Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Ryan Rachman

0

 


KRITIK SOSIAL SI TUKANG PUISI

Membaca Puisi-Puisi Dewandaru Ibrahim

Oleh: Ryan Rachman

 

Puisi Dewandaru Ibrahim Senjahaji


MENJADI TUKANG PUISI

 

Aku mungkin harus alih profesi

Menjadi tukang puisi

Dan berhenti dari pekerjaan mencintaimu

Daripada aku tetap bekerja membanting segala

Tapi tak paham jua mengapa aku mencintaimu

 

Aku mungkin akan beralih profesi

Jadi tukang puisi

Daripada aku menganggur sambil mabuk anggur

Dan merasakan pahit pada setiap tenggakan yang membuat mabur

 

Aku mungkin harus alih profesi

Jadi tukang puisi

Melupakan keahlian mencintaimu

Dan berusaha menggembalakan kata-kata

Seperti kalimat di televisi

Yang dapat menyihir kepala

 

Aku mungkin harus alih profesi

Jadi tukang puisi

Sebab tidak kutemui kerjaan lagi di negeri ini

Selain jadi babu orang luar negeri

Yang hampir jadi tuan rumah di sini

 

Aku mungkin harus alih profesi

Jadi tukang puisi

Membuat pabrik sendiri

Memproduksi sebanyakbanyaknya puisi

Lalu kubagi ke desa, kota, pasar, sekolah sekolah

Agar bapak bapak dan ibu ibu

Bermain bersama anaknya dengan puisi

Siapa tahu dengan berpuisi

Kita tak lagi berkelahi.

 

Semoga kau mengerti mengapa aku berpuisi

Dan secara diam-diam nyambi,

Mencintaimu.

 

Purwokerto, 20 Mei 2017


 

PANGGUNG HARUS TUTUP

 

Mungkin ini saatnya kuucapkan selamat datang pada lelah

Yang selalu bersedekah untuk tidak terburu singgah

Sekalipun ia bukan penyebab utama aku berhenti bersandiwara

Setiap film atau drama pun harus tamat atau bersambung

Pagelaran wayang pun harus paripurna ketika fajar tiba

Apakah karena lelah?

Tidak, namun karena panggung harus tutup

Dan satu kisah harus berpindah pada kisah berikutnya

Barangkali seperti sebuah pendakian, Sinta

 

Begitu juga denganku sebagai pemeran Rahwana

Yang begitu mencintaimu

Aku tidak mungkin untuk abadi

Merobohkan segalanya demi tegaknya cintaku padamu

Aku tidak bisa, Sinta.

 

Atau aku pun tidak akan abadi

Dalam peran Bandung Bandawasa yang membangun seribu candi

Untuk semayamkan cintamu

Aku tidak bisa Sinta.

 

Aku tidak bisa abadi

Untuk menjadi Sumantri yang melucuti

Kesaktian raja seribu negeri

untuk memboyong satu wanita

Yang kemudian harus kuserahkan kepada Arjuna sasra

Aku tidak bisa, Sinta

 

Aku tidak bisa terus bermain drama

Panggung harus tutup dan pagelaran harus paripurna

Aku tidak bisa untuk terus mencintaimu

Pada cerita yang sama

Kisah harus berlanjut, Sinta

Panggung harus tutup.

 

Purwokerto, 5 April 2017


 

SURAT PENYESALAN SINTA

 

Pada jejak jejak yang kau tangkap

Telah kau dapati bercak bercak yang lengkap

Begitu pun kacau panah yang ujungnya basah

Oleh darah yang tubuhnya tak lagi mampu lampiaskan amarah

 

Telah kulihat tumpah cinta yang tabah

Meretas pada rumput rumput yang takan musnah

Sebab luka luka yang terseret kalah

Tak kunjung membuatnya menyerah

 

Aku tahu raga yang rebadi Narmada

Kala itu bukan karena banjir yang merendam gubuk pertapa

Melainkan keyakinan yang tak goyah pada wajah,

Wajah wanita yang telah ada, di benakmu;

wajahku, sebelum aku ada

 

