Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi D. Zawawi Imron

0

 


ANAI

 

Sia-sia, menyalahkan jalan berkelok

Sementara lembah tidak mengeluh

Menampung percik-percik purbakala

Cuma bagaimana menarik nafas

Di tengah daunan yang memaknai sunyi dengan gemuruh

 

Di sini kurindukan kupu-kupu

Untuk terbang ke dalam angan-anganku

Sebelum selembar rumput

Menunjukkan bagian langit yang lembut

 

Kunyanyikan parauku

Dalam dahaga yang paling kemarau

Entah siapa yang menyahut di sana, seakan seorang munsyi

Menyebut sebuah nama

 

Seperti bertahan menjalankan tahun

Hari dan menit dilompati anjing pemburu

Aku terharu, ada yang tak terkejar

Seperti kata-kata yang mengental jadi kelenjar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HUTAN

 

Tak ada alasan, akar itu tidak berayun

Sedangkan hutan telah menetapkan lebatnya

Di bawah asuhan kelopak nyanyian burung

Ayat-ayat bicara dalam denyut nadi

Bahwa aku tidak sendiri, tidak sendiri

 

Ayat-ayat terus bicara

Rintik hujan membacanya dalam bahasa cuaca

Tiba-tiba aku kehilangan segalanya, hatiku karu

Padahal hutan tak menyimpan penjuru angin

 

Kuikuti langkah semut pelan-pelan

Beringsut memandu ketidakpastian

Air terus menderas tanpa merasa dirinya hujan

Dan aku menyadari basah,

Sehingga semesta daun kudengar lagi

 

Dan kudengar lagi

Kejauhan yang sayup menyimpan embun

Menyimpan bisik-bisik tersunyi rahasia pantun

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HARUSLAH ADA HELAI-HELAI

 

 

Kabut inilah yang menyapuku di sini

Sambil menafsirkan senyum ibu yang selalu berdebur

dalam sukmaku

Dan aku serasa menjadi anak-anak kembali

dengan luka yang fitrah

 

Tapi anehnya, di air sawah itu terbayang

senyum Munir senyum Bernazir

yang tak lagi memerlukan tafsir

Karena semua kembali ke awal yang menyimpan akhir

 

Dan itu tersirat pada Ismail

yang karena mengerti asalnya hujan, asalnya zamzam

ia menyerah untuk sebuah pencerahan

Karena hakikat tak perlu tamsil

 

Bayangkan, kabut ini akan terusir