Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Muhammad Rois Rinaldi

2



Catatan Wabah, 26 Maret

 

Kewaspadaan ini apakah hanya tentang ketakutan?

Orang-orang di dalam rumah dan pertemuan berjarak,

kita menjumlah mayat sambil menutup pintu dan berkata:

 

"Bukan aku. Bukan saudaraku. Semua baik-baik saja. ",

setelah memborong makanan di pasar;

ongkang kaki sambil main ponsel dan tetap berdebar

mengingat-ingat sisa tabungan.

 

Harga-harga naik, alat-alat kedokteran langka,

dan orang-orang yang upah kerja sehari-hari

habis untuk makan sehari-hari menghitung mata dadu nasib

antara mati diserang wabah atau karena kelaparan.

 

“Selama bukan aku, bukan saudaraku,

semua baik-baik saja.”

 

Ada yang lebih menakutkan dari sekadar virus mematikan.

tapi kita seperti tak tahu apa dan mengapa.

 

2020

 


 

Adakah yang Lebih Berarti....

 

Adakah yang lebih berarti kini

selain senyuman?

Kabar kematian telah jadi lonceng

musim angin

 

berderai-derai hingga di beranda

mengintip dari celah jendela kamar.

Kata-kata tak dapat menangis lagi.

Kepergian demi kepergian

terjadi begitu saja tanpa sempat

memberi isyarat perpisahan.

 

Mondar-mandir pikiran kita

dari ketakutan ke ketakutan

sementara jauh sebelum wabah ini ada

kita seperti ragu bahwa kematian

lebih dekat dari aroma parfum

kekasih lunglai dalam pelukan.

 

Adakah yang lebih berarti kini

selain senyuman? Hari-hari

kita memang digelandang duka

tapi walau sekelam warna logam

 

kehidupan dan kematian

tak benar berkenan pada tangisan.

 

2021


 


Baru Agak Reda Ingatan Kita

 

Baru agak reda ingatan kita tentang wabah

--belajar menata letak gelas dan agenda kerja

untuk kehidupan yang kita sebut norma baru--

hari-hari kini kita dikepung kabar kematian

dan orang-orang sakit yang makin dekat dari rumah,

bahkan diam-diam telah ada di rumah kita.

Seperti laron dalam badai cahaya

kita mencari kegelapan untuk istirahat

dari berita yang terlalu benderang.

 

Adakah berita saban hari ini semacam

suluh bagi hutan berhantu atau ianya bisik

setan di telinga kiri seorang bayi?

 

Kota-kota waspada, bagi orang besar

bagi orang kecil membunyikan sirine yang berbeda.

Orang besar diurus negara, sebagian mereka

masuk televisi sebelum dibui

setelah mereguk untung pungli Bansos

dan main-main dengan alat swab antigen

tanpa sedikit pun disentuh hukuman mati.

Orang kecil mengencangkan ikat pinggang

berdebar melihat dapur yang makin ragu:

“Sampai kapan ada jam makan di sini?

Kampung-kampung yang tenteram

jadi was-was karena aparat melulu datang

dan berkata: "Jangan sepelekan keadaan.

Kita semua dalam bahaya!"

 

Adakah ketegasan-ketegasan itu

semacam petunjuk arah bagi orang tersesat

ataukah semacam penyesatan bagi orang terarah?

 

Baru agak reda ingatan kita tentang wabah

--walau jaga jarak dan bermasker, kita mulai terbiasa

membuat pertemuan kecil bagi kerinduan kita--

kini kita kembali dipaksa melipat permadani

meletakkan kue di lemari, dan menolak ketibaan tamu.

Seperti kuncup bunga batal mekar

pada pagi mendung yang dikira akan cerah

kita mengunci pintu-jendela yang telah dibuka

sambil bertanya-tanya: ketika

wabah ini berakhir, apakah kita masih ada?

 

Catatan 27 Juni 2021

 


 

Kepada Musa

 

Musa! Musa!

