Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Kiki Sulistyo

0

Sebutir Apel dan Sebilah Pisau



     Ayu keluar membawa sebutir apel dan sebilah pisau di piring putih. “Cantik sekali ya. Ini apel Fuji,” ucapnya pada Willy. Hari hujan. Mereka duduk di teras. Suara kanak-kanak bermain bola terdengar dari kejauhan. Tentu tidak terdengar suara bola, yang terdengar adalah suara tawa, melambung di atas kabel-kabel listrik kota dan jatuh di telinga. Ayu memotong-motong apel dan langsung memakannya.

     “Tanah itu sebenarnya tak hendak kujual, tapi kudengar-dengar kau berniat membangun pusat kesenian. Nah, aku mengundangmu ke mari untuk membicarakan kemungkinan tanah itu bisa kau beli.”

     Willy menatap Ayu. “Betul sekali. Kau tahu di sini belum ada pusat semacam itu. Para seniman harus susah payah mengusahakan ruang untuk membuat acara. Saya kasihan melihat mereka, meskipun mereka semua sering bikin kesal, tapi saya kira kita semua membutuhkan mereka untuk membuat hidup yang sia-sia ini terasa lumayan.”

     “Kalau begitu mari kita berunding,” kata Ayu. “Tapi sebelumnya makanlah dulu apel ini.”

     Willy mengambil potongan apel yang dagingnya kekuningan dan tampak renyah. Willy mengupas apel itu sebelum memakannya. Suara apel yang hancur di mulut Willy membuat cahaya matahari menyeruak timbunan awan.  

     Tak jauh dari sana, seorang petani terjaga dari tidurnya. Petani itu turun dari balai-balai lalu berjalan di pematang. Kedua tangannya dilipat ke belakang. Caping bambu melindungi kepalanya. Tadi petani itu tertidur di balai-balai tengah sawah. Ia mengusap-usap matanya sebentar seraya menatap hamparan sawah yang hijau basah. Burung-burung berputar rendah seperti sedang mencuci bulu-bulunya.

     Sebuah mobil mendekat dari jalan yang memotong trotoar. Kaca mobil terbuka, seseorang melongok dari sana. “Bapak Wiji, kan? Yang punya sawah ini?” tanya orang itu. Petani tidak langsung menjawab, dia mendekat ke mobil. “Betul. Ibu yang mau beli?” Orang dalam mobil tak langsung menjawab, dibukanya dulu kacamata. “Sebenarnya aku tak hendak membeli tanah lagi. Aku sudah punya terlalu banyak. Bukan apa-apa, kalau negara tiba-tiba berubah haluan, bisa habis semua,” ujarnya.  Petani Wiji terkekeh.

     Sisa-sisa aroma apel menguar dari mulut Willy. Ayu bersedia menjual tanahnya dan menyebut sederet angka. Willy setuju pada angka itu dan meminta Ayu mengizinkan pembayaran dengan cara dicicil. Ayu setuju. Willy heran juga sebab pada mulanya ia mengira Ayu akan keberatan. Meski belum lama mengenal Ayu, Willy punya kesimpulan bahwa Ayu adalah seorang yang kikir. Tidak terpikir dirinya akan membeli tanah milik Ayu sebab tak terpikir pula Ayu mau menjual tanah miliknya. Ayu raya dan kaya. Raya sebab suka pesta, kaya sebab bisa mewujudkan pesta-pesta itu. Secara pribadi Ayu tak punya pekerjaan. Maksudnya, ia adalah pemilik sejumlah usaha restoran, hotel, super market, travel, peternakan kelinci, dan lain-lain. Sebagai pemilik Ayu justru tak punya pekerjaan, semua urusan usaha sudah dibereskan tenaga-tenaga profesional yang dibayarnya. Karena menganggur, Ayu berusaha mencari kesibukan, dan di antara banyak pilihan kesibukan ia memilih sibuk mencari dan membeli tanah. Willy agak yakin kalau Ayu pasti tidak ingat sudah berapa dan di mana saja tanah-tanah miliknya itu.  

     Keluar dari rumah Ayu, Willy memilih berjalan kaki. Kebetulan hujan sudah reda, hanya serbuk-serbuk air yang masih terasa di udara. Willy punya beberapa pilihan; melihat-lihat tanah yang hendak dibelinya, pergi ke rumah kawan tempatnya hendak meminjam uang, atau pulang dan tidur saja. Selama berjalan Willy berpikir mau memilih yang mana. Akhirnya, ia putuskan untuk pergi ke tukang cukur. Entah kenapa, meski udara sejuk, Willy merasakan kepalanya agak gerah,

     Willy berpikir ada tukang cukur di sekitar, tetapi setelah berjalan cukup jauh, ia tidak menemukannya. Trotoar yang di sisinya ada deretan pertokoan sudah dilewatinya. Sekarang di sisi trotoar hanya terlihat bentangan sawah. Ada semacam sensasi tersendiri ketika ia melewati bentangan sawah itu. Suatu perasaan bahwa ruang di dalam dadanya telah dilebarkan. Terasa lapang dan tenang.