Aku tahu itu kau, Rahwana

Rumput rumput itu bercerita padaku, ketika lava dan kusa

Masih kuemban dalam kandungan yang tua

Sewaktu aku harus menghapus hidup dari ayodya

 

Aku telah melihatnya

Sekalipun kututup mata waktu pecah perang di Alengka,

Berlaksa laksa pejuang harus tumbang

merenggang demi satu kembang

 

Para syahid itu tak pernah mati

Meski jasadnya telah terbunuh dan terbantai

Mereka tetap hidup pada kisah yang tak pernah usai

Untuk terus dimata-matai

 

Aku berani bersaksi akan cinta sejati yang dipikul laki-laki

Dengan memeras seluruh darahnya sendiri.

 

O, aku telah salah Rahwana

Aku telah salah menolakmu dengan pulang pada laki-laki itu

Yang menjemputku untuk api pancaka dan curiga

O, Rahwana aku tahu maafku pun tak mampu

Lepaskan deritamu yang nestapa

Di himpitan neraka gunung Kendalisada

 

Demi membuktikan segala kesucian

Kini aku akan kembali ke haribaan pertiwi

Untuk lahir kembali dan mencintai

Laki laki yang selalu hidup dari mati

Kutunggu kau di kisah berikutnya, Rahwana.

 

Purwokerto, 17 Desember 2017

 

TAWARAN YANG MENGGIURKAN

 

Jaka,

Aku sudah tahu segala tentangmu

Aku juga tahu bagaimana keadaan pacarmu

Jika kau ingin lekas menikah

Siapkanlah segala ube rampe agar calonmu segera berserah

Kau harus cekatan dan jangan telat langkah

Bunga desa selalu banyak lalatnya

Umurmu sudah hampir dua lima lebih lima

Sebentar lagi pacarmu dua tiga

Tentu ia akan gatal dengan kecaman perawan tua

 

Jaka,

Pacarmu itu karyawati, wanita karir,

Pasti pandai soal dandan dan soal hitung-hitungan

Tampang itu nomor dua puluh lima

Yang penting ekonomi dan gaya

Terlebih ia lebih banyak bergaul dengan orang kota

Apalagi sekarang banyak pendatang yang matang

Kau punya apa jaka?

 

Jaka, sebagai orang desa

Tampangmu memang tampan, tapi terlalu kekar

Perempuan sekarang lebih suka yang elegan dan tak terlalu terkesan kasar

Sebagai mahasiswa legenda yang menghabiskan semua jatah semesternya

Engkau memang beruntung punya pacar tetangga lulusan S2 kampus terkemuka

Yang setia menjalin cinta sejak SMP kelas dua

Tapi perempuan, jaka, Bisa goyah lantaran harta

Jika pacarmu diklepek atasannya dengan rumah dan mobilnya

Gubug warisanmu tidak ada artinya

 

Sebentar lagi kau diwisuda

Pakai ijazahmu untuk melamar kerja

Tapi kalau ingin cepat kaya

Merantaulah dan kumpulkan uang sebanyak-banyaknya

Jangan lupa beli motor yang knalpotnya dua

Barangkali itu tolak ukur ketampanan pria dan anggapan sukses bagi sebagian orang desa

Kalau perlu lemburlah setiap waktu

Agar usai kontrakmu habis dan kamu harus balik kampung

Kamu bisa beli tanah untuk bangun rumah, setidaknya di daerah gunung

Sebab sebentar lagi tanah desa pinggiran kota akan sangat mahal

Karena kota kita akan jadi kota impian yang tidak pernah kita impikan

Pusat perbelanjaan akan tumbuh di sini

Jadi jangan kepingin untuk usaha atau berdagang

Kita sudah dipites dan ludes oleh raksasa besar

Kita cuma kecoa

Kota kita akan jadi kota impian yang tidak pernah kita impikan

Jadi bersiap-siaplah jika kemudian di desamu terjadi kesepian

Atau harga-harga kebutuhan hidup menjadi mahal

 

