Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Dimas Indianto S

0

 


Nun Kalam dan Penyair


Buku puisi “Nun” karya Abdul Wachid B.S. adalah buku puisi pertama yang saya baca di awal tahun ini. Buku yang memuat 56 puisi ini menyajikan tema-tema religius-romantis, sebagaimana buku-bukunya terdahulu khas Abdul Wachid B.S. Ada hal yang menarik yang saya dapat dari pembacaan secara mendalam terhadap buku dengan cover huruf nun berbackground hitam-yang membuat huruf Nun menyala-mencahaya-ini. Pemilihan judul “Nun” bagi saya bukan suatu hal yang dilakukan tanpa sengaja. Tentu dengan permenungan yang ketat dan lama. Sebagaimana kita tahu, Nun adalah bagian dari fawatihussuwar (huruf pembuka surat) dalam surat al Quran, yang kedudukannya menghadirkan rasa penasaran untuk dibaca dan diketahui maknanya.

            Saya teringat pada Aziz al-Din Nasafi, seorang sufi yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, menjelaskan bahwa Nun” adalah bak tinta. Penafsiran ini berlandaskan pada surat al-Kahfi ayat 109 “  katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula”. Maka dalam pada ini saya memahami nun sebagai lautan tinta, sebuah washilah untuk “menulis” kalamullah yang tak pernah habis-habis untuk dituliskan.

            Jika kita kembali pada surat al Qalam, di dalamnya dijelaskan bawasannya Allah bersumpah dengan kalam (pena) dan segala yang dituliskannya untuk menyatakan bahwa kalam itu termasuk nikmat besar yang dianugerahkan Alloh kepada manusai, di samping nikmat pandai berbicara dan menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Dengan kalam, orang dapat mencatat ajaran agama dari Allah yang disampaikan kepada Rasul-Nya dan mencatat semua pengetahuan Allah yang baru ditemukan. Dengan kalam orang dapat mencerdaskan dan mendidik bangsanya.

             Maka dalam puisi “Nun” (halaman 21) Abdul Wachid B.S. mengatakan aku cumalah/sebatang pena, yang/ ketika engkau angkat,  yang / ketika engkau turunkan, yang/ ketika engkau tuliskan/ nafas dan nafs-ku Cuma—lah/ tergantung kepada/ tiupan udara takdirmu. Kesadaran penyair akan keberadaan yang Cuma-lah sebatang pena adalah kedudukan seorang penyair di muka bumi ini. Penyair, hanyalah washilah mengungkapkan kalam Allah. Dalam tafsir al Azhar dikatakan bahwa awal mula sekali yang diciptakan oleh Tuhan dari makhluknya ialah kalam atau pena. Hal ini sebagaimana dalam hadis nabi yang dirawikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Hadits al-Walid bin Ubaddah bin Tsamit, berbunyi “ yang mula-mula diciptakan Allah ialah qalam, lalu diperintahkan Allah supaya ia menulis. Maka bertanyalah ia kepada Tuhan: Apa yang mesti hamba tuliskan ya Tuhan ? Tuhan menjawab, tuliskan segala apa yang telah aku takdirkan”.

            Maka dalam pada ini, hubungan kalam dan penyair semakin terang. Apa yang semestinya ditulis oleh penyair adalah kalam Allah yang terbentang di dalam semesta. Seperti dijelaskan dalam tafsir al Azhar bahwa panjang kalam adalah seantara panjang langit dan bumi, serta tercipta dari nur yang artinya cahaya. Artinya kalam Allah yang bisa disampaikan oleh penyair dalam puisinya itu sangat banyak dan mampu menghadirkan cahaya untuk menerangi kegelapan dunia. Sebagaimana dituliskan Abdul Wachid B.S. dalam puisinya “ Mencari” (halaman 29) hari-hari tanpa puisi/ serasa hati mati suri/ ketika hari kehilangan mata/ maka matahari menjadi buta/ kemanakah mata ? Dalam puisi ini kita tahu proyeksi Abdul Wachid B.S. terhadap puisi, yakni sepenting mata dalam kehidupan. Sebagai alat untuk melihat dengan bantuan cahaya ( nur) dari Tuhan. Dan jika satu hari tidak ada puisi, serasa hari mati suri.

