Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Teguh Trianton

0

 



Puisi, Autobiografi, dan Tilas Persinggahan

 

Setiap penyair boleh menuliskan apa saja dalam puisinya. Ia dapat menulis peristiwa kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, tua, uzur, bahkan bayangan mengenai kematian yang teramat tragis sekalipun. Penyair juga bisa menulis berbagai hal mengenai dirinya sendiri, keluarga, pasangan hidup, sahabat terdekat, orang lain; baik sebagai cerminan dirinya sendiri atau liyan pada posisi yang bersebrangan (opsisi biner). Seorang penyair juga dapat menuliskan keseluruhan anasir semesta yang melingkupi dirinya; baik secara partikular maupun simultan. Lantaran puisi sesungguhnya hanya medium bagi penyair untuk membocorkan penggalan-penggalan kisah hidup yang pernah dialaminya.

Puisi adalah media atau wadah; tempat segala hal dapat dituturkan dengan leluasa. Pada puisi, seorang penyair dapat menuturkan peristiwa yang paling primordial sekalipun; peristiwa yang paling pribadi, bahkan paling azasi. Lewat puisi, seorang penyair bisa menggelorakan perasaannya, bahkan emosi yang paling liar dan banal dapat dikandangkan di dalamnya.

Puisi merupakan alat ungkap yang cukup efektif bagi penyair untuk menyuarakan gagasan atau opini terhadap kegalauan mengenai apa saja. Dengan puisi, penyair dapat mempresentasikan pandangannya mengenai diri dan mengenai segala sesuatu di luar dirinya. Puisi merupakan persprektif, tempat penyair meletakan citra dengan angel tertentu terhadap segala sesuatu. Pada puisi, ia membangun komposisi yang paling efektif untuk menggambarkan keberadaan dirinya di antara sekian banyak persoalan hidup.

Puisi selalu hadir dengan muatan-muatan subjektif penyairnya. Meski demikian, ia acap kali dapat mewakili subjek kolektif yang lebih besar. Puisi seperti itu hanya dapat ditulis oleh penyair yang telah sadar mengenai posisinya sebagai bagian tak terpisahkan dari entitas kolektif. Atau, puisi seperti itu juga dapat ditulis oleh penyair yang dengan sadar ingin memosisikan puisinya pada titik tertentu.

Pada level ini, seorang penyair menyadari sepenuhnya; apa tujuan yang hendak ia capai setelah puisi ditulis. Puisi yang lahir tidak lagi sekedar komposisi puitis yang sengaja dibangun dengan eksperimentasi bahasa. Kekuatan puisi bukan pada pilihan kata atau diksi yang dicari-cari unsur kepuitisannya. Penyair tidak lagi menggantungkan daya evokasi puisi pada aspek artistik linguistik.

Namun, puisi yang demikian justru ditulis dengan kesadaran berbahasa yang paripurna. Penyair yang telah selesai dengan persoalan kebahasaanya, sudah tidak tertarik dengan eksperimentasi bahasa dalam puisi. Satu-satunya hal yang mendorong penyair menulis puisi adalah lantaran dia menyadari bahwa puisi menyediakan ruang segar bagi tumbuhnya ungkapan yang paling selaras dengan apa yang ingin disampaikan.

Kesadaran berbahasa membuat penyair memberikan prioritas pada aspek keberhasilan komunikasi pesan yang ingin disampaikan dalam puisi. Ketidaksadaran dalam berbahasa, membuat seorang penyair sibuk memilih kata yang merupakan bahan mentah bagi metafora atau gaya ungkap lain dalam puisinya.