Setelah kau punya uang

Jangan kepingin untuk usaha atau berdagang

Tidak usahlah berfikir beli sawah

Lihatlah desa-desa pinggiran kota

Tidak ada yang namanya petani, mereka telah pindah

Rumah-rumah yang mewah itu sebelumnya sawah

bukan salah pak tani yang menjual sawah

pak tani sudah tua dan waktu mulai menghisap tenaganya

Apalagi pasokan air mulai sulit sejak adanya proyek bangunan

Selain itu kontraktor berani bayar besar

Tetapi kamu tidak usah bingung soal kerjaan

Jangan kuatir, ada banyak kerjaan di sini asal kau bersedia jadi kuli

 

Tapi jika kau mau jaka

Dalam jangka waktu hingga pergantian walikota

Pacarmu yang cantik sudah dapat kau nikahi

Bahkan kau bisa memadunya hingga tiga kali

Kau tidak perlu merantau atau jadi kuli

Sebagai mahasiswa legenda yang aktif diorganisasi

Tentu kau cerdas dan penuh ambisi

Kau pasti kenal baik dengan orang-orang penting di sini

Dari walikota, pengusaha hingga para pejabat tinggi

Manfaatkanlah relasi-relasi yang kau ketahui ketika aktif di organisasi

Tawarkan pandanganmu tentang sudut-sudut kota yang punya potensi

Tawarkan desa-desa yang bisa dieksplorasi

Dan yang terpenting tawarkanlah caramu melobi

 

Jaka,

Mintalah agar kau dapat bergabung dengan mereka

Minimal kau masuk dalam jajaran mafia ahli tata kota

Sudahlah tidak usah memikirkan nantinya kota akan bagaimana

Tak usah berbaik hati memikirkan nasib orang desa

Tak perlu kau memikirkan harga

Jika berhasil ambil bagian dari mereka

Tidak penting kenaikan harga-harga

Tidak penting bagaimana nasib orang desa

Tidak penting bagaimana masa depan kota

Karena kadang-kadang dihadapan siapa saja

Semua uang sama

Dan jika kau setuju, jangan lupa

Pilihlah aku jadi bupati

 

Purwokerto, 15 oktober 2017

 


 

DEBU DARI ROHINGYA

 

Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai

Setelah segala yang telah terjadi

Tidak ada tempat sembunyi selain ketakutan diri

Tiada senjata selain air mata yang sia sia mengiba

Di depan moncong senjata

 

Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai

Demi tidak bunuh diri atau pun mati karena menyerah pada kebiadaban

Kami harus lari dan mengungsi dari kedamaian kami

Dari kehangatan rumah, pekerjaan yang tabah

Maupun segala bentuk senyum bocah yang indah

 

Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai

Kami tidak punya apa-apa selain diri

Dan tidak ada senjata apapun yang kami punyai

Selain semangat untuk tetap hidup di rumah yang mati

Apa yang kau takutkan dari kami?

Hingga kami harus diberantas dan harus mati

 

Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai

Jika kami adalah kotoran dan harus dibersihkan

Maka setiap peluru, setiap pukulan, tendangan,

Sayatan, Ledakan-ledakan, dan api yang kau beri

Telah mensucikan kami, malaikat-malaikat akan mengangkat kami

Dan mengantar kami kepada Tuhan

Dan mungkin suatu saat mereka akan berterima Kasih

Kepada kalian yang telah membersihkan kami

Dengan membersihkan kalian dengan cara yang tak pernah bisa dibayangkan

 

Kami adalah penduduk Rohingya, tanah kami yang kami cintai

Jika kau anggap kami hanyalah najis bagi Rohingya

Dan rohingya harus disucikan dari kami

Maka kamilah yang telah kau hancurkan yang akan suci

Begitu pun Rohingya pada waktunya juga akan suci

Karena tangan kasih sayang Tuhan yang gatal

Akan membersihkan Rohingya dari kekejaman kalian

 

Purwokerto, 15 September 2017


 

Rohingya

 

Wahai roh roh bening yang bergerilya

Dengan kematiannya

Maafkan kami yang tidak bisa apa-apa

Selain menonton dan iba

Karena kepentingan dunia telah buta

Dan kami lebih asyik ngopi dan ngobrol dusta.

 

Purwokerto, 15 September 2017


 

PERANG (Rohingya)
 

Apakah itu perang?

Masih adakah perang

Jika yang saling berhadapan adalah

Ujung senapan dan badan yang ketakutan?