            Namun begitu, penyair, pada kenyataannya belum semuanya sebagaimana diharapkan sebagai wasilah kalamullah untuk disebar kepada sesama manusia. Kegelisahan ini juga dirasakan oleh Abdul Wachid B.S. yang tertuang dalam puisinya “Wajah Puisi” sampai hari ini aku tidak juga mengerti / bagaimana kelahiran sebuah puisi/ berjuta kata mungkin saja ada di kepala/ tetapi metafora tidak juga bicara. Ini adalah proyeksi dari keberadaan penyair yang tidak memberi kemanfaatan dari apa yang dituliskan, oleh sebab hanya berisi tumpukkan kata: yang ada hanya kata yang/ diindahindahkan/ tetapi bukan kata yang/ diindahkan. Jelas ada perbedaan antara diindahindahkan dengan diindahkan. Kata pertama adalah rekayasa sedemikian hingga agar “terkesan” indah, sedangkan kata kedua mengandung makna kegiatan mengindahkan secara an sich.

            Keadaan ini membawa kita kembali pada kritik al Quran dalam surat Asy-Syu’aro (para penyair) (Q.S.26; 224-227) terhadap perilaku negatif penyair. Dalam ayat itu dijelaskan, para penyair itu diikuti orang-orang yang sesat, serta bahwa penyair hanya mengatakan hal-hal yang mereka sendiri tidak mengerjakannya. Dalam pada ini diartikan bahwa apa yang dikatakan penyair hanyalah sebuah omong kosong. Namun, di dalam ayat terakhir terdapat pengecualian, yaitu orang—orang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah dan membela diri bila dizalimi.

            Dalam bait terakhir puisi “ Wajah Puisi” Abdul Wachid B.S. mengatakan hingga tiap mata tidak Cuma membaca / tetapi tiap mata berkacakaca/ sampailah sebuah wajah terkaca/ utuh penuh terbaca sebagai manusia. Beginilah puisi sebenarnya, memberikan dan menyampaikan kebenaran kalam Tuhan. Agar pembaca tidak tersesat dalam lembah kegelapan tapi justru “berkaca-kaca sampailah sebuah wajah terkaca” yang berarti puisi sebagai media “ membaca” baik mikrokosmos maupun makrokosmos.

            Jika penyair, sebagaimana dijelaskan dalam pembukaan surat al Qalam, yakni sebagai perpanjangan Kalam Tuhan, maka saya yakin tidak akan ada lagi keraguan terhadap puisi sebagaimana pernah dikeluhkan oleh Marcel Proust (1871-1922), yang pernah berkata bahwa sastra seperti berbohong tanpa referensi yang sesuai sehingga suatu karya sastra maupun suatu kebohongan bertolak belakang dengan pernyataan yang merupakan fakta. (J.Hillis Miller, 2011; 64).

            Lebih lanjut, izinkan saya menutup tulisan ini dengan kalimat yang disampaikan Percy Bysshe Shelley dalam bukunya “Defence of Poetry” , penyair adalah jalan raya yang dilalui oleh kekuatan baru yang berasal dari sumber Ilahi yang membentuk masyarakat, yang mengalir melalui puisi, dan kemudian dialirkan untuk mengubah masyarakat.

 

 

Tentang Penulis


 Dimas Indianto S,S.Pd.I.,M.Pd.I. atau yang lebih dikenal dengan nama Dimas Indiana Senja (lahir 20 Desember 1990) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan antara lain di Minggu Pagi, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Horison, Satelit Post dan lain sebagainya.  Selain menulis dan mengagungkan karya-karyanya, Dimas juga menekuni sebagai editor sejumlah penulis dan menjadi pendiri Bumiayu Creative City Forum (BCCF), komunitas berbasis kreativitas di Bumiayu, dan pengasuh komunitas sastra santri “Pondok Pena” Purwokerto.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top