Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Eddy Pranata PNP

0

 


 

MATA PUISI

 

di tengah ladang ketika matahari lindap

kautanam jagung

 

keringat rembes dari leher jenjangmu

 

serunai dan bansi timpa-bertimpa

kaba didendangkan

parau terdengar

 

angin kering berderu dari bukit 

turun ke lembah

 

dari kejauhan indah sorot matamu

gugurkan rindu

walau absurd

 

tapi kita mengerti

jarak ngarai-pantai

langit-bumi serupa tali

yang kaurentang

berbuhul kasih

 

oi, sepasang mata

menyimpan dalam

misteri wangi edelweis

 

di tengah ladang

di atas daun pisang

kaubaringkan puisi

kauelus hati-jiwanya

 

di atas daun pisang

di tengah ladang

sepasang mata puisi

menebar cahaya edelweis

hingga jauh

ke seberang lautan

memantul di dinding tebing karang

 

pedih, chin!

 

oi, rimbun perdu itu

seperti rinduku yang tak terawat

tumbuh tanpa menemukan arah

 

di tengah ladang

di bawah langit lindap

desau angin memantulkan suaramu

di dinding hari

 

ini pertemuan selalu menyesak dada

di tanah ini kusemai puisi

sepanjang waktu

bertarung hidup yang getir

 

di tengah ladang

di bawah langit lindap

selalu ada harap rinduku padamu

 

pada sepasang mata puisi yang tajam!

 

 

Jaspinka, 2021


 

DI PINGGIR JALAN RAYA KOTA WANGON

 

di pinggir jalan raya kota wangon, matahari tepat di atas kepala

 

 : "leburkan rindumu pada sepinggan es durian, lalu

     lupakan amarahmu pada orang-orang nyinyir yang pandir!"

 

engkau lalu melangkah arah utara, alir darahmu tersirap-sirap

bayang tubuhmu senantiasa mendahului langkahmu

kadang serupa camar, kadang serupa merpati patah sayap

kadang serupa serumpun edelweis, kadang serupa bongkah

dendam yang kian menghitam

 

engkau terus melangkah ke utara, lurus, sampai

di pertigaan karang bawang belok kiri naik

ke bukit karang darmakradenan

menikmati semilir angin, hijau dedaunan pohon-pohon 

dan semak-perdu dan ou, daun-daun jati kuning-coklat

melayang berlepasan dari tampuknya

 

engkau terus ke barat, melewati

tambang emas tradisional igir salak

melewati tanjakan cangkring, menyeberang kali cirebah

dan berhenti di markas jaspinka, berorasi, berdeklamasi

menyeruput segelas kopi

 

engkau lalu, o, menjelma baris-baris puisi, yang begitu nyeri!

 

 

Jaspinka, 2021


 

RUNTUHNYA KERATON CANGIK

 

Cangik; air matanya tak terbendung, berderai-derai

Membasahi kedua pipi dan berlembar-lembar tisu

Di luar dugaan, keraton yang telah bertahun-tahun menjadi singgasana

Runtuh berantakan

Hujan badai, banjir bandang menerjang

Lalu pagebluk mengurung keratonnya

Cangik mengungsi ke ketinggian bukit

yang jauh di bawah Selatan sana-- hamparan laut;

bongkahan karang berlumut dan debur ombak

Para cantrik pun menyebar

Menyelamatkan diri ke berbagai arah

Rakyat yang selama ini tertindas perilaku otoriter Cangik

Bersorak dan sujud syukur

Dan Limbuk yang mengambil tongkat kepemimpinan bersuka cita

Tetapi tidak lama kemudian, Limbuk juga

Suka menepuk-nepuk dada

Menindas orang yang tidak tunduk

Serupa Cangik, Limbuk juga merasa paling cantik dan berkuasa

Cantrik-cantrik baru juga seperti cantrik-cantrik lama

Selalu sujud berguling-guling seraya mulutnya mengatakan: siyap, siyap!

Ketika Limbuk baru mulai berbicara

Hahaha

Dari kejauhan, dari atas bukit, Cangik melihat keraton yang hancur berantakan

Dadanya sesak, air matanya terus berguguran

Ia sangat sunyi dan hina

Langit mendung, namun udara begitu panas

Limbuk pethatha-pethithi berjalan menggoyangkan pinggulnya

Mengelilingi keraton yang ditinggalkan Cangik

Para cantrik mengikuti dari samping kanan-kiri dan belakang

Ketika Limbuk baru mulai bicara

Mulut para cantrik terus melompatkan kata: siyap, siyap!

Jebret!