Perang adalah isu yang melekat pada kami.

Entahlah, kami pun tidak ingin perang

Atau menjadi pantas untuk disebut sebagai lawan perang

Yang jelas kami sedang tidak berperang dengan siapa pun

Selain berperang melawan kematian kami sendiri

 

Purwokerto, 15 September 2017

 


 

BALADA TUKANG GAMBAR DAN PEREMPUAN

 

Dari bekas persetubuhan pensil dan kertas

Aku tidak menemukan lukisan

Kecuali rindu yang tertawa

Berhasil menjebak seorang kekasih

Dengan wajah kekasihnya

 

Merasa ada kudeta

Aku pun melapor pada seorang wanita

Yang dimanfaatkan untuk menjebak kekasihnya

Dengan menyodorkan barang bukti

Berupa kertas yang tadi

“ini, barang bukti yang kudapat dari begadang selama malam hari”

 

Seorang wanita tertawa,

Ia merasa menerima wajahnya sendiri

Yang telah ia biarkan satu bulan

Beterbangan di kepala kekasihnya

 

Sial, ternyata mereka kerja sama

Hampir saja aku bahagia

Karena berhasil menukar gambar wajahnya dengan tawa di wajah aslinya

Tapi pada akhirnya tawa itu harus kubayar dengan kangen lagi

Dengan nota ucapan sampai jumpa

 

Purwokerto, 4 mei 2017

 


 

KEKASIH PUISI

 

Wahai perempuan

yang menjadi bapak bagi puisi-puisiku

Anak-anakmu telah lahir

Dan cakep-cakep sepertimu

Ada yang besar, ada yang panjang,

Ada pula yang pendek dan lucu

Tak sia-sia aku susah payah mengandung dan limbung

Tak sia-sia aku melahirkannya hingga hampir gila

Sebagai ibu, aku ingin engkau membopong,

Mengumandangkan cinta dan memberinya asma

Sebelum mereka dipindahkan ke kamar mereka yang serupa buku sastra

 

Aku paham sayang, ini berat bagimu sekaligus tabu

Tapi engkau terlanjur menjadi bapak dari puisi-puisiku

Dan terlanjur wajib bertanggung jawab bagi keluarga baru

Yang dibangun rindu

 

Purwokerto, 4 Mei 2017


 

NASEHAT BAPAK TUA PADA PUTRANYA

 

Bersiap siaplah nak

Bersiaplah untuk terus tegak

Sebab ada kabar dari burung prenjak

Tentang tamu tamu yang akan berjejak

Di tanah eyangmu yang telah lama nyenyak

 

Bersiap siaplah nak

Engkau akan lebih dari sekedar bersaing atau bertanding

Mentalmu harus kuat dan pantang bergeming

Sekolahlah yang serius agar kau tak terjerumus

Oleh arus yang kian lama kian menggerus

Sejarah eyangmu yang semakin aus

Jadilah engkau orang pintar yang memintarkan

Jadilah orang makmur yang memakmurkan

Dan jadilah orang saleh yang menyalehkan

Barangkali dengan begitu tanah eyangmu tak lekas jadi panas

Oleh segala yang beringas

 

Bersiap siaplah nak

Jika benar apa yang dikatakan burung prenjak

Akan ada orang-orang hebat yang berjejak

Kau harus baik padanya jika jinak

Dan kau harus tega padanya

Jika ia melunjak

 

Bersiap siaplah nak

Jika kau sampaikan pesanku pada orang banyak

Jangan kaget jika ditolak

Sudah pasti banyak pihak yang tak mau rugi

Tapi jika kau tak sampaikan pesanku layaknya burung prenjak

Bisa jadi sanak saudaramu akan merasa rugi di kemudian hari

 

Bersiap siaplah nak

Jika tak mampu jadi harimau

Yang menghalau harimau

Engkau bisa jadi burung prenjak

Barangkali harimau yang sedang menyamar jadi kerbau,

Jadi kambing, atau jadi tikus

Akan berhenti jadi kerbau, kambing dan tikus

Lalu mengaum untuk Rimba

 