Di mana tongkat pembelah laut itu?

 

Aku tak punya lembu

makanan dari langit tak juga turun,

sementara para pemalas memimpikan

kemegahan masa depan.

 

Musa! Musa!

Di mana tongkat pembelah laut itu?

 

Keluh kesah adalah badai

samudera yang mengepungku

dan keinginan adalah anjing

lapar yang menggonggongi

 

   jam tidurku

di kemah asing ini.

 

2020


 

 

 

Mulanya Kemah

 

Kita lihat lagi kota yang sedih ini:

setelah suluh ditiup, subuh labuh;

ke jalanan kita seperti anomalia

school fish tak dikenal samudera.

 

Dengan berjinjit menuju bukit,

terasa kita telah dekat dengan langit.

Tetapi sepasang mata yang pedih

menatap hunian yang kita sapih

dikirab amarah dan merintih.

 

Ada retakan, di sana: haru dari hari

riuh yang terus tumbuh.

Kita bukan semata angin ingin

melabuh tubuh pada daun runtuh

musim luruh lalu luh.

 

Perhatikanlah bagaimana kemah

ini mulanya: setelah kisah

surgawi, angin siut-laut surut.

Berdebaran tuba Hawa

lalu hidup yang terlunta ini ada.

 

2020


 

 

 

Malam Ini Saja

 

Malam ini saja, diamlah omongan kemanusiaan.

Diamlah omongan negara. Omongan keadilan.

Omongan bertubrukan yang bikin sakit kepala.

Kemerdekaan penuh intruksi penangkapan,

ancaman penjara; kebebasan, kata-kata murung

di mulut orang takut.

 

Jendela kamar telah kututup. Tirai ranjang

seperti layar kapal yang kuyup menuju pulau jauh.

Lampu padam, aku pulang sekarang.

Dengus napas anak sekolah yang bermain klentit waria

di remang pohon-pohon, kutinggalkan,

abab orang berseragam menyusu dalam mabuk

di dada gadis-gadis keluar malam.

 

Diamlah. Di kamar aku akan masuk ke riuh

keheningan: membangkitkan suara yang dibunuh

di pasar; di balik meja rektor; dan di buku mereka

yang bicara dengan bahasa pengetahuan dari gosip

kebenaran sehari-hari. Bila matahari tiba,

akan kutunjukkan mayat-mayat yang kubangkitkan.

Mereka akan bicara kepadamu.

 

Diamlah. Malam ini saja. Dari kolong dan lorong

gelap, susah payah telah kuseret mayat-mayat ini

ke kamarku.

 

Tanah Air, 2020


 

 

Lebaran Kini

 

Lebaran kini aku

kehilangan kata-kata bukan sebab

tak ada, tapi sebab selalu ada

bahkan ketika tak hendak dikatakan.

Dari tahun ke tahun kata-kata

itu dan itu saja yang kuberi dan kuterima.

Bukan bosan. Lagipula kata-kata

tak harus terus dibuat baru

untuk suatu maksud yang sama.

Tetapi aku melihat kata-kata

seperti bunga plastik di meja makan.

Terlampau akrab, tapi terasa asing

di antara pisau, irisan ketupat,

panggang gemblong, dan beberapa

potong opor daging kerbau

di piring kecil pada meja kecil.

"Mohon maaf lahir dan batin," begitu

ringan tanpa menyebut apa dosa

lalu sambil berlalu kata-kata

lain dari mulut yang kurang terjaga

meruncing. Kembalilah orang-orang

kepada ritual omongan sehari-hari.

Ghibah sehari-hari.

Fitnah sehari-hari.

 

Oh, maaf. Aku berlebihan. Lebaran tiba

waktunya bertakbir: Allaahu akbar.

Allaahu akbar. Allaahu akbar.

Laa-ilaaha illallallahu Allaahu Akbar.

Allaahu akbar walillaahil hamd.