 

 

Jaspinka, 2021


 

MERCUSUAR CIMIRING

 

Kalau engkau ingin mengenal manusia berdarah paling sunyi

berhati-jiwa cahaya, suatu waktu datanglah

ke Menara Mercusuar Cimiring, di balik Bukit Nusakambangan—

paling ujung Selatan, menara peninggalan Belanda yang sangat

indah menakjubkan. Dari pelabuhan Sleko atau dari pantai

Teluk Penyu menyeberanglah dengan perahu nelayan

menuju dermaga Karang Tengah, lalu mengikuti jalan setapak

yang kian jauh kian mendaki sampai di puncak Bukit Kempis

lalu menurun lalu mendaki lagi, dan sampailah di mersusuar Cimiring

tempat penjaga menara mercusuar menjalani hidupnya

siang membersihkan lingkungan, memancing ikan, berkebun

dan yang paling utama adalah memastikan mercusuar menyala

sepanjang malam; perahu dan sampan nelayan, juga kapal-kapal

dan tanker sangat membutuhkan kerlip bilah cahaya mercusuar

agar tidak kandas, agar tidak menubruk bongkar karang, bila malam

 

Kalau ada waktumu, datanglah ke Menara Mercusuar Cimiring

engkau juga boleh ikut penjaga menara mercusuar berburu ikan,

udang dan cumi-cumi, turun ke pinggir laut, masuk ke geronggang

karang,--  sambil sesekali kauteriak membaca baris-baris puisi, o,

baris-baris puisi! atau engkau naik ke puncak menara mercusuar

bila malam menua, menenggak embun yang turun dari langit

engkau lalu naik ke atas cahaya mercusuar-- mengitari laut

hingga sejauh mata memandang, betapa maha menyenangkan

engkau, tentu akan sangat hormat pada penjaga menara mercusuar

orang berdarah paling sunyi, berhati-jiwa cahaya—

 

 

Jaspinka, 2021


 

PERISTIWA KECIL SUATU PAGI

 

di luar pagi pecah

suara ayam dan burung

ia membuka jendela, pintu rumah

dan ke luar, di sudut halaman di ranting anggrek putih

seekor prenjak mematuk ulat

 

: paruh prenjak mencincang ulat

  tamat sudah sebuah riwayat!

 

tidak ada yang terlihat istimewa

dan perlu dicatat

 

hanya kesunyian

perlahan mengental dalam sukma

 

: di halaman rumah kecil, di ranting anggrek

  ini pagi seekor prenjak matanya memancarkan

  cahaya sukacita

 

lalu berdencir-dencir tak henti-henti

bergerak dari ranting anggrek putih

ke ranting mawar, ke ranting melati

ke ranting hati paling nyeri.

 

 

Jaspinka, 2021


 

DI BAWAH SENGAT MATAHARI

 

di bawah sengat terik matahari

ia bertarung

menaklukkan diri

mengalahkan hawa nafsu

menundukkan kata-kata

yang liar

 

mulut-hatinya meletupkan doa

 

serupa ratusan singa lapar

orang-orang di sekitar

menarik-menyeret dirinya

ke bibir jurang

 

"ini manusia paling hina!"

"musnahkan!'

"terjunkan ke jurang!"

 

suasana riuh, matahari kian pecah

 

"tunggu dulu, jangan terburu eksekusi!"

"barangkali ia penulis puisi!"

"penyair?!"

 

seketika tubuhnya meleleh

serupa lilin tapi bukan

serupa gumpalan darah tapi bukan

lelehan tubuhnya adalah huruf-huruf

o, huruf-huruf,  perlahan berubah kata-kata

o, kata-kata menjelma puisi surealis!

 

ratusan singa lapar terkesima

sujud dan hormat

 

"jangan terjunkan ke jurang!"

 

 

Jaspinka, 2021


 

IA PUKUL DINDING WAKTU

 

"cahaya, cahaya, cahaya!"

 

dada ini bergetar

pergulatan tak henti-henti

ia pukul dinding waktu

jam berdentang tiga kali

malam larut

bulan sabit terayun di senyap langit

 

ia meremukkan rindu tetes embun

pada segala kisah daun-daun

yang menguning rontok

melayang

jatuh di rapuh usia

 

"cahaya, cahaya, cahaya!"

 

jiwa ini berguncang

ia pukul dinding waktu

dengan segala ngilu!

 

 

Jaspinka, 2021


 

DOA SEDERHANA

 

di jalan lurus-Mu

tak henti-hentinya

aku lafalkan doa

sederhana

 

: "jadikan, jadikan kata-kataku

   lilin yang tak kunjung padam!"

 

dada ini bergetar.

 

 

Jaspinka, 2021


 

Tentang Penulis



Eddy Pranata PNP adalah Ketua Jaspinka (Jaringan Satra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia. 

Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019).

Puisinya juga terhimpun ke dalam antologi: Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Puisi Sumatera Barat (1999), Bersepeda ke Bulan (2014), Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Negeri Awan (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Mengunyah Geram (2017), Negeri Bahari (2018), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), Kota Kata Kita (2019), Segara Sakti Rantau Bertuah - Jazirah 2 (2019), Negeri Pesisiran (2019), Reruntuhan di Bukit Kapur (2019), Mata Air Hujan di Bulan Purnama (2020), Rantau (2020), Angin Ombak dan Gemuruh Rindu – Jazirah 5 (2020), Semesta Jiwa (2020), Banjarbaru Rayn (2020), Lurus Jalan ke Payakumbuh (2020), Hujan Pertama di Bulan Purnama (2021), Kartini Menurut Saya (2021), Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian (2021), Khatulistiwa (2021).

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top