Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Bagus Likurnianto

0

 


Capung


aku adalah capung

terbang menyusuri semesta
sedangkan Engkau ibarat kabut

menjelma dingin di antara

sembahyang pagi


Karangnangka, 27 Maret 2018

 

Zikir Hujan


duha itu

pelangi menyatakan rindunya padaku
dengan gerimis yang menjelaskan, rintiknya yang ragu

kepada debu-debu yang ditayamumkan


oleh debu-debu itu manusia disucikan

dari wajah kepada tangan

dari tangan kepada tengadah

di sepenggal semesta


namun, debu-debu itu kini hilang kesuciannya
lantaran terguyur doa pada butiran tasbih

yang mempertanyakan mana yang lebih deras

antara zikirku dengan hujanmu


Parakancanggah, 13 April 2018


Peluru 


hidup adalah peluru

sebarang waktu mestilah diletupkan
sebab kau sebatang senapan

digenggam erat oleh tangan yang dingin


peletupan pertama menembak
muasal datangmu; sebungkus sujud merahasiakan

kapan buai sajadah ditempa waktu

menghabiskan separuh rindu dalam

sebidik tengadah


peletupan berikutnya mengiringi
langkah tuan yang sendirian pergi ke jalan pulang

namun, peluru ini tak kunjung mengerti

manakah yang paling benar, “ia pergi ataukah pulang?”


pada ruang peti di dalam diri
tertakar sekarpati wangian melati

perjalanan peluru tidak terlalu sunyi untuk dihayati

kelak di penghujung jiwa peluru itulah yang akan bercerita

tentang bunga senja yang tertembak usia


Purwokerto, 24 September 2018

 

Reminisensi Pertemuan
: catatan untuk sofia


sofia, perempuan paling majikus yang setiap pagi mencuci hati. tak ada lentera atau viola yang menyala di nyalang matanya. baginya cahaya paling keramat adalah cinta. dari negeri batari kami berjalan menyusur sunyi mencari sekarpati di hari-hari yang suci selepas matahari selesai membakar pelangi supaya anak lelaki kami lekas melepas luka dan mempersunting bidadari.


kendi beserta rahimnya merahasiakan rendaman surgawi, “aku akan membuat wangi kesetiaan untuk kupersembahkan setelah akad pernikahan, kau tidak akan mampu menolak sebagaimana ibrahim kepada tuhannya bagi ishaq atau ismail,” kataku saat ibumu masih meronce keagungan tanpa sedikit pun berpaling. kau terkenang anyir tanah badar dan seorang ayah yang dibunuh di depan anaknya: pertemuan berubah requiem.

api abadi musti dicipta oleh cinta untuk melenyapkan pedang yang dihunus si pembunuh. “tak ada yang bersedia mentakziahimu, sofia. tak ada,” bisikku dengan suara maut yang lebih hening dari batu nisan itu. kini, kau hanya perlu kembali menyiapkan hati agar mekar menghias usia dan ranjang pengantin. kita bisa bersama-sama mengubur masa lalu dan kau tidak perlu menjadikan selimut sebagai alat untuk menutupi kematian.

aku rela dikembalikan kepada azali demi merebut keadilan di masa depan. ingin kupindahkan surga ke dalam rahimmu, sofia. dan kau benar-benar tidak bisa menolak sebab sejak mula dunia hanya dikumpulkan untuk mencipta jantung waktu: muasal sejatinya cinta kita yang dirahasiakan oleh adam dan segenap manusia yang berkhalwat di dalam rahim kekasihnya.

Banjarnegara, 28 Juni 2019

 

Pawon


telah kami bakar keheningan dalam dada

kayu yang semula pernah jadi tubuhmu

menabahkan nyala-nyala doa

segala peristiwa


Banjarnegara, 16 Juli 2019

 

Amaya, Kita Ini Siapa? 


hati ini begitu gigil, amaya

kita ini siapa? menyusur jalan malam
mencari jejak yang bisa diikuti

mencari langkah kaki yang musti diharakati


dari rahim hujan engkau dilahirkan

kepada siapa engkau bertuhan?

demi meralat cinta

kau basahi semesta

demi menjadi cahaya

kau junjung wujud sabda

dan demi tersamar waktu

kau jelma doa ibuku


akulah pemilik malam
mezbah bagi segala keheningan

altar bagi hadirat untuk mempertanyakan

kalau sebenarnya ‘kita ini siapa?’


amaya, apakah kita
benar-benar ada?
 

