling terdiam untuk beberapa saat, kepulan nasi hangat menggoda selera makanku, sambal goreng bawang yang lumer dengan minyak jelantah di atasnya, dan tumis kangkung, oh... kuatnya aroma micin ini sangat menggairahkan nafsu makanku.

“Ini boleh kumakan?” tanyaku ketus.

“Ya silakan” dia menjawab dengan senyum kecut mengembang. Aku bingung ingin melanjutkan percakapan ini atau tidak, kami menjadi semakin canggung untuk waktu yang lama. Padahal kami duduk di meja yang sama, saling berhadap-hadapan. Tapi memang waktu dan keadaan menjadikan kami tak semenyenangkan seperti dulu, menjadi dua orang asing yang saling tak mengenal satu sama lain.

Dada ayam goreng kulahap habis, dengan menggunakan tangan kosong, dia ragu-ragu untuk memakan. Biarlah aku tak akan jaim lagi di depannya.

“Mau tambah lagi?” dia menawariku untuk tambah

“Ya boleh, baiklah” entah mengapa aku menyanggupi tawarannya. Aku tak tahu ini menjadi pertanda apa bagiku. Dia mulai tersenyum, menyeringai jahat lebih tepatnya. Lalu kemudian  mulai ikut melahap sepiring nasi dan sayap ayam goreng sebagai lauknya.

Selesai makan aku mengambil petilan papan kayu yang memagari warung makan, di papan kayu itu ada sebuah tulisan dengan tipe-x yang mulai pudar warnanya. Aku ingat tulisan itu dibuat olehnya beberapa tahun lalu, tulisan itu berbunyi “Ratno lope Herlin,, cintaqoeh abadi bersama qamoeh celamanya”. Setelah membaca itu ingin sekali aku mengumpat dan muntah, tapi tak kulakukan aku masih bisa menahan diri. Petilan kayu itu kujadikan sebagai tusuk gigi untuk mencari slilit yang ada di sela gigi.

“Baik Herlin, sekarang aku ingin berbicara serius, bisakah kamu memperhatikanku sebentar?”

“Kamu kira dari tadi kita tidak berbicara serius Mas?” kataku meradang, dia menelan ludah. Dia kemudian mengambil  ranselnya, mengambil sesuatu di dalamnya lalu memberikannya kepadaku, sebuah kartu berwarna merah jambu dengan motif bunga-bunga dan ada sepasang merpati di depannya.

“Tujuanku mengajakmu bertemu sebenarnya pertama ingin silaturahim, yang kedua ingin memberikan ini kepadamu”

“Apa ini?”

“Undangan pernikahanku. Insyaallah Minggu depan aku akan menikah, kamu datang ya”

Mendengar itu entah mengapa air mataku tiba-tiba ingin tumpah. Segera aku menggosokan tanganku yang belum kucuci ke mata, mengucek mata dengan tangan bekas sambal goreng bawang, dan tumis kangkung. Mataku menjadi perih luar biasa.

“Aduh perih, aku ke belakang dulu” aku pergi ke toilet meninggalkannya, air mataku mengucur deras, menetes ke lantai. Entah air mata itu akibat dari sambal atau dari undangan yang dia berikan. Di dalam toilet aku tuangkan semua air mata, hidungku tersumbat ingus yang tiba-tiba menggumpal, dadaku sesak, dan aku sesenggukan. Warung makan ABG 99 yang dulu menjadi saksi kisah cintaku, dan kini sekali lagi menjadi saksi kisah cintaku yang harus berakhir kandas dengan bekas sambal yang belepotan di mata.

Purwokerto 2018-2021



[1] Sebuah warung makan terbuka pinggir jalan, yang berada di bawah jembatan dekat Stasiun Purwokerto.



Tentang Penulis


Juli Prasetya adalah seorang pemuda desa  sederhana yang seringkali mencintai seseorang yang tidak pernah mencintainya. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung. Kini ia bermukim di Desa Purbadana RT 05/02 Kembaran, Banyumas

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top