Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Faiz Adittian

0





 SERIBU DOA PEREMPUAN

(Feminisme, Hati Nurani, dan Puisi)

 

/1/

Embrional kepenyairan Banyumas Raya, akhir-akhir ini terus memunculkan para penulis muda. Salah satu di antaranya yaitu Hardian Rafelia A. Aini. Perempuan yang lahir di Purbalingga, 30 September 1998 ini, kini terus menunjukkan eksistensinya di ranah perpuisian Indonesia. Terbukti dengan dimuatnya beberapa puisi di koran Media Indonesia, Lampung Pos, dan beberapa antologi puisi nasional. Bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan untuk berkecimpung di dunia kepenyairan. Terbukti dengan sedikitnya jumlah penyair (khususnya di Banyumas) yang mampu mengibarkan bendera kepenyairannya dalam lingkup nasional pasca-penyair senior Rita Oetoro. Menurut hemat penulis, hal ini terjadi karena penyair perempuan lebih menggunakan hatinya dalam menulis. Bukan berarti seorang penyair laki-laki tidak menggunakan hati, akan tetapi penyair perempuan lebih menitikberatkan sesuatu peristiwa yang akan dituliskannya harus benar-benar berkesan di hati. Artinya, tanpa mereka mendapatkan sebuah peristiwa besar, mereka tidak akan menulis. Kelemahan inilah yang menurut penulis, menjadi salah satu penyebab perempuan kurang produktif.

Menjadi seorang penulis memang harus melatih insting kepekaan hati sebagai jalan untuk mencurahkan sesuatu yang akan dituliskan. Proses ini terjadi berulang-ulang dan diasah dengan sabar. Sama halnya kesabaran dalam memperlakukan bahasa. Seorang penulispun harus bisa mengatur sedemikian rupa komposisi diksi yang akan digunakan di dalam tulisannya. Setelah kepekaan intuisi yang dilatih, langkah selanjutnya adalah kecerdasan bahasa. Keduanya memang harus dilakukan secara perlahan dan penuh dengan kesabaran. Di sinilah keunggulan penulis perempuan. Mereka selalu memperlakukan segala sesuatu dengan kesabaran. Terlebih lagi ditambah dengan dengan “bumbu” naluri keibuan yang mereka miliki. Oleh sebab itulah, mengapa banyak penulis perempuan yang menuliskan tentang dapur, kelembutan, kasih sayang, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan feminisme.

Hal di atas juga penulis temukan di dalam perpuisian Hardian. Jiwa keibuan yang kuat, sangat mendominasi di dalam puisinya. Sekalipun dia belum menikah dan dikaruniai seorang anak, namun naluri keibuannya sudah terlihat sejak muda. Hal ini tentunya bukan tanpa sebab, proses panjanglah yang telah mengantarkannya kepada identitas diri yang kini ia miliki. Penulis mendapati hal tersebut di dalam puisinya yang berjudul Bersama Bulan Masa Lalu, Kabar dari Tanah yang Berguncang, dan Kabar dari Duka. Dari ketiga judul puisi inilah, penulis mencoba menggali identitas Hardian lebih dalam lagi.

/2/

Perempuan sejatinya adalah manusia yang sulit lari dari masa lalunya. Dia akan selalu terkenang peristiwa-peristiwa yang dialami secara runtut dan benar-benar baik ia simpan di dalam memori otaknya. Entah itu dengan disengaja ataupun tidak. Rentetan peristiwa itu terkadang muncul dengan sendirinya. Seperti dalam puisi Hardian yang berjudul Bersama Bulan Masa Lalu. Dalam puisi ini, Hardian mencoba mengabadikan peristiwa yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Tentunya peristiwa ini benar-benar berkesan baginya, sehingga dia rawat dengan baik di dalam ingatan. Seperti dalam bait;

.....

Kian menampik rindu

Masa kecil, dengan tapak kaki

Tak pernah lelah

 

Penuh getar keceriaan

Dengan tubuh yang tak mudah

Terjatuh angin waktu, dengan

.....