Kesadaran berbahasa yang baik meyakinkan penyair bahwa bahasa hanya laras untuk menembakkan intensi atau maksud tertentu. Melewati lobang yang membentuk cerobong pendek, wacana dilesatkan pada siapapun yang membaca puisinya. Kepiawaian dalam menimbang bobot wacana -sebagai mesiu dalam peluru- menjadi penentu pemilihan laras yang tepat. Dengan begitu, komposisi ungkapan yang ia bangun pada puisi semata-mata dibuat dengan pertimbangan soal urgensi wacana. Penting-tidaknya wacana menjadi landasan dalam menyusun komposisi ungkapan atau metafora.

Bukan sebaliknya; kata dipilih-pilih, dicocok-cocokkan, diramu, dijahit sedemikian rupa untuk menciptakan cita rasa dan citra atau kesan; seolah-olah wacana itu penting disampaikan melalui medium puisi. Inilah impresi yang saya dapatkan sekitar satu dekade yang lalu, saat pertama membaca puisi-puisi karya Arif Hidayat, sekitar tahun 2007.

Impresi tersebut boleh jadi keliru, apalagi saya mengungkapkannya sepuluh tahun berselang. Apalagi saat saya berhadapan dengan buku terbaru, kumpulan puisi terpilih bertajuk Air Mata Manggar (AMM), Penerbit Basabasi, 2018.

Syahdan, saya teringat dengan puisi-puisi Arif yang ditulis kisaran tahun 2007. Ada tiga puisi yang termaktub dalam antologi bertajuk Syair-syair Fajar; antologi Puisi 19 Penyair Universitas Muhammadiyah Purwokerto (selanjutnya disingkat SSF). Buku tipis ini merupakan hasil kuliah kewirausahaan bidang bahasa dan sastra –kalau saat ini, pasti akan disebut dengan istilah kewirausahaan literasi puisi-. Sebelum menulis, 19 penyair mengikuti serangkaian pelatihan. Hasilnya dibukukan secara indie melalui penerbit CV. Mimbar Media utama, Semarang.

Saya buka arsip lama ini untuk meyakinkan; bahwa kesan saya terhadap puisi Arif pada mula kemunculannya tidak keliru. Arif menulis puisi tanpa kesadaran berbahasa yang baik. Ia cenderung sibuk melakukan eksperimentasi bahasa dengan menjalin-jalin kata tanpa memikirkan keberhasilan komunikasi pesan pada pembaca.

 

Doa

 

Kuuntai sebuah nama Besar

Seperti menanam benih

Pada lari-larik surat-Mu

 

Cahaya menyala dalam embun

Mengurai tirai cakrawala

Lembah berdiam para malaikat suci

 

Kuuntai sebuah nama Besar

Untuk melepas getar dada

Yang kumuh dan kotor

2007

 

(SSF, 2007;14)

 

Pada puisi bertajuk ‘Doa’, saya melihat penyair begitu disibukan mencari kata-kata yang seindah-indahnya, yang begitu dalam maknanya, sehingga benar-benar mewakili perasaannya. Penyair berupaya menciptakan ungkapan yang paling puitis untuk mengemas gagasannya mengenai doa. Pada tiga larik pembuka puisi, saya merasakan adanya emosi yang kuat pada diri aku lirik yang ingin mendefinisikan doa sebagai permintaan paling pribadi pada Tuhan. Tetapi ia belum begitu berhasil.

Kemudian, proses penjilidan kata-kata yang telah dipilih dilakukan secara sembarangan. Ini saya temukan pada alinea kedua. Ungkapan Cahaya menyala dalam embun/ Mengurai tirai cakrawala/. Aku lirik begitu mempertimbangkan diksi sebagai unsur puitik, tetapi ini menjebak penyair jatuh pada ungkapan hiperbolik yang tidak perlu. Misalnya pada ungkapan /Lembah berdiam para malaikat suci//. Dalam konsepsi Islam, malaikat tidak berdiam di lembah dan tentu saja semua malaikat itu suci.