Tetapi maaf, aku seperti kehilangan

penglihatan Lebaran kini, setelah sebulan

belajar menghayati arti dari lapar

menekuni makna menahan diri

dari amarah dan birahi duniawi,

bukan kesadaran bahwa diri

tiada apa-apa yang kusaksikan

melainkan orang-orang yang saling

memperhatikan pakaian lalu tanpa malu

menyebut bandrol harga gamis

yang dibeli lebih dari tiga helai,

tiga model, dan tiga warna

untuk bergantian dikenakan

selama setengah hari keliling kampung,

berziarah, dan makan bakso di warung.

Agak berbisik berebut klaim pakaian termahal

sambil memainkan gelang-gelang emas.

 

O, mataku yang payah tersesat,

terseret dan terluka pada berpasang-

pasang mata yang lapar

di antara mulut-mulut yang menguyah.

Di warung-warung itu mereka

tak habis-habisnya meneliti merek

sandal dan motif bros.

 

O hari kemenangan.

Hari bahagia yang dirindukan

orang-orang mukmin dalam kesedihan

melepas tangan-tangan Ramadan,

aku seperti kehabisan napas

ketika menghirup kenyataan.

Maafkan aku, lahir dan batinku.

Maafkan aku, pikiran dan hatiku.

Maafkan aku, wahai Ramadanku.

Maafkan aku, duhai Syawalku.

Betapa sinis kata-kata kini

Betapa sinis penglihatan kini.

Betapa sinis udara kini.

Setiap orang punya cara merayakan

apa saja dengan bagaimana saja.

Mestinya aku ikut bergembira.

Ya! Aku mesti ikut bergembira.

Bergembira bersamamu

O Syawalku. O fitrahku.

 

Lebaran kini kukelilingi lagi kampungku

seperti lebaran yang sudah-sudah.

Menemui saudara, tetangga, kerabat,

sahabat lama dan sahabat baru

untuk mengucapkan apa

yang juga mereka ucapkan.

Kulihat langit. Ia berbisik:

"Berdamailah karena kemenangan

tak selalu lahir dari pertentangan

-pertentangan, sebagaimana kisah perang

yang dituturkan orang-orang yang kalah."

 

Allahu akbar. Allahu akbar.

Allahu akbar. Allaahu akbar kabiiraa.

Walhamdulillaahi katsiiraa.

Wasubhaanallaahi bukrataw-wa ashillaa.

Laa-ilaaha illallallahu

walaa na’budu illaa iyyaahu,

mukhlishiina lahuddiin,

walau karihal-kaafiruun ...

 

1 Syawal, 1434 Hijriyah


 

Imbauan

 

Kami mengimbau, Tuanpuan. Kami mengimbau.

Wabah merebak kemana-mana.

Orang tak tampak sakit tahu-tahu mati kejang.

 

Kami benar-benar mengimbau, Tuanpuan.

Jangan keluar rumah. Itu kiranya jalan terbaik

untuk menghentikan penularan virus yang mulanya

kami kira hanya akan keliaran di Wuhan.

Ya, kami memang pernah berkata:

“Jangan takut Covid 19. Negara kita aman.”

Kami men-discount tiket pesawat

agar berbondong turis datang, ekonomi meroket.

Kami memiliki niat baik, untuk kesejahteraan.

Sama sekali tidak terbayangkan oleh kami

virus itu tiba juga di negera kita.

 

Tuanpuan jangan terus menyalahkan kami

karena itu akan membuat kerja kami lebih berat.

Hidup Tuanpuan tentu akhirnya lebih susah.

Jadi, ringankanlah langkah kaki kami.

Mohon dengarkan dengan seksama imbauan ini:

Tutup pintu. Jangan ada pertemuan. Stop jualan di pasar.

Berbelanjalah dari rumah. Bekerja di rumah!

 

Ya, ini memang imbauan yang sangat janggal.

Terlalu banyak kata “jangan”,  sementara kami

tidak berani menanggung hajat hidup Tuanpuan.

