Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Teguh Trianton

0

 


Arsitektur Puisi Irna Novia Damayanti[1]

oleh Teguh Trianton[2] 

 

Seorang arsitek akan membuat desain rumah dengan material pilihan dan konstruksi terkuat yang mampu ia susun. Arsitek yang baik tidak hanya memikirkan konstruksi dan gaya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia juga membikin desain ruang yang cukup nyaman bagi orang lain yang hendak bertamu atau memasuki rumahnya. Ia akan memilih bentuk pintu, jendela, arah hadap, warna cat, dan sebagainya untuk memenuhi hasratnya. Ia mengatur semua urutan ruang sesuai selera dan peruntukannya. Ia juga akan memilih perabot dan pajangan lain untuk menuntaskan keinginannya. Lalu menempatkannya dengan cara paling estetik sehingga dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh siapa saja.

Puisi adalah rumah pertama bagi penyair, tempat pribadi yang ia buat dengan gaya arsitektur terbaik yang paling ia kuasai. Material utamanya adalah kata-kata yang disusun secara fungsional menjadi komposisi yang elok. Pondasinya dibuat di kedalaman batin, dengan kejernihan pikiran, dan keluasan pandangan.

Sebagai rumah; puisi dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas, termasuk ritual yang paling pribadi sekalipun. Namun sebagai rumah; puisi yang baik harus dapat disinggahi. Menyediakan tempat berteduh untuk tamunya. Penyair sebagai arsitek harus mempertimbangkan kenyamanan tuan dan puan yang hendak singgah. Lantaran sebagai rumah; puisi juga acap kali digunakan sebagai tempat diskusi, bertukar gagasan, ngobrol, minum teh, kopi, atau bahkan sekedar saling curhat.

Puisi yang telah ditulis oleh penyair seperti rumah terbaik yang pernah dibangun oleh seorang arsitek lalu ditinggalkan begitu saja. Rumah ini, kemudian dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Siapapun boleh memasukinya, menelusuri setiap inchi ruang, mengintip lewat celah fentilasi. Bahkan siapapun boleh menggunakan segala perabot yang disediakan di dalamnya.

***

 

Baiklah, sekarang saya harus ‘membuka pintu’ terlebih dahulu. //Kayu telah lapuk (rupanya) dan engsel (telah) berkarat/ Perlu waktu menyusun keberanian/ Sebab amarah siap menerka tiba-tiba//. Saya telah memasuki rumah ini, namun ada perasaan lain yang asing. //Takdir seakan menempatkanku/ Di ujung jurang di mana/ Tanah licin/ Dan langit kembali menurunkan hujan//. Agaknya, saya harus keluar lagi lantaran, meski //Jarak sudah dekat/ Tapi keberanian tertinggal di jalan yang jauh/ Maka apa lagi yang diandalkan/ Selain tangan kosong dan tubuh doa keselamatan/ Biar pintu bisa terbuka/ Biar canda kembali ditawarkan semesta//.

Memasuki salah satu ruang di rumah ini, mula-mula saya merasa ragu. Barang kali sang arsitek memang sengaja mendesain ruang dengan warna dan aura muram. Setelah berhasil membuka pintu dan masuk ke ruang tamu, saya dibuat bimbang. Ada kegaluan yang membuat saya kehilangan keberanian untuk memasuki ruang terdalam, kamar tempat hati di simpan. Saya justru dibawa mengingat kenangan lama tentang hujan, tanah licin, dan ujung jurang yang membuat ciut nyali. Mungkin saya hanya perlu doa, dan tangan hampa untuk kembali membuka pintu rumah itu lagi. Mendatanginya tanpa beban.

***

Sekarang saya memilih waktu pagi untuk memasuki rumah itu . Saya menemukan ‘wajah pagi’. //Rumah masih menyimpan sunyi/ Suara deru kendaraan seperti memainkan kata-kata/ Untuk mengantar dan sampai pada sehampar puisi//. Langit masih menampakkan warna kelabunya/ Sekelabu warna rasa gadis itu/ Yang di tunggu piatu// Waktu selalu memutar hidup/ Tetapi hanya wajah pagi/ Yang akan menampakkan tingkah/ bersama keluarga memanggil sebuah senyuman// Di adegan itulah/ Waktu ingin dia hentikan//

Syahdan, sekarang saya ceritakan bagaimana rumah itu di waktu pagi. Meski ada wajah pagi, namun rupanya rumah itu adalah tempat yang disediakan utnuk menyimpan kesunyian. Kau boleh ikut menitipkan sunyi di situ. Mungkin tidak akan orang tahu, lantaran deru kendaraan justru mengantarmu pada hamparan kesunyian yang sebenarnya yang dia sebut pusi. Kau boleh mendongak langit, betapa warnanya kelabu, kontras dengan wajah pagi pada umumnya, yang seharusnya cerah dengan cahaya matahari. Tentu saja, ini lantaran langit memang peka pada setiap peristiwa yang terjadi di bawah lengkungannya. Kau tahu, lagi-lagi saya diajak mengingat masa lalu, masa tatkala seorang gadis kecil tersenyum bersama keluarga. Sampai di sini, saya seperti ingin menghentikan waktu.

***

 

Kali ini saya memilih ‘melewati jendela’ untuk melihat keluar. Arsitektur rumah ini dibuat dengan jendela menghadap lurus pada waktu. //melewati jendela, bukan hanya/ ada kupu-kupu terbang dengan kebebasannya/ angin menggoyangkan bunga-bunga matahari/ ibu penjual jajanan dengan suara lantangnya/ juga tanah yang masih merawat daun-daun meski/ bekas hujan lebat semalam masih tergambar jelas di ingatan//. ada yang menyusup pada warna warni/ bunga matahari_keindahan yang bersatu/ dalam satu taman//.

Sekarang saya ceritakan mengenai jendela. Arsitek yang baik adalah yang mengerti fungsi setiap unsur yang menjadi bagian penting dari rumah yang ia bangun. Jendela adalah salah satu bagian dari rumah yang sangat penting. Melalui jendela, cahaya matahari dapat masuk, dan kita dapat melihat ke arah luar. Melewati jendal ini, saya diajak menikmati panorama kupu-kupu yang terbang bebas, angin yang menggoyang bunga matahari, tanah yang masih basah oleh sisa hujan semalam dan ingatan yang turut serta membingkai keindahan. Namun ada yang hampir luput dari deretan panorama indah itu. Lewat jendela, kita rupanya juga diajak menjadi saksi; ada ibu-ibu penjual jajanan yang lantang suaranya.

Lewat jendela yang menghadap cahaya, rupanya sang arsitek hendak mengajak kita melihat kupu-kupu sebagai isyarat. Ada pelajaran berharga yang mesti kita teladani. Bagaimana kebebasan itu dapat dikepakkan dengan indah oleh kupu-kupu. Seokor kupu harus mengalami kesunyian yang panjang dalam sebuah kepompong. /telah dilewati sebagai masa meditasi bukan/ seperti penjajak jajanan itu yang/ dalam hatinya sedang dijajah oleh biaya hidup yang/ seakan lari kelangit/ dia mengejarnya melalui suara lantang/ biar orang-orang membantunya//.

Sampai titik ini, saya melihat bahwa penempatan jendela pada rumah puisi cukup ideal. Arsitek cukup memahami fungsi jendela. Dalam kontek puisi ini, penyair sebagai aku lirik tidak sia-sia memasang jendela sebagai bingkai untuk melihat keluar, melihat fragmen kebebasan yang dimetaforakan melalui kupu-kupu. Namun agaknya, posisi jendela yang lurus dengan datangnya cahaya matahari justru membuat ruang terlalu terang. Atau memang sengaja dibuat demikian, apalagi kita melihat dengan terang ada garis lurus yang sengaja dibuat untuk menghubungkan kupu-kupu dengan penjual jajanan.

Coba kita simak dua bait pemungkas puisi ini. Sebagai pintu dan halaman belakang rumah, keduanya menjadi penegas hubungan antara kupu-kupu dan ibu penjual jajanan. //tapi hatinya masih terikat dengan tuhan/ bau surga telah dibelinya dengan lelah dan keikhlasan/ dari dalam hatinya// dan tanah adalah ibu merawat jejak tanaman/ langkah serta rumah mana yang didesain/ mencari kedamaian//.

***

Lalu bagaimana ‘waktunya malam’. //Baiklah aku harus mengikhlaskan kepergian/ Cahaya matahari serta kejadian yang/ Akan berpulang kepada kuasamu//. Waktunya malam yang mengisi sebuah catatan/ Mengindahkan diksi dan/ Mengantar nafas-nafasku menyaksikan/ Gelap yang menutup banyak warna// Dan aku harus sadar/ Sebab dengan gelaplah/ Kerlip cahaya ribuan bintang yang/ Dibentangkan takdir dengan jarak begitu panjang/ Kurasakan keberadaannya//.

Pada waktu malam, bangunan puisi ini justru sangat jelas keberadaannya. Nuansa malam begitu kuat, sehingga kita seperti tidak perlu lagi mempersoalkan sesuatu yang tersembunyi di balik kegelapan. Sesungguhnya malam pada fragmen puisi ini merupakan metafora. Aku lirik ingin meminjam gelap, bintang, dan malam yang dibentangkan sejajar dengan takdir dengan jarak yang panjang. Tetapi ungkapan ‘jarak begitu panjang’ justru memperpendek ruang pemaknaan di antara keduanya. Apalagi fragmen ini ditutup dengan sebuah deklarasi; /kurasakan keberadaannya/.

Sebenarnya sebagai seorang arsitek, aku lirik sudah melakukan yang terbaik. Bahkan dia menyiapkan ‘dian’ yang dapat digunakan untuk menerangi setiap ruang dalam rumah puisi ini. Aku lirik sepertinya sangat menyadari fungsi nyala dian di dalam sebuah ruang dengan tempok yang rata. Ia manfaatkan nyala dian untuk membentuk cerita lewat permainan bayangan antara ibu dan anak.

 

Dian

 

Dian yang mulai nyala

Memberi penerangan malam

Mengajak seorang anak

Bermain tebak-tebakan gambar bayangan pada tembok

Dimana ibunya dengan kreatif membentuk jari-jarinya

Mengenalkan nama-nama hewan atau

Mengenalkan kepribadian

Melalui ragam suaranya

Biar mendatangkan imaji

Mendatangkan senyum diantara

Kesederhanaan hidup yang diamanahkan

 

Ada kegelapan di mata ibu itu 

Sebab mainan yang di pesan anaknya 

Tidak kunjung datang di depan mata

Meski tuntutan tidak kunjung datang dan

Airmata tidak meneteskan perih luka hatinya

 

Sehingga bersama dian kesabarannya semakin terang

Menyinari anaknya

 

Rajawana, Mei 2017

 

Seperti puisi-puisi sebelumnya, fragmen pada nyala ‘dian’ ini dibangun dengan rumus yang sama. Formulasi pilihan kata ‘gelap’ sebagai metafor dari ‘ketidakjelasan nasib’ kembali muncul. Secara sederhana, dapat saya katakan bahwa sebagai seorang arsitek, aku lirik telah mengantongi desain untuk membangun puisi-puisinya. Terdapat kesamaan komposisi dan desain ruangan pada setiap rumah yang dibangunnya.

***

Secara umum arsitektur puisi karya Irna Novia Damayanti dibuat dengan gaya yang sederhana. Setiap bagian dari bangunan itu ditempatkan pada posisi yang tepat. Seperti rumah yang memiliki tiga bagian utama; depan, tengah, dan belakang; arsitektur puisi Irnaa juga demikian. Bangunan semua puisi di desain dengan urutan ruang seperti itu. Puisi selalu diawali dengan fragmen pembuka, disusul fragmen isi, dan diakhiri dengan fragmen penutup.

Pada saat yang sama, aku lirik juga menata perabot yang ada di setiap ruangan puisinya dengan komposisi serupa. Gaya arsitektur seperti ini memudahkan pembaca dalam mencari dan menemukan ruang inti dari bangunan puisi-puisinya. Gaya arsitektur yang sederhana, namun cukup elok lantaran pemilihan meterial dan komposisinya yang cukup tepat. Desain ini juga tampak pada empat puisi yang lain, yaitu ‘Tetes Air’, ‘Di Antara Wajah-Wajah Angin’, ‘Arji’’, dan ‘Rahim Doa’.

***

 

Meski puisi dibangun seperti rumah, namun puisi tetaplah memberi kesejukan seperti ‘Tetesan Air’// Aku tak pernah memesan setetes airpun/ Terjatuh diantara ketenangan danau/ Ketika kulukis segala isi hati/ Di kebeningannya// Sebab dari ketenangannyalah/ Aku menemukan segala jawaban/ Makna yang bersembunyi pada/ Tetesan dari langitMu dan/ Langit puisiku//.

 

 

 

 

Tentang Penulis


Teguh Trianto, lahir di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet, Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan. Tulisannya berupa puisi, artikel, dan esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Minggu Pagi, Solo Pos, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Suara Karya, Suara Merdeka, dll. Buku antologi yang pernah terbit; puisi ‘jiwa-jiwa mawar’ (Buku Laela 2003), antologi Temu Penyair Antar Kota Pendhapa-5 (TBJT 2008), dan lain sebagainya.

Email : anton_aktualita@yahoo.com .



[1] Esai ini merupakan makalah pendek yang disajikan pada diskusi Sastra Reboan, Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto.

[2] Teguh Trianton, pernah menulis puisi dan prosa, pernah bekerja sebagai jurnalis dan guru Bahasa Indonesia.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top