Secara keseluruhan puisi ‘Doa’ tidak mengandung wacana yang penting. Aku lirik hanya sekedar mencoba mendefinisikan doa. Dan itupun belum sepenuhnya berhasil. Doa atau permohonan pada Tuhan hanya sekedar untaian /... sebuah nama Besar/ yang digunakan /Untuk melepas getar dada/ Yang kumuh dan kotor//. Puisi ini agaknya ditulis dengan melupakan wacana dan dipenuhi ketidaksadaran berbahasa. Penyair diliputi ketegangan antara menulis suatu pesan dan meluapkan emosi secara puitis.

 


Meski mengangkat tema yang sama; doa, tetapi kesadaran berbahasa dan berwacana cukup kuat terasa pada dua puisi dalam buku AMM. Puisi pertama berjudul ‘Doa Tanpa Arah’ (DTA) yang dipersembahkan untuk ‘Pak Har dan Zein’ (halaman 50-51). Puisi kedua bertajuk ‘Doa untuk Padang Pasir’ (DPP), (halaman 101-103).

Puisi pertama menawarkan wacana mengenai kegundahan seorang yang berada pada situasi tidak menentu. Angin yang melaju bersama bongkahan air matamu/ menyerupai serbuk hujan, telah memporak-porandakan/ keanggunan pohon dan rerumputan yang ditanam leluhur/ sebagai penanda tempatnya singgah//. Betapa angin yang biasa mengantarkan sampan dalam keluasan semesta/ telah mengubah peta ingatan//. “Ah, itu hanya sejarah yang ditulis oleh bayi kemarin sore” katamu sambil berdoa untuk membaca kepastian dalam musim.

Penyair melalui puisi ini menempatkan ketidak-menentuan sebuah kondisi sebagai sebuah wacana. Ada sejenis kegalauan, perasaan takut, khawatir, was-was, bimbang, sehingga memunculkan doa yang disimpul dengan ungkapan ‘tanpa arah’. Doa tanpa arah adalah sebuah kata kunci yang dapat digunakan untuk menera berbagai kemungkinan lain yang dapat ditangkap dan dieksplorasi pembaca puisi.

Kondisi yang tidak menentu ini dipertegas pada alinea kedua dan ketiga. “Aku ingin menangkap ikan dan lobster untuk sebuah ingatan yang dangkal” lagi-lagi kau berkata sambil berdoa dan mengkhayalkan sesuatu yang tidak ada. Alinea ketiga; Berlayar-layar/ Teriak sorai sebelum angin sakal bermusim-musim beruntuhkan jerit doa yang kau panjatkan tanpa arah dan kepastian./

Aku lirik pada puisi ini menempatkan dirinya berada di laur wacana. Namun, ia memilih angel orang pertama yang terlibat dalam suatu dialog dan dialektika. Ia juga bertindak sebagai narator. Sementara itu, pada puisi kedua; DPP, penyair hanya bertindak sebagai narator. Ia membangun narasi yang jelas mengenai derita rakyat Palestina. Di sini, penyair dengan gamblang menjadikan rakyat Palestina sebagai subjek yang di-mention dalam doa. Ada begitu banyak wacana yang dapat dikembangkan oleh pembaca.

Kedua puisi ini dibangun dengan komposisi bahasa yang relatif diperhitungkan. Ini jelas berbeda dengan puisi bertajuk ‘Doa’ yang ditulis penyair pada awal karir kepenyairannya. Di sana jelas terasa, puisi tidak mengandung diskursus apapun di luar diri penyairnya. Sementara dua puisi lainnya berupaya menyuguhkan kemungkin lain di luar diri penyair sebagai diskursus.

Dari aspek linguistik, dua puisi terbaru itu mampu menampilkan citra diri penyairnya sebagai seorang penulis yang memiliki kesadaran dan kompetensi yang mumpuni dalam berbahasa. Penyair memilih menggunakan kalimat majemuk bertingkat untuk membangun wacana dalam puisinya. Penggunaan kalimat majemuk bertingkat pada puisi memang cukup efektif dalam rangka menyusun teks-teks yang berkelindan. Berbagai teks dapat dijalin dalam satu tarikan nafas. Meski cukup panjang, tetapi memberikan ruang yang luas bagi pembaca untuk melakukan pertukaran wacana.