 

Pada kedua bait puisi ini, menegaskan bagaimana seorang perempuan merawat ingatannya dengan begitu baik. Masa kecil yang dilalui oleh aku-lirik kembali dihidupkan melalui puisi. Tentu hal ini bukan tanpa sebab. Penulis menemukan beberapa sebab mengapa peristiwa ini kembali dibangkitkan. “Tawa yang penuh bening hati” adalah hal yang menyebabkan aku-lirik sangat terekesan dengan masa lalunya. Mengapa ini bisa terjadi? Dari rerumputan: oleh keriangan// Dari pohon-pohon: oleh kekuatan/ Dari alir sungai: oleh kesabaran/ Dari pematang sawah: oleh kerendahan hati”. Aku-lirik dalam bait ini menegaskan mengapa peristiwa besar ini perlu diabadikan di dalam puisi. Karena “keriangan, kekuatan, kesabaran, dan kerendahan hati”-lah yang menjadikan aku-lirik benar-benar mengalami sebuah proses besar dalam kehidupannya. Ingatan itu tentunya sudah begitu lama mengendap dan kembali terngiang-ngiang ingin dituliskan. Melalui kesabaran dan proses yang panjang inilah, melahirkan puisi yang bagi penulis sangat dalam maknanya.

Tidak hanya puisi di atas, sikap keibuan yang lainnya pula ditunjukkan dalam sajak Kabar dari Tanah yang Berguncang dan Kabar dari Duka. Menjadi seorang penulis memang dituntut untuk menghidupkan hati nuraninya. Pada hakekatnya, hal ini juga merupakan identitas diri sebagai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” (sila kedua) yang menunjukkan tradisi manusia humanis. Hardian dalam beberapa puisinya juga berupaya memunculkan hal tersebut.


KABAR DARI DUKA

 

Ketika sore mengabarkan duka

Bersama sayap-sayap kasih yang

Abadi menaungi di kalbu sang ibu

 

Sulit bagi penulis untuk bisa menggambarkan sebuah realitas yang sangat menyedihkan, lalu realitas tersebut dibungkus dengan menggunakan bahasa yang indah. Jika tidak pandai memilih diksi yang tepat, maka akan menjadi bumerang bagi penulisnya. Alhasil dengan diksi yang disusun, justru akan memperburuk realitas yang menyedihkan tersebut. Namun hal ini tidak terjadi pada puisi Hardian. Dalam puisinya, Hardian benar-benar keluar dari “ruang nyaman” dalam hidupnya. Dia benar-benar berupaya memperjuangkan sebuah kebenaran, keadilan, harkat martabat manusia, persaudaraan, serta kemanusiaan melalui bahasa. Jika bukan karena hati nurani yang bersih, maka dia akan kesulitan memperjuangkan kemanusiaan melalui bahasa.

Y.B, Mangunwijaya mengatakan bahwa hati nurani bukanlah semacam komputer atau software program jadi yang bisa digunakan begitu saja untuk tahu ini baik atau buruk. Hati nurani tumbuh dan hidup di dalam manusia sebagai bagian yang integral. Menciptakan sebuah identitas yang dalam hal ini melalui sebuah proses pertumbuhan dan perubahan. Sama halnya dengan seorang penyair. Ia selalu berupaya “melahirkan” dirinya sendiri melalui sebuah proses, baik itu pengalaman ataupun melalui membaca. Ini menandakan bahwa Hardian telah melalui rentetan proses dan peristiwa besar yang ia simpan dengan baik. Lalu peristiwa tersebut ia endapkan begitu lama. Berupaya mencari diksi yang sesuai agar citra realitas yang telah ia endapkan tidak hancur. Sehingga membutuhkan kesabaran yang tinggi yang diperlukan dalam menuliskan puisi. Penulis yakini bahwa hal ini tentunya tidak mudah dan sangat melelahkan. Namun dari perenungan yang panjang inilah akan menghasilkan puisi yang matang. Proses ini secara tidak langsung, tentu menjadi sebuah cara untuk melatih kepekaan hati nuraninya, mengontrol emosi, serta ingatan yang ia miliki. Misalnya dalam puisi di bawah ini:


KABAR DARI TANAH YANG TERGUNCANG

 

Kepada bumi yang tengah tergoncang

Meredamkan nyanyian dunia

Kala itu, orang menjerit

Sebab kekuasaan ingin segera tergenggam

 

Dalam manik-manik yang

Terhias di lengan baju para wanita

Disanalah bersarang ribuan mata lelaki

Lalu, diam-diam menjelajahinya penuh air mata darah

....