Bersiap siaplah nak

Siapkan dirimu untuk jadi burung prenjak

Meski nyawamu terancam penembak

 

Purwokerto 4 Nov 17

 

 


 

KEPADA BAPAK-BAPAK YANG KAMI CURIGAI

 

bapak-bapak yang kami curigai

maghrib ini banjir datang ke kali

apakah bapak yang mengundangnya hingga sampai ke sini?

aduhh bapak baik sekalisudah bertahun-tahun kewaspadaan kami sepi

sekarang bapak mengundangnya ke sini

mohon maaf bapak kami tidak bisa menyuguhi

selain rasa cemas dan was-was

yang aromanya khas memenuhi gubug kami

 

bapak-bapak yang kami curigai

ini bisa saja sebuah kewajaran atau kebetulan

karena memang di sini sedang panen hujan

sudah jelas kuasa ini kuasa Tuhan

tapi bapak bapak, mana mungkin tiba-tiba air dimainkan Tuhan

kalau bukan bapak-bapak yang memohonkan?

juga tidak mungkin bapak kalau banjir ini disebabkan

karena ulah malaikat yang kencing sembarangan

maka dari itu bapak, kami harus cepat-cepat menyimpulkan

kalau bapak-bapak yang menyebar undangan

 

bapak-bapak yang kami curigai

terimakasih jika memang bapak yang mengundangnya kesini

semoga bapak mendapatkan ganjaran yang setimpal

dan semoga bapak-bapak tidak mengundang teman-temannya ke sini

karena kami tidak punya apa-apa untuk kami suguhkan

jadi kalau bapak tetap mengundangnya ke mari

mohon bapak berkenan untuk menyediakan diri

karena bapaklah yang nanti akan tersuguhkan

 

16-09-17

 


 

SETELAH USAI CERITA

 

bisa jadi kata-kata akan sia-sia

karena gugur menjangkaumu

tapi arkeolog ada di pihakku

mereka membedah waktu,menggali fosil kata-kata

membingkisnya dan meletakkan di pintu kamarmu

engkau mungkin sedang tidur dan mendengkur

tapi siluman mimpi telah bangkit dari kuburdan membuatmu nglindur

ia membawa setangkai mawar kering dan sebilah pisau

yang ia genggam dalam bingkisanyang terletak di depan pintu

barangkali engkau bisa memilih berhenti meracau

dan mengunyah kelopak kelopak kering itu sebagai jamu

atau kau bisa ambil pisau

dan mengahiri penyesalanmu

 

20 Oktober pukul 0:54·

 

Setiap kata sangat berharga bagi seorang penyair untuk mengantarkan apa yang mereka inginkan. (Sori Siregar)

 

Dewandaru Ibrahim sebagai seorang penulis puisi saya kenal namanya sejak dua tahun terakhir. Puisinya beberapa kali melintas di media massa dan sering melintas di linimasa. Sebagai mahasiswa IAIN Purwokerto, tentu saja karya-karyanya tak bisa lepas dari pengaruh guru dan seniornya seperti Abdul Wachid BS, Arif Hidayat, Yanwi Mudrikah, dan Dimas Indianto S. Namun dari pengalaman bersastra para senior yang ditelurkan itulah, Dewandaru Ibrahim menjadi pengekor. Tentu saja, dia akan kembali pada ruang dirinya sendiri dalam setiap proses kreatifnya.

Membaca puisi-puisi Dewandaru Ibrahim, pembaca harus menyelami kata per kata untuk bisa menemukan pesan yang disampaikan penulisnya. Karena, seperti kata sastrawan Sori Siregar itu, puisi memang tidak mudah dimasuki hanya dengan sekali baca.

Ada 13 puisi yang saya salami secara perlahan. Puisi-puisi itu terbagi menjadi tiga tema besar. Pertama, perihal kritik sosial pada puisi Debu dari Rohingya, Rohingya, Perang (Rohingya), Kepada Bapak-Bapak yang Kami Curigai, Nasihat Bapak Kepada Putranya  dan  Tawaran yang Menggiurkan. Kedua, perihal romantisme pada puisi berjudul  Surat Penyesalan Sinta, Balada Tukang Gambar dan Perempuan, Setelah Usai Cerita dan Panggung Harus Ditutup. Ketiga, perihal kekaukan penulis terhadap kegemarannya berpuisi dalam puisi berjudul  Menjadi Tukang Puisi.