     Di satu titik, trotoar itu dipotong oleh sebuah jalan ke arah kiri, dan dari jalan itu sebuah mobil keluar. Mobil baru. Plat nomornya masih putih, sebagaimana cat mobil itu. Kaca mobil terbuka dan tampaklah seorang perempuan berkacamata di belakang kemudi. “Halo,” serunya ketika melihat Willy. Jendela belakang mobil itu juga terbuka, dan tampaklah seorang laki-laki mengenakan caping. Dia tidak bilang apa-apa.

     Perempuan di belakang kemudi melanjutkan. “Kalau mau ke arah selatan, Anda bisa menumpang.”

     Willy yakin dua orang itu bukan kawannya, juga bukan tukang cukur. Namun, karena memang benar ia mau ke selatan, akhirnya ia menimbang sebentar, sangat sebentar, sehingga tampak seakan-akan ia tak menimbang apa-apa, sebelum berkata, “Baiklah.”

     Willy memilih duduk di samping perempuan berkacamata. Ia tidak tahu kenapa memilih duduk di sana. Ada semacam naluri yang bekerja dalam menentukan keputusan-keputusan semacam itu. Mobil melaju pelan. Selama beberapa saat tak ada yang berbicara. Timbul sedikit dugaan dalam pikiran Willy, mungkin perempuan di sebelahnya menyesal telah menawarkan tumpangan. Namun, ketika perempuan itu berkata alangkah baiknya jika dia memutar musik, perasaan itu dengan segera menguap.

     Suara cabikan gitar menyembur dari spiker. Itu cabikan gitar dari tangan kidal Kurt Cobain. Willy mengangguk-angguk seolah sedang menonton konser, dan ketika mengangguk-angguk itu ia baru sadar kalau mobil itu, meskipun baru, ternyata tak terlalu bersih. Di lantai ada serakan kulit apel, bahkan ada sebutir apel utuh di sudut. Apel itu menggelinding ketika mobil menambah kecepatan. Apel itu kelihatannya sudah busuk.

     “Kita berputar sebentar ya. Saya mau menjemput seseorang. Nanti kita balik lagi. Tenang saja,” kata perempuan di sebelah Willy. Jalanan tempat mobil melaju adalah jalanan dua arah yang dipisahkan semacam trotoar yang bagian tengahnya ditanami pohon-pohon bunga. Mobil berbalik di tikungan, meluncur ke arah utara, arah dari mana Willy tadi berjalan. Willy membuka jendela sebelah kiri. Angin menerpa rambutnya yang panjang dengan lebih keras ketimbang ketika ia berjalan tadi. Rambutnya jadi mengembang seperti bulu seekor merak. Itu membuat rasa gerahnya berkurang.  

     “Nah, itu dia,” kata si perempuan. Willy melihat seorang perempuan lain berdiri di pinggir jalan. Perempuan itu mengenakan gaun pengantin sehingga menimbulkan pemandangan yang agak ganjil, seperti di dalam sebuah video musik. Semakin dekat jarak, semakin yakin Willy, bahwa perempuan itu adalah Ayu.

     Mobil berhenti tepat di depan Ayu. Willy baru melihat kalau Ayu membawa sesuatu di genggamannya: sebilah pisau. “Halo,” kata perempuan berkacamata. Ayu membalas dengan kata yang sama. Laki-laki di belakang menggeser duduknya ketika Ayu membuka pintu dan masuk. Mobil meluncur sebentar ke arah yang sama, sebelum kemudian berbelok dan kembali meluncur ke arah sebaliknya. Kali ini mobil meluncur jauh lebih cepat. Selama beberapa saat tak ada di antara mereka yang berkata-kata.

     Rupanya Ayu tak memperhatikan siapa yang duduk di samping pengemudi. Karena itu ketika Willy menoleh ke belakang, Ayu kelihatan terkejut. “Lho, kau juga ikut di sini?” tanyanya.

     “Ah, tidak. Tadi dari rumahmu, saya berniat mencari tukang cukur, tapi karena tidak ketemu, saya jalan terus dan nona ini menawarkan tumpangan,” jawab Willy sambil menepuk pundak perempuan di sebelahnya.

     “Aih, rupanya kalian saling mengenal, ya?” ujar perempuan itu.

     “Kami baru kenal hari ini. Aku mengundangnya untuk membeli tanahku. Sebab aku dengar dia mau mendirikan pusat kesenian,” balas Ayu. Perempuan di sebelah Willy berkata, “Kau tahu? Nama kami serupa: Ayu. Dan kami akan menikah hari ini. Bagaimana menurutmu, kami pasangan yang serasi, bukan?”

     Willy mengangguk, tapi tak mengucap apa-apa.

     “Kau setuju? Nah, kalau begitu bagaimana kalau kau menjadi pendamping kami? Sungguh menyenangkan kalau pendamping-pendamping pernikahan kami adalah seorang petani, seperti Pak Wiji ini, dan seorang seniman seperti anda. Bagaimana menurutmu, Ayu?”

     “Gagasan yang brilian,” tukas Ayu. “Lihat. Dia cantik sekali, bukan? Seperti apel Fuji.”

     Mata Ayu berbinar-binar dan pisau ditangannya teracung sedemikian rupa ke arah Willy, seakan-akan Willy memang cuma sebutir apel.

 

Lombok, 2021              

 

 

Tentang Penulis


Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Telah menerbitkan kumpulan cerpen Belfegor dan Para Penambang (Basabasi, 2017). Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020). 

 


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top