Purwokerto, 13 Oktober 2019

 

Bianca


mawar putih berpilin gigil lupa mengurai hujan. sekujur batangnya yang kuyub bersandar di batas hutan menyesatkanku setelah menjadi dingin bagi kelopak rekahmu. hutan telah menggiring kami sebelum fajar merekah di pintu yang bertuliskan nama-nama kekasih. tak lama kemudian tak ada yang reda selain harum perpisahan kita.


semua berubah tak luput mayang yang membersamai datangnya kasih sayang. kau menuduhku sebagai penebar segala duka di hampar junjungan langit yang gelepar. kita perlu mengenang nasib bunga-bunga yang ditabur di belahan laut tengah: matahari yang selesai menyusui senja terbenam di dasar lambung leluhur para pemuja cinta.

“kau memang pandai memanggil ular,” bisikku. tapi lidah bercabang itu meracuni sepasang dadamu yang renta. padahal tak ada desis yang mampu mengubah takdir mula. “hujan itu pias di punggung belakangmu yang lemas. di jalan yang satu kutuntun hatimu tanpa ragu dan tak akan ada waktu yang beku meski sekian lama membisu,” bisikmu melilitku. 

Purwokerto, 5 Maret 2020

 

Muyen


pada mulanya adalah busung, kau kidungkan sebising suara, terngiang dari dinding yang mengabadikan sebuah nama. di hari kelahiran anak sulungmu setelah meruwatnya dengan seusap mantra yang kau terima dari tangan tetua.


ketika memasuki lingkaran penjaga bayimu nyenyak ditimang tanah lapang. di musim pandemi, tetap kau kurungkan ternak bagi anak-anak. istrimu menyiapkan segala yang perlu ditanak sebagai tanda pertama bagi sulungmu yang memilih menyusu.

“tanah tak memilih ibunya, wahai anakku. ia tak mengubur rindu.” semua orang menatapmu bahagia saat tetua mengajarimu tawa sebagai bekal yang kau bawa dari tanah yang melahirkanmu: dari ibu, air susunya yang sejak awal mula membuat dunia menjadi ada.

Banjarnegara, 1 Mei 2020

 

Sajak Orang Buta


seperti katamu

aku memang buta

semenjak pagi tak lagi jadi mata
bagi sebagian dunia


diriku yang hampa
membayangkan tanda-tanda


dan bunyi-bunyi
menyigi sunyi


seperti ilusi pandanganku yang pasi
bukanlah bekas lesi


tapi penglihatan itu:
nyala api


membakar paras-paras
dunia dalam dirimu


Banjarnegara, 21 Januari 2021


Cowongan

 

di kemarau ini, selalu ada yang menunggu

menanggalkan musim di langit
dan menjatuhkannya lewat tangan boneka


batok siwur kau rias menjadi putri
yang bisa menebak arah angin

kekeringan pun tiada mungkin


dibiarkan berlama-lama di atas petak sawah
sebab duka hanya tergaris di gerimis

amis sesaji yang menghidu dewi sri


dan kita meniup mantra ke anak-anak saat
menyaksikan waktu yang berjatuhan

dari sunyi yang melapangkan tiap balong


di kemarau ini, selalu ada yang menunggu
siapa yang meruntuhkan langit itu

di hadapanku?


Banjarnegara, 23 Maret 2021

 

Tentang Penulis

Bagus Likurnianto, lahir di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Dia mulai menulis sejak menjadi santri di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Sedikit puisinya pernah dimuat basabasi.co, Media Indonesia, dan Koran Tempo. Dia sempat meraih penghargaan utama “Anargya Serayu Penawara” kategori puisi dari Pemerintah dan Dewan Kesenian Banyumas pada 2020. Sambil berjuang menyelesaikan pendidikannya di Program Studi Pendidikan Agama Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, saban sore dia asyik bermain-main di Komunitas Taman Kecil, sebuah kelompok belajar membaca dan menulis di desanya.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top