Ketika pemerintah bengkok, maka puisi yang meluruskan. Pernyataan Presiden Amerika John F Kennedy tersebut sepertinya menjadi acuan Dewandaru Ibahim untuk menuliskan puisi-puisi yang bertemakan kritik sosial yang terjadi di sekitarnya maupun yang bersifat isu internasional kekinian.

Coba lihat di puisi berjudul Kepada Bapak-Bapak yang Kami Curigai. Kalau boleh menafsirkannya, puisi ini mengkritik kebjakan pemerintah yang membangun Pembangkit Listrik Bertenaga Panas Bumi (PLPB) di lereng Gunung Slamet yang dilakukan oleh PT SAE. Isu ini masih menghangat sejak beberapa bulan lalu dan puncaknya terjadi demonstrasi dari elemen mahasiswa, LSM dan aktivis lingkungan hidup di Alun-Alun Purwokerto. Demonstrasi ini berbuntut pembubaran paksa dan insiden pengaiayaan oleh aparat kepolisian dan Satpol PP. Isu itu masih menghangat sampai saat ini. Dewandaru menuangkan keprihatinannya melalui puisi. Kejadian banjir di beberapa tempat di Purwokerto serta meluapnya sejumlah aliran sungai yang memorak-porandakan sejumlah bangunan dan tempat wisata di tepi sungai. Menurut Dewandaru, banjir tersebut bukan hanya sebatas hujan yang turun tiada henti, tapi ada ulah manusia yang merusak alam. Itu termaktub dalam bait : //bapak-bapak yang kami curigai/ ini bisa saja sebuah kewajaran atau kebetulan karena memang di sini sedang panen hukan/sudah jelas kuasa ini kuasa Tuhan/ tapi bapak bapak, mana mungkin tiba-tiba air dimainkan Tuhan/ kalau bukan bapak-bapak yang memohonkan/ juga tidak mungkin bapak, kalau banjir ini disebabkan/ karena ulah malaikat yang kencing sembarangan/ maka dari itu bapak, kami harus cepat-cepat menyimpulkan/ kalau bapak-bapak yang menyebar undangan.

Kemudian pada puisi berjudul Tawaran yang Menggiurkan. Dewandaru bercerita tentang cara pintas seseorang menjadi kaya raya dengan ikut menjadi tim sukses calon pemimpin daerah. Hal ini menjadi otokritik bagi sebagian orang yang memanfaatkan momen pilkada yang mencari celah untuk mengeruk keuntungan pribadi. Juga bagi calon kepala daerah yang merayu orang untuk menjadi pendukungnya. Dewandaru juga melihat kondisi yang tidak baik di setiap sudut seperti minimnya regenerasi petani dan alih fungsi lahan pertanian. Dari sisi gaya bahasa, Dewandaru memilih menggunakan kata-kata yang lugas dengan minim bahasa figuratif. Namun kelugasan kata itu dirangkum menjadi sebuah puisi ironi yang merupakan bahasa kias itu sendiri.

Kemudian pada tiga puisi yang bercerita tentang penderitaan saudara muslim di Rohingya, Myanmar. Ibarat tubuh, jika ada satu bagian yang sakit, maka semua akan merasakan sakit. Itulah yang mungkin dirasakan oleh Dewandaru Ibrahim ketika melihat pembantaian etnis muslim Rohingya oleh militer Myanmar. Ketidakberdayaan mereka dilukiskan melalui bait /Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai/ (Debu dari Rohingya).

Rasa empati bisa dilakukan melalui berbagai macam. Kalau pemerintah Indonesia melakukan dialog dengan antarnegara, anak-anak sekolah melakukan penggalangan dana dan doa bersama, maka penyair menuangkan air matanya melalui puisi. Itu terlihat pada bait /Maafkan kami yang tidak bisa apa-apa/ Selain menonton dan iba/ (Rohingya). Dalam catatannya, Jamal D Rahman mengatakan, jalan nirkekerasan merupakan jalan yang secara langsung dan tegas menegasi dan menampik kekerasan dalam segala bentuknya, dan dengan sendirinya ia mengharuskan cara-cara damai. Dengan cara tersebut, jalan ini menohok langsung ke jantung apa yang ingin dilawannya. Jalan nirkekerasan adalah negasil sekaligus penegasan: menegasi kekerasan, pada saat yang sama menegaskan nirkekerasan (Horison, Desember 2013).