Citra aku-lirik dalam puisi di atas merupakan perwakilan sekelompok orang atas bencana yang terjadi. Aku-lirik di dalam puisi tersebut berupaya mengabarkan sebuah kesedihan. Berangkat dari keterwakilannya sebagai perempuan, Hardian mencoba mengajak pembaca untuk ikut merasakan duka dari sebuah peristiwa. Selama ini, wanita yang kebanyakan tersubordinat oleh kaum laki-laki, digambarkan pula melalui “Terhias di lengan baju para wanita/ Disanalah bersarang ribuan mata lelaki”.  Pada bait ini pula, penulis menangkap bahwa aku-lirik merasa tidak rela hal ini terjadi. Ada sebuah perlawanan terhadap dominasi laki-laki yang ingin ditentang oleh aku-lirik dalam puisi ini. Perlawanan seperti apakah yang aku-lirik tunjukkan? Tentunya karena kelapangan hati, ketidakmampuan secara fisik, serta beribu kesabaran yang aku-lirik miliki, hanyalah doa yang bisa disuarakan. Simak bait dalam puisi di bawah ini:

....

Hanya sekedar ingin merajut sapu tangan dunia

Untuk menyeka hujan di sore hari

Pada hati-hati yang rapuh

Oleh sayatan pisau gemerlapnya

 

Rela, membungkam, kemudian

Hendak melompat di jembatan setan

Menggilas nyawa yang dirasa getir

Tak dapat lagi menopang jerit kesakitan

 

Dan, kini, bumi tengah bergoncang

Mengabarkan peringatan Tuhan

Akan nyali manusia yang tak lagi

Didengarnya tulus penuh cinta

Atas segala ujian yang tak sebanding

Dengan tumpahan air mata para nabi

 

Melalui ketiga bait ini, aku-lirik berangkat dari memotret peristiwa sifat-sifat manusia yang merusak. Citraan ini digambarkan dengan simbol “pisau”. Lalu suka berfoya-foya dengan “gemerlap” dunia, yang menjadikan manusia  “terbungkam” oleh dunia. Cara yang digambarkan oleh aku-lirik ini, mewakili ketidakmampuan kaum perempuan yang lemah, yang hanya mampu mendoakan agar segala ujian yang dihadapi manusia bisa diterima dengan tabah. Setabah “tumpahan air mata para nabi”.

/3/

Sebagai perempuan yang selama ini eksistensinya belum diakui secara penuh, melalui jalan puisi, ia menunjukkan keberadaannya. Tidak melalui cara perlawanan, akan tetapi melalui jalan kasih sayang. Seperti halnya dalam sajak-sajak Hardian, upaya yang ditunjukkan dalam puisinya penuh dengan kelembutan. Tidak berhenti di situ, ia juga turut mendoakan setiap manusia agar saling menghargai dan menyayangi satu sama lainnya. Doa-doa inilah yang menjadi inti dari sebuah puisi. Tidak mungkin jika bukan seorang perempuan yang dipenuhi oleh sikap keibuan, bisa melakukan hal ini. Kepedulian yang tinggi kepada siapapun, sikap keibuan yang mulai matang, kelemahlembutan, kasih sayang sangat ditonjolkan oleh Hardian di dalam puisinya. Oleh sebab itulah, puisi menjadi lahan doa bagi Hardian. Melalui bahasa, ia tidak hanya menyuarakan realitas, akan tetapi ia ikut mendoakan agar realitas itu bisa berubah menjadi lebih baik lagi. Tentunya lewat doa yang akan diamini oleh para pembaca. Amiinn.

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

  Pasir Kidul, 05 Agustus 2019

 

 

 

Tentang Penulis

 

Faiz Adittian Ahyar, adalah seorang petani ikan Gurameh dari Desa Pasir Kidul Kauman Kulon, Kec. Purwokerto Barat, Kab. Banyumas. Kini sembari bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di beberapa media massa seperti Tempo, Jawa Pos, Banjarmasin Post, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyumas, Radar Mojokerto, Suara Merdeka, Harian Waktu, Haluan Padang, Harian Rakyat Sutra dan Pikiran Rakyat. Email: faiz.adit11@yahoo.com.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top