 

Setelah melalui berbagai diskursus, pada akhirnya apa yang ditulis oleh penyair sebagai puisi adalah sebuah autobiografi. Ia memang tidak serta-merta berbicara mengenai dirinya sendiri sebagai pusat. Ia tidak berkisah mengenai diri sebagai subjek yang otonom dan menguasai keseluruhan ruang dalam bangunan puisi. Namun puisi yang ditulis sesungguhnya merepresentasikan narasi penyair sebagai subjek yang dinamis, bergerak ke luar mencari wacana dan menawarkannya ulang pada liyan, serta sesekali pulang ke dalam dirinya, menemukan teks yang tersedia untuk ditukar tambah dengan teks di luar dirinya.

Puisi sebenarnya adalah sebuah autobiografi. Di dalamnya termuat secara laten berbagai kisah diri penulisnya, pengalaman hidup, pandangan dunia, opini, serta kisah-kisah liyan yang membekas dalam ingatannya. Puisi merupakan rekam jejak penyairnya. Ia tidak dapat dilepas begitu saja, tidak bisa dipegat, dijarakkan, apalagi diperlakukan sebagai objek yang otonom. Puisi tidak pernah menjadi objek yang tunggal, ia selalu terikat secara laten. Terdapat benang merah antara puisi dengan penyair sebagai pelaku maupun sebagai pengisah.

Puisi sendiri memiliki biografi yang tidak lepas dari riwayat hidup penyairnya. Itulah sebabnya, puisi acap kali bercerita tentang banyak subjek dengan berbagai peristiwa, dan tempat atau latar tertentu. Puisi selalu menyediakan berbagai teks, baik sebagai bahan mentah yang dapat dielaborasi, maupun teks sebagai menu jadi yang siap dinikmati.

Puisi juga dapat menyediakan nomenklatur pribadi dan alamat-alamat yang mudah ditelusuri sebagai referensi. Ia tidak pernah berdiri sendiri sebagai teks. Puisi selalu ditulis dengan posisi tertentu; di dalam, di luar, di sebelah, diposisikan sebagai opisisi atau bahkan reposisi dari teks lain. Dilihat dari dalam, puisi merupakan tilas yang mengandung nilai sejarah bagi penyairnya. Dilihat dari luar, puisi adalah tilas yang menyediakan sistem tanda terbuka bagi siapapun yang hendak menerka.

Dalam konteks inilah saya membaca puisi-puisi Arif Hidayat yang ditulis dan dibukukan setelah rentang waktu satu dekade. Buku puisi AMM merupakan autobiografi penyair dan puisi itu sendiri. Dengan berbagai semion, Ia menyediakan rambu dan peta jalan bagi pembaca yang ingin menelusuri tilas wacana dan kisah-kisah lain yang tersembunyi. (*)



Tentang Penulis


Teguh Trianton, lahir di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet, Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan. Tulisannya berupa puisi, artikel, dan esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Minggu Pagi, Solo Pos, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Suara Karya, Suara Merdeka, dll. Buku antologi yang pernah terbit; puisi ‘jiwa-jiwa mawar’ (Buku Laela 2003), antologi Temu Penyair Antar Kota Pendhapa-5 (TBJT 2008), dan lain sebagainya.

Email : anton_aktualita@yahoo.com .

 

Note:

[1] Esai ini merupakan catatan pengantar yang disampaikan pada diskusi dan peluncuran buku antologi puisi bertajuk Air Mata Manggar, yang dihelat oleh Komunitas Penyair Institut (KPI) Purwokerto.

[2] Teguh Trianton, penggemar puisi, alumni Program Doktor PBI UNS, mengajar di Prodi PBSI FKIP UM Purwokerto

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top