Puisi, sebagaimana diakui oleh semua peradaban dunia, selalu berpihak kepada kebajikan dan kebenaran dan selalu menyampaikan kebajikan dan kebenaran dengan cara ungkap yang beradab, manusiawi dan bertanggung jawab. Mungkin apa yang disampaikan oleh Korie Layun Rampan pada akhir antologi puisi Negeri Angsa Putih (2007) itu menjadi jalan bagi Dewandaru Ibrahim menyuarakan ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem di masyarakat.

Kemudian, tema kedua yang diangkat oleh Dewandaru berupa tema melankoli. Bisanya, penyair akan berdarah-darah mengungkapkan rasa cinta melalui puisi dengan bahasa kias yang berlebihan. Namun tidak pada puisi Surat Penyesalan Sinta dan Panggung Harus Ditutup karya Dewandaru. Dewandaru menggunakan dekonstruksi dalam menggambarkan kisah percintaan abadi Ramayana karya Valmiki. Dalam dekonstruksi, kata Jacques Derrida, semua anggapan kontekstual, tidak ada yang absolute. Semua anggapan itu wujud konstruksi sosial yang menyejarah. Anggapan itu ada dan menjadi jejak yang bisa dirunut sejarahnya oleh penciptanya. Di puisi ini, Dewandaru menegaskan jika sosok Sinta yang menyadari bahwa cinta Rahwana lebih dahsyat dibanding dengan cinta Rama kepadanya. Hal ini muncul dalam bait /Aku bersaksi akan cinta sejati yang dipikul laki-laki/ Dengan memeras seluruh darahnya sendiri// O, aku telah salah Rahwana/ aku telah salah menolakmu dengan pulang pada laki-laki itu/ Yang menjemputku untuk api pancake dan curiga/ (Surat Penyesalan Sinta).

Hal itu pernah dikemukakan pula oleh Sujiwo Tejo melalui drama musikal Pengakuan Rahwana yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Desember 2008 lalu dan Mahacinta Rahwana. Diceritakan, sebelum perang penghabisan menghadapi Rama, Rahwana pamit pada Sinta. Sinta lalu memohon agar dia tidak usah pergi ke medan perang. Ketika Rahwana hendak pergi, Sinta memegangi pundaknya. Rahwana menoleh dan bertanya, “Apakah ini pertanda kau sudah mencintaiku?”. Sinta hanya terdiam dan menitikkan air mata.

Begitulah, seorang penulis puisi harus bisa melihat dari sudut pandang lain. Dia harus bisa menemukan kemungkinan-kemungkinan baru di luar kotak cara berfikir orang kebanyakan. Melalui puisi Surat Penyesalan Sinta ini, Dewandaru Ibrahim telah menjadi bagian dari orang yang memiliki cara berfikir di luar kotak. Terlebih lagi dia sudah menyatakan diri menjadi seorang berprofesi sebagai penyair yang diikrarkan melalui puisi Menjadi Tukang Puisi. Pernyataan sikap inilah yang sering didengungkan oleh para penyair muda yang mulai terjun di blantika kesusastraan.

Saya berharap, begitu Dewandaru sudah memutuskan terjun ke lautan ini, dia akan semakin dalam dan terus berenang mengarungi setiap palung, walau sesekali harus naik ke daratan dan menepi di buliran pasir pantai. Sebab tidak sedikit pula, penyair-penyair muda yang awalnya keranjingan belajar menulis puisi dan menceburkan diri ke samudera tak terhitung luas dan dalamnya, kemudian dia tenggelam dan lenyap ditelan ikan paus.

Tabik


Tentang Penulis


Ryan Rachman, bakul banner, stempel, medali dan buku yasin ideran, tinggal di kaki Gunung Slamet, Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga.


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top