Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Bulan Nurguna

0

 


Gaun Wanita Tua

 

     Wanita itu mengenakan gaun dengan kain dasar warna kuning; seperti sebuah dunia yang selalu senja dengan langit warna mentega; seperti perasaan romantis yang memungkinkan sepasang kekasih memutuskan menikah; seperti suasana yang cocok bagi seorang ayah untuk pulang kerja lalu disambut anaknya yang balita dan istrinya yang masih muda, seperti lengkung lautan yang ditatap seorang tua sambil memikirkan anaknya yang telah sukses sementara dirinya semakin terperosok dalam kesepian.

     Ini pesta rekan kerja Ayah dan aku diminta ikut menemani.

     Ada korsase bunga warna orange di dada bagian kiri wanita itu; seperti pusat semesta dari jagat raya gaun itu; seperti matahari bagi keseluruhan bidang kain. Mungkinkah korsase itu yang memancarkan senja? Tidak hanya ke kainnya melainkan ke seluruh ruangan? Ruangan tidak sekuning gaunnya. Lampu-lampu disusun sempurna sehingga padanan putih dan kuning menjadi warna perak yang megah. Tapi gaun itulah matahari yang menjadi sumber utama kemegahan ruangan.

     Wanita itu mengambil minuman dari pelayan lalu mencecapnya sekali. Apakah ia membasahi tidak hanya tenggorokannya, tetapi juga korsase di pakaiannya? Aku bayangkan korsase itu tumbuh dengan buas, memenuhi ruangan, menghancurkan lampu kristal, menembus langit-langit, menembus ozon yang memang sudah bolong, lalu menjadi tempat bagi banyak burung yang kehilangan tempat bernaung, yang bersedih sebab anak-anaknya telah hilang dan sarangnya koyak. Aku akan memanjat pohon korsase itu, duduk di cabang yang tinggi untuk melihat dunia yang mungil.

     “Itu dia iblis yang harus kita musnahkan,” kata ayahku tiba-tiba. Matanya tepat memandang wanita tua itu.

     “Wanita yang memakai gaun kuning itu?”

     “Bukan, lelaki yang ada di belakangnya.”

     Aku tidak melihat ada seorang lelaki di belakangnya. Semuanya wanita. Dan mereka ngerumpi hal-hal bodoh yang sudah dibicarakan ribuan kali. Ada apa dengan ayahku? Siapa yang dimaksudnya?

     “Ayah dari wanita itu adalah seorang bajingan yang membuat orang lain tidak bisa lebih kaya dari dirinya.” Aku tidak bertanya lagi. Ayah suka menilai orang lain, tapi tak pernah cukup bersemangat untuk menjelaskan penilaiannya itu.

     Di bagian perut wanita itu ada gambar bunga-bunga berwarna putih samar, mungkin melati dengan daun dan tangkai. Sepertinya hand made, begitu adi busana. Ah, tapi mungkin juga buatan mesin. Bukankah sekarang banyak mesin yang bisa membuat kesan seperti itu?

     Tidakkah ia merasa tubuhnya adalah taman dan gaun itu adalah kumpulan bunga yang dirawat dan ditata dengan baik oleh tukang kebun? Seorang asisten mungkin telah menyiapkan pakaian itu sejak pagi tadi atau pagi kemarin atau mungkin sejak pagi minggu lalu. Sang wanita tua mungkin memperhatikan kecantikan pakaian itu dan menimbang kecantikannya sendiri. Waktu terus melaju, tetapi ia tidak cukup puas menikmati tubuh masa mudanya. Ia bersijingkat sambil menempelkan gaun ke tubuhnya, membayangkan dirinya adalah seorang putri yang sedang bahagia sebab gaun itu akan membuatnya terlihat layak ketika bertemu pangeran impian.

     Wanita itu seorang putri yang kaya raya dengan pesta-pesta. Di tiap pesta ia bisa memilih satu pangeran. Itu memungkinkan, bukan? Sebab ayahnya adalah lelaki yang tidak akan pernah membiarkan orang lain lebih kaya dari dirinya. Seorang putri dari seorang lelaki yang berkuasa pastilah seorang yang ambisius.

     Kuperhatikan raut wajahnya, jejak-jejak kecantikan yang angkuh, yang menggoda tapi tak boleh disentuh. Lipstik merah jambu, bulu mata palsu yang lebat dengan eye shadow sedikit gelap tapi memberi glitter pada garis mata bagian bawah. Eyeliner dengan kesan runcing, membuat matanya seperti mata kucing, seolah siapa pun yang tersesat di sana akan diterkamnya. Apakah ia juga manja seperti kucing? Selalu minta dibelai, diikatkan tali baju bagian belakang, dikaitkan tali branya?

     Pelan-pelan aku jadi membenci wanita itu setelah kutelusuri lebih rinci pilihan fashion-nya dan menebak-nebak kemungkinan-kemungkinan di baliknya. Kuambil satu tiramisu kecil di atas meja dekat wanita itu sembari memperhatikan ayahku dari sampingnya. Ayahku yang ambisius, yang punya banyak kesalahan tapi sangat suka menyalahkan orang. Ingin kuberi tahu dia banyak hal sambil marah-marah dan memukulinya.

