Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Arif Hidayat

0



 Wacana dan Ingatan

Oleh Arif Hidayat

 

Proses penulisan puisi sangat bergantung pada wacana dan ingatan seseorang. Pada hakikatnya, menulis puisi adalah apa yang diketahui seseorang, baik dalam sadar maupun ketaksadaran. Karena sistem kerja ingatan pada bahasa sangat bertumpu pada pemerolehan pengetahuan. Adapun pengetahuan yang diketahui seseorang ketika diungkapkan kembali akan menjadi wacana. Bahkan, saya dalam kuliah di Kajian Budaya, UNS sering mengejek teman bahwa “hidup kita berada dalam kendali pengetahuan kita, itu artinya kita juga dijajah oleh pengetahuan kita.” Namun, dari manakah sumber pengetahuan itu berasal? Bagaimana pengetahuan itu membimbing seseorang memiliki tindakan? Dan sejauh mana seseorang bekerja berdasarkan dorongan pengetahuan? Itu semua bisa ditelusuri dalam berbagai jejak seseorang.

Pengetahuan Wahyu Budiantoro dalam menulis 10 sajak: “Menziarahi Waktu: Masa Kecil”, “Madah Mbah Bisri dan Gus Mus”, “Bapak Pulang ke Kampung Halaman”, “Damaraja”, “Riwayat Kopi”, “Silsilah Perjumpaan”, “Cemara Sewu”, “Ayat-ayat Puisi”, “Ibu Bahasa”, dan “Glempangpasir” merupakan pengetahuan empiris dalam bentuk ingatan. Wacana dan ingatan itu dibentuk oleh rentetan sejarah yang cukup panjang: dari kecil hingga dewasa, dari satu buku ke buku lain, dari satu cerita ke cerita lain.

Di tahun 2011-an, saya sebenarnya sudah mulai membaca puisi-puisi yang ditulis oleh Wahyu Budiantoro. Saat itu, ia lebih cocok sebagai esais karena pemikirannya yang lebih kuat, sementara daya rasa untuk menulis puisi lebih tertulis seperti lirik lagu dangdut dengan dominiasi percintaan. Namun, hal itu tidak terjadi pada 10 puisi yang hendak saya bahas ini. Selama tujuh tahun, tampaknya ia berusaha untuk menepis pernyataan saya: “puisimu hanya bisa dimuat dalam antologi bersama, yang seleksinya rendah”. Ia terus membuktikan beberapa puisi bisa diterima di media massa. Ketika tahun 2017, ia membawa beberapa puisi ke saya dengan diksi dan gaya bahasa yang jauh berkembang, serta wacana yang ada dalam puisi lebih multi-interpretatif dan selang beberapa bulan kemudian ia dimuat di Pikiran Rakyat. Wahyu telah belajar mengkombinasikan antara perasaan-perasaan dengan pengetahuan, ditambah dengan kebaruan pola ungkap pada puisi.

 

Masa kecilku adalah ensiklopedi air mata

Dari rahim waktu yang menawasuli arus sungai

Di dada ibu bahasa menjadi alamat pasujudan

Sedang nafas bapak menjelma mantra rahasia

              

(Sajak Menziarahi Waktu: Masa Kecil)

Ketika ia bercerita “air mata” telah disisipi dengan diksi “ensiklopedi” sehingga menjadi berkembang. Dalam kamus, ensiklopedi berarti “karya rujukan yang berisi keterangan atau uraian tentang berbagai hal dalam bidang ilmu pengetahuan, biasanya disusun menurut abjad” (lihat KBBI). Itu artinya, kombinasi antara “ensiklopedi” dan “air mata” memiliki penjelasan yang panjang, mengingat dalam bahasa sehari-hari hal itu jarang digunakan untuk menyatakan sesuatu. Orang perlu berpikir. Dapat disimpulkan bahwa air mata milik aku-lyrik itu banyak, tersusun rapi, dan tersimpan rapi. Air mata itu yang diberi keterangan bahwa hal itu berasal “dari rahim waktu yang menawasuli arus sungai/ Di dada ibu bahasa menjadi alamat pasujudan/ Sedang nafas bapak menjelma mantra rahasia.” Ini mengindikasikan betapa panjang perjalanan hidup yang ditempuh dengan air mata.

