Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Dewi Sukmawati

0


 

LETUPAN KEMBANG API DI KEPALA IBU

 

            Sudah terlalu banyak kembang api meletup di kepala Ibu. Sejak Ibu bersuami dan memiliki banyak anak, sampai Ibu ditinggal Ayahmu, dan anak-anak Ibu meninggalkan Ibu, kembang api di kepala Ibu tidak pernah padam. Ibu tak berharap kamu datang. Ibu tak pernah berharap kau bawakan Ibu kembang api yang mahal ini.

            Badan ringkihnya tertatih-tatih melangkah menjauh dari anak sulungnya. Wajahnya kini semakin muram. Mungkin kembang api di kepala Ibu semakin ramai. Atau mungkin saja wajah anak sulungnya mengingatkannya pada suaminya yang meninggalkannya. Malam ini dia memilih untuk bergegas tidur dan mengacuhkan anak sulungnya yang datang dari kota.

***

            Di desa, nasib gadis bagaikan Siti Nurbaya. Begitulah dengan diriku. Hari ini Ayah menjodohkanku dengan juragan sapi yang telah memiliki tiga istri. Ibuku tidak sanggup menghalangi niat Ayahku, karena Ibu tahu Ayah memiliki banyak hutang pada juragan sapi itu. Sedangkan aku, aku sendiri pasrah. Bukan karena mau. Tapi karena aku satu-satunya gadis yang belum menikah di desa ini. Pria yang aku cintai telah menghamili sahabatku. Sedangkan pria desa lainnya takut denganku.

            “Yun, sudah siap belum kamu. Juragan Irwan sudah menunggu.”

            “Iya Pak. Sebentar.”

            Aku bergegas pergi ke ruang tamu dan menemui Juragan Irwan sekeluarga. Semua menatapku dengan aneh. Tidak ada senyum atau bersapa kali ini. suasana hening ini membuat bingung diriku. Sampai akhirnya Ayah mendekat dan berbisik padaku.

            Kamu itu mau dilamar bukan disuruh motong kayu atau nyembelih ayam. Ngapain kamu bawa golok di pinggangmu. Bikin malu saja. Taruh sana golokmu.”

            “Tapi Ayah, golok ini memang selalu di pinggangku. Aku tidak bisa berpisah dengan golokku.”

            “Ayah suruh kamu taruh ya taruh. Jangan banyak bicara.”

            Aku kembali ke kamar dan menaruh golokku. Rasanya sungguh canggung berjalan tanpa ada golok yang menemaniku. Tapi apa daya, Ayahku sudah marah padaku. Padahal dia sendiri yang mengajarkanku sejak kecil membawa golok ke  mana-mana.

***

            “Maafkan putri kami yah. Dia memang anaknya begitu. Tapi saya janji, setelah perjodohan ini Yunda tidak lagi membawa goloknya kemana-mana.”

            “Iya Bu, tidak masalah. Itu Yunda sudah kembali. Kita mulai saja yah.”

            Perjodohan langsung dimulai. Tanggal pernikahan pula langsung ditentukan. Yunda dan Juragan Irwan akan menikah minggu depan. Dalam diskusi tersebut, juragan Irwan selalu saja menatap manja Yunda. Tapi Yunda tidaklah membalas tatapnya. Yunda hanya sibuk dengan kertas dan penanya. Entah apa yang sedang ditulis Yunda kala itu.

            Semenjak perjodohan itu Yunda tidak boleh keluar kamar. Ia harus menjalani tradisi keluarga dengan mendekam diri di kamar. Hari-harinya tentu membosankan. Di kamar ukuran 3 x 4 meter ini, Yunda hanya bisa membaca buku dan menulis puisi. Iya itu kesehariannya sekarang. Golok yang biasa menemaninya berburu kelinci, memetik kelapa, menyembelih ayam, bebek, dan biasa menemani kemana Yunda pergi kini telah diambil Ayahnya. Dan membuat ia benar-benar seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.

***

            Rumahku yang kumuh kini telah mewah dengan dihiasi berbagai hiasan pernikahan. Aku yang tidaklah cantik kini menjadi seorang putri. Sedangkan Juragan Irwan tengah menunggu di pelaminan. Apa yang harus aku ceritakan tentang dia. Dia begitu tampan menjadi seorang pengantin. Aku langsung mendekatinya dan duduk di sampingnya. Akad pernikahan pun segera dimulai. Dan kini, aku sah menjadi istri Juragan Irwan.

            Pesta penikahan kami adakan tiga hari tiga malam. Kami adakan pagelaran wayang, kuda lumping, dan juga sintren. Semua warga ramai berdatangan dan tak lupa juga ada banyak pedagang memenuhi pinggiran jalan. Mulai dari pedagang rokok, jagung bakar, es, jajanan, bakso, soto, dan banyak lainnya ikut meramaikan perayaan kami.