     “Oh, ada orang. Maaf,” ucap wanita itu ketika ia tak sengaja menyenggolku. Manis sekali senyumnya, seperti senyum seorang ibu yang tidak pernah memukul anaknya. “Siapa nama? Saya baru kali ini melihat anda.”

     Kuperkenalkan diri sebagai anak dari seseorang yang tidak lebih kaya dari ayah wanita itu. Lalu ia bertanya, “Pestanya bagaimana? Pasti membosankan bagi orang muda seperti anda, ya kan?”

     Kupikir apa gunanya berbohong, jadi kujawab saja sejujurnya. Lalu seperti menemukan teman, ia berkata, “Jangankan kamu yang muda, saya pun sebenarnya bosan. Padahal ada beberapa orang yang saya kenal, dan sepertinya semua orang mengenal saya.” Ia cekikikan.

     “Apa bisnis anda?” tanyaku. Dia tidak kaget dengan pertanyaanku, malah seperti sudah menantikan, dan sudah pula mempersiapkan jawaban; sebaris kalimat yang terdengar seperti quote; “Semua yang dijual orang, aku juga jual. Semua yang sedang dikerjakan orang, sudah pernah aku kerjakan .”

     “Wah, anda seorang pekerja keras ya.”

     “Sebenarnya itu kata-kata ayah saya ha ha ha.” Mungkin ia telah menenggak beberapa gelas wine.

     Wanita itu sepertinya datang sendiri. Orang-orang kelihatan tidak mau menyita banyak waktunya. Kuperhatikan dengan ekor mataku, banyak orang mencuri lihat ke arah kami. “Siapa sih anak itu?” Mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Ayahku juga melihat ke arah kami. Entah kenapa ia seperti orang asing bagiku, dan aku lebih merasa akrab dengan orang asing di depanku ini. “Coba kamu lihat manusia di arah jam sembilan. Lihat lelaki yang memakai dasi mejikuhibiniu,” kata wanita itu. Kulihat lelaki yang ia maksud. Lelaki gendut yang kira-kira lebih muda sepuluh tahun darinya.

     “Dia mantan kekasih saya. Dulu dia tidak gendut dan agak tampan. Tapi lihat dia sekarang, seperti penampilan seorang pecundang. Saya memutuskan hubungan kami dan dia menjadi gendut. Oh ya, perlu kau tahu, semua lelaki di pesta ini adalah pecundang. Mereka semua ingin menginjak kepala saya tapi sampai saat ini tidak ada yang mampu. Bahkan ketika nanti saya dimasukkan ke peti mati, mereka tidak akan mampu. Ha ha ha.”

     Seorang perempuan tiba-tiba menyela, mengajak wanita itu pulang.   

     “Oh, Daria, sepuluh menit lagi. Saya sedang bercakap dengan teman lama,” jawab wanita itu.

     “Baiklah. Saya tunggu. Ingat, kesehatan Nona lebih penting dari seluruh isi dunia.”

     “Oh ya, anak muda,” lanjutnya  padaku. “Kapan-kapan kalau ada waktu datanglah ke rumah saya. Ajak juga ayahmu itu,” pungkasnya. Dia pergi setelah memberikan selembar tisu dengan coretan berwarna tosca.

     “Apa yang dikatakannya padamu?” Ayah menghampiri dan bertanya.

     “Dia mengundang kita berkunjung ke rumahnya.”

     “Pasti sekarang dia sedang menertawakan kita di dalam mobilnya.”

     “Ayah mau datang?”

     “Ke rumah penyihir itu?” Ayahku bertanya untuk memberikan jeda bagi dirinya untuk berpikir. “Buat apa aku datang ke rumah orang yang sudah berani menelanjangiku dan mengirim fotoku ke semua orang,” katanya sambil melempar gelas minuman. Sesaat orang-orang memperhatikan, tapi cepat-cepat kembali pada diri mereka atau lingkarannya masing-masing.

     Dari luar kudengar suara tawa wanita itu. Suara tawa yang dikeras-keraskan. Kenapa tiba-tiba aku merasa dibuang dari gaun itu? Kini tinggal aku dan Ayah; lelaki penguasa di rumah, tetapi begitu kecil di mata wanita tua itu. Pesta yang sebelumnya membosankan kini jadi mengerikan, dan aku menjelma badut termuda dan terbodoh di dalamnya.

     Ayah mengambil tisu -tempat wanita itu menulis alamat dan nomor telepon- lantas memasukkannya ke mulut, mengunyah, lalu menelannya. Ada sebersit ketakutan, jangan-jangan tubuh Ayah akan berubah jadi tosca dan ringan bagai tisu sehingga bisa diterbangkan oleh sedikit saja udara yang keluar dari hidungku. Aku bengong. Masih terdengar suara wanita itu mengitari rumah dengan tawanya yang membahana.

 

                                                 Lombok, 15 November- 6 Desember 2020

 

 

 

Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Pernah memimpin Teater Koin di almamaternya. Cerpen-cerpennya terbit di pelbagai media, baik cetak maupun digital. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.  

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top