Wahyu telah bisa membuat yang biasa menjadi dramatik dan puitik. Ini tidak lepas dari tempaan proses kreatif mempelajari bahasa, mendengar cerita-cerita, juga mencerna yang pantas dan tidak pantas kata yang dalam teks untuk ditulis. Proses mendengarkan cerita-cerita dari Abdul Wachid B.S. tentang keluarga, ziarah, masa lalu, perjumpaan, dan puisi menjadi warna dalam 10 sajak yang ditulis oleh Wahyu Budiantoro. Dalam diam, ia menyerap cerita-cerita dalam proses kreatif penulisan Buku Nun, Kepayang, dan Hyang. Kalau mengacu pada pemikiran Micheal Riffaterre tentang intertekstualitas, maka kita bisa sampai arah proses kreatif dari situ, walaupun Wahyu memiliki originalitas pada pengalaman-pengalaman yang berbeda, misalnya kereta, kopi, dan permaian anak-anak. Perbedaan lain tampak dalam akrobat kata-kata yang dimainkan Wahyu, misalnya: “Isyarah kata di jantung laut”, “Semburat bijaksana selaksa cahaya/ Kemanusiaannya genap sukma/ Menjelma kupu-kupu.” Dalam membuat perlambang, saya kadang harus berpikir untuk menyelami kesatuan teks yang dikombinasikan. Dalam begitu, memang yang biasa menjadi tampak tak biasa, walaupun bahasa (kata) sebenarnya memiliki arti tersendiri ketika dikombinasikan. Dan itu tetap menjadi wacana.

Ketika ia berkirim Fatihah untuk Madah Bisri merupakan wujud doa yang dalam tradisi Islam bisa memberikan keselamatan, harapan, dan kasih sayang. Tradisi berkirim Fatihah kepada guru telah ada sejak lama, walaupun orang yang disebut guru tersebut bukanlah guru secara langsung. Guru bisa berasal dari kita membaca karya-karyanya. Guru bisa berasal dari kita berguru kepada orang yang telah berguru kepadanya. Dalam hal ini, Wahyu menganggap guru karena mempelajari Ibriz sebagai santri. Dari membaca itulah, ada pengenalan dengan Hamzah Fanzuri dan kehidupan sufi. Tata kehidupan seperti ini kita juga bisa membaca pada buku Gandrung Cinta karya Abdul Wachid B.S. Buku yang mulanya disertasi pada puisi-puisi Gus Mus ini juga mengungkap konsep sufi yang ada dalam puisi.

Pengetahuan-pengetahuan Wahyu tentang masa kecil, juga tentang agama turut mewarnai dalam penulisan 10 sajak ini. Hal itu terlihat dapat sajak “Ibu Bahasa” misalnya. Di dalam puisi ini, ia menceritakan pengalaman masa lalu tentang guru yang bercerita tentang “Legenda batu yang dilobangi/ Oleh kuku balita.” Ingatan muncul juga pada “Tangkuban perahu.” Kisah-kisah itu dikaitkan dengan ibu. Hanya saja, pada sajak ini, secara bahasa, kedekatan pada ibu kurang mendalam. Ia berargumen bahwa “bahasa diciptakan bukan untuk/ Menuliskan ibu.” Kadang, memang, dalam menulis puisi, peristiwa yang terlalu dekat justru tidak memunculkan ungkapan yang puitik ketika rasa kesadaran untuk mengendapkan peristiwa kurang mendalam. Seorang penyair harusnya mampu untuk mendalami apa saja, bahkan peristiwa terdekatnya harusnya bisa menjadi inti dari teks, mengingat inspirasi menulis berdasarkan dari apa yang telah diterima oleh panca indra manusia. Bisa jadi hal itu disebabkan karena penguasaan kosa kata yang masih labil sehingga kurang mendalami peristiwa yang ada di dekatnya. Saya melihat bahwa Wahyu lebih kuat ketika mewacanakan peristiwa-peristiwa jauh, bahkan yang baru dikunjungi. Misal, “Damaraja” dan “Glempangpasir”.

Dalam 10 sajak ini, Wahyu telah memperlihatkan bahwa menulis itu tidak berdasarkan dari bakat kecil. Kemampuan menulis itu berasal dari perjuangan tanpa henti dengan mempelajari banyak hal tentang kehidupan. Kemampuan menulis itu akan terus kreatif manakala terus menulis dengan informasi-informasi baru, data-data baru, juga pengetahuan baru. Tanpa kebaruan, tulisan hanyalah kekeringan dengan kata-kata yang sama.


Esai ini dituliskan untuk forum diskusi SKSP





Tentang Penulis

ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga pada 7 Januari 1988 dari pasangan Kodri Zaenal Arifin dan Rusmiyati. Ia besar di Desa Banjarsari RT 04/RW 07 Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran RakyatKedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, Suara Karya, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Joglosemar, Suara Pembaruan, Majalah Horison, Majalah Mayara, Majalah Basis, Majalah Merpsy, dan Rakyat Sultra. Kini ia tinggal di Desa Karangnanas Rt 06/Rw 02, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.Email: arif19hidayat88@gmail.com dengan No.HP:  085726564738.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top