            Setelah perayaan selesai, aku dibawanya pergi ke rumahnya. Rumahnya begitu mewah dan megah. Mungkin aku beruntung menikah dengan Juragan Irwan. Atau mungkin aku tidak beruntung menikahinya karena aku harus serumah pula dengan ketiga istrinya.

            “Ini kamarmu sekarang”

            “Iya mas. Mas, kalau boleh tau ketiga istrimu di mana?”

            “Aku suruh mereka liburan ke Bali untuk sementara. Jadi kita di sini hanya berdua”

            Sampai saat ini aku masih terheran-heran. Usia suamiku jauh lebih muda dari aku tapi dia memiliki tiga istri. Sedangkan aku, di usia sekarang aku baru menikah. Sudahlah, semoga ini bukan pilihan yang salah.

***

            Dua puluh tahun sudah usia pernikahannya. Dua puluh tahun ia menderita. Dua puluh tahun pula ia merasakan sakit hati karena setiap dua tahun suaminya pula menikah lagi dan lagi. Anak-anaknya tidak pernah tahu akan tingkah Ayahnya. Mereka hanya tahu Ayahnya bekerja di kota dan hanya pulang setahun sekali saat tahun baru.

            Tahun baru menjadi hari bahagia untuknya dan anak-anaknya. Itu karena ia sendiri yang memilih untuk pindah rumah dari rumah dulu yang penuh dengan istri-istrinya. Sejak kelahiran anaknya yang terakhir ia memilih untuk pindah rumah. Maka dari itu suaminya hanya berkunjung saat tahun baru saja.

            Tepat di hari ini suaminya berkunjung. Ia pula menyiapkan berbagai makanan. Tidak lupa pula ia membersihkan taman untuk bermain kembang api nanti malam. Setiap suaminya pulang tentulah ia membawa banyak kembang api yang mahal dari kota. Dan saat ia sudah selesai melakukan persiapan, ia terduduk menunggu suaminya datang. Tak lama kemudian ada mobil memasuki halaman rumahnya sambil membunyikan klakson.

“Yunda, anak-anak, Ayah kembali”

Anak-anaknya berlarian menemui Ayahnya. Mereka begitu bahagia. Sedangkan ia masih terduduk menatap anak-anaknya yang berebutan mencium tangan Ayahnya.

“Ayah bawa kembang api tidak?”

“Menurut kalian?”

“Bawa. Hore,” sorak anak-anakku dengan riangnya.

Malam pun tiba. Mereka beramai-ramai ke taman menyalakan kembang api. Langit pula kini ikut ramai. Banyak kembang api yang mewarnai gelapnya. Yunda bahagia, anaknya bahagia, dan suaminya terlihat pula bahagia. Seandainya bisa, ia ingin setiap hari tahun baru agar ia bisa bahagia menjalani hari selalu bersama anak dan suaminya di rumah ini.

Sayang sekali, hari esoknya suaminya harus pergi kembali. Yunda dan anak-anaknya harus menunggu setahun lagi untuk bertemu dengannya. Sebelum suaminya pergi, ia mencium tangannya dan memeluknya. Entah mengapa kali ini ia meneteskan air mata. Yunda mengapus air matanya dan menyuruh anak-anak memeluknya. Lalu, ia pergi dengan mobilnya. Yunda dan anak-anaknya melambaikan tangan sampai mobilnya tak lagi terlihat.

***

            Sudah tahun kesepuluh suaminya tak datang. Anak-anaknya pula telah merantau ke kota sejak dua tahun lalu tidaklah pulang. Ia kini hanya sendiri di rumah. Setiap tahun baru ia hanya habiskan dengan duduk di teras sambil memandang kembang api di langit. Ia selalu ingat anak-anak dan suaminya kala itu. Sepuluh tahun lalu adalah tahun baru terakhirnya bersama suaminya. Tahun baru terakhir yang ia rayakan dengan kembang api. Dan sekarang ia benci dengan kembang api. Karena ia hanya bisa melihatnya dari jauh tanpa memilikinya. Sejak dulu, kembang api di kepalanya lebih ramai. Membuatnya selalu berapi dan muram karena hari kian tak adil dibuatnya.

*Pernah dimuat di Pikiran Rakyat, 12 Januari 2020

 

 


Tentang Penulis

Dewi Sukmawati lahir di Cilacap, 21 April 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan di IAIN Purwokerto Fakultas Ekomoni dan Bisnis Islam jurusan Perbankan Syariah. Dia aktif di KSEI IAIN Purwokerto dan hobinya menulis. Beberapa karyanya dimuat di Koran Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Radar Banyumas, Merapi, Radar Cirebon, Rakyat Sumbar, Bangka Pos, Suara NTB, Malang Post, Simalaba.Net, Kabar Madura, DinamikaNews, dan Nusantara News. Alamat di Desa Tambakreja Rt 02 Rw 01, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Email: sukmawatid608@gmail.com.

           

 


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top