Kami sangat tahu rata-rata rakyat Indonesia

tidak mungkin hidup bila mendekam di rumah

tapi kami terpaksa mengimbau dengan kata perintah

sambil menutup telinga kami dari protes.

Tuanpuan tentu mengerti, urusan makan

mesti diurus sendiri-sendiri. Kami tidak punya uang.

Pendapatan pajak tidak cukup.

 

Tidak, Tuanpuan. Tidak perlu mengulik luka lama.

Kawan-karib kami yang dibui, para koruptor

yang pasti sangat Tuanpuan kenal takkan mau

mengembalikan uang negara yang mereka rampok.

Lagipula belum tentu uang itu masih ada.

Sebab ihwal rampok merampok berarti juga ihwal kongkalikong.

Bagi membagi jatah, mutlak hukumnya.

Istilahnya, uang tutup mulut.

Jadi Tuanpuan, baiknya, tutup mulut sajalah.

Kami tidak kuasa memberantas apa yang telah mengakar

jauh sebelum kami duduk di sini

di dalam kerusakan sistemik ini.

Tuanpuan mesti bijak, mesti mengerti keadaan negara

yang kata Tuanpuan amat dicintai ini.

 

Ingatlah:  jangan tanyakan apa yang negara berikan 

tapi tanyakan apa yang Tuanpuan berikan.

John F. Kennedy yang sudah mati itu, dengarkanlah.

Perkataan bijak dan menenangkan lebih diperlukan

ketimbang suara-suara kekecewaan dan kemarahan.

Soal terpenting kini adalah keselamatan,

bukan menghitung kesalahan.

Bahwa yang sudah mati, ya sudahlah. Hanya sejuta orang

dari 271 juta penduduk; hanya 0 sekian persen.

Tuanpuan musti mendengar imbauan ini jika benar

Tuan-puan tidak ingin lebih banyak lagi yang mati.

Betul. Imbauan tidak musti diikuti,  sebab asal hukumnya mubah.

Tetapi kali ini, mohon Tuanpuan mengerti, ini musti diikuti.

Tidak! Kami tidak akan mengeluarkan perintah.

Cukup dengan imbauan, karena dengan begitu,

kami dapat menekan tanpa harus tertekan.

 

Hidup, beginilah kiranya hidup.

Wabah bukan ini kali saja, karena raja-raja terdahulu

menghadapi berjuta nyawa melayang.

Tuanpuan, mohon tidak mengaduh melulu. Kami bukan Caligula gila.

Kami ada dan terus mengolah tatanan kehidupan

mengolah anggaran, hutang negara, dan sesekali kami berpikir

tentang bagaimana mencetak uang atau menggunting

angka nol di belakang. Ini keadaan sulit, Tuanpuan.

Ruwet! Ruwet!

 

Kita sama-sama memasuki rahasia tidak terbaca

dalam gerak tangan elit dunia. Tuanpuan harus mengerti,

selalu ada tangan lain  di luar

berpasang-pasang tangan yang tampak di muka.

Kami tidak mungkin menjelaskannya sejelas-jelasnya

meski Tuanpuan terus meminta kejelasan.

Ilmu politik yang kami imani adalah ilmu abu-abu.

Kami belajar di dalam keremang-remangan

bersama guru-guru kami yang jelas betul ketidakjelasannnya.


Tuan-puan, mohon cukupkan pertanyaan.

Kami kehabisan kata untuk menjawab.

Ikuti saja imbauan kami.

Kami mengimbau, Tuanpuan.

Kami mengimbau.




Tentang Penulis


Muhammad Rois Rinaldi, penyair, Redaktur Sastra Biem.co dan Wakil Ketua Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (Gaksa). 

Tags

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Penulis sekaligus Pembaca puisi yg handal👍🏿

    ReplyDelete
  2. Benar. Beliau memang hebat karya dan pembacaannya.

    ReplyDelete
Join the conversation(2)
To Top