Capung
aku adalah
capung
sedangkan Engkau ibarat kabut
menjelma dingin di antara
sembahyang pagi
Zikir Hujan
duha itu
dengan gerimis yang menjelaskan, rintiknya yang ragu
kepada debu-debu yang ditayamumkan
oleh debu-debu itu manusia disucikan
dari wajah kepada tangan
dari tangan kepada tengadah
di sepenggal semesta
lantaran terguyur doa pada butiran tasbih
yang mempertanyakan mana yang lebih deras
antara zikirku dengan hujanmu
Parakancanggah, 13 April 2018
Peluru
hidup adalah peluru
sebab kau sebatang senapan
digenggam erat oleh tangan yang dingin
muasal datangmu; sebungkus sujud merahasiakan
kapan buai sajadah ditempa waktu
menghabiskan separuh rindu dalam
sebidik tengadah
langkah tuan yang sendirian pergi ke jalan pulang
namun, peluru ini tak kunjung mengerti
manakah yang paling benar, “ia pergi ataukah pulang?”
tertakar sekarpati wangian melati
perjalanan peluru tidak terlalu sunyi untuk dihayati
kelak di penghujung jiwa peluru itulah yang akan bercerita
tentang bunga senja yang tertembak usia
Reminisensi Pertemuan
: catatan untuk sofia
sofia,
perempuan paling majikus yang setiap pagi mencuci hati. tak ada lentera atau
viola yang menyala di nyalang matanya. baginya cahaya paling keramat adalah
cinta. dari negeri batari kami berjalan menyusur sunyi mencari sekarpati di
hari-hari yang suci selepas matahari selesai membakar pelangi supaya anak
lelaki kami lekas melepas luka dan mempersunting bidadari.
Pawon
telah kami bakar
keheningan dalam dada
kayu yang semula pernah
jadi tubuhmu
menabahkan nyala-nyala doa
segala peristiwa
Amaya, Kita Ini Siapa?
hati ini begitu gigil, amaya
mencari jejak yang bisa diikuti
mencari langkah kaki yang musti diharakati
dari rahim hujan engkau dilahirkan
kepada siapa engkau bertuhan?
demi meralat cinta
kau basahi semesta
demi menjadi cahaya
kau junjung wujud sabda
dan demi tersamar waktu
kau jelma doa ibuku
mezbah bagi segala keheningan
altar bagi hadirat untuk mempertanyakan
kalau sebenarnya ‘kita ini siapa?’
benar-benar ada?
Bianca
mawar putih berpilin gigil lupa mengurai hujan. sekujur batangnya yang
kuyub bersandar di batas hutan menyesatkanku setelah menjadi dingin bagi
kelopak rekahmu. hutan telah menggiring kami sebelum fajar merekah di pintu
yang bertuliskan nama-nama kekasih. tak lama kemudian tak ada yang reda selain
harum perpisahan kita.
Muyen
pada mulanya adalah busung, kau kidungkan sebising suara, terngiang dari
dinding yang mengabadikan sebuah nama. di hari kelahiran anak sulungmu setelah
meruwatnya dengan seusap mantra yang kau terima dari tangan tetua.
Sajak Orang Buta
seperti katamu
bagi sebagian dunia
membayangkan tanda-tanda
menyigi sunyi
bukanlah bekas lesi
nyala api
dunia dalam dirimu
Banjarnegara, 21 Januari 2021
Cowongan
di kemarau ini, selalu ada yang menunggu
dan menjatuhkannya lewat tangan boneka
yang bisa menebak arah angin
kekeringan pun tiada mungkin
sebab duka hanya tergaris di gerimis
amis sesaji yang menghidu dewi sri
menyaksikan waktu yang berjatuhan
dari sunyi yang melapangkan tiap balong
siapa yang meruntuhkan langit itu
di hadapanku?
Banjarnegara, 23 Maret 2021
Tentang Penulis
Bagus Likurnianto, lahir di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Dia mulai menulis sejak
menjadi santri di Sekolah
Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Sedikit puisinya pernah dimuat basabasi.co, Media
Indonesia, dan Koran Tempo. Dia sempat meraih penghargaan
utama “Anargya Serayu Penawara” kategori puisi dari Pemerintah dan Dewan Kesenian Banyumas pada 2020. Sambil berjuang menyelesaikan
pendidikannya di Program
Studi Pendidikan Agama Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, saban
sore dia asyik bermain-main di Komunitas Taman Kecil, sebuah kelompok belajar
membaca dan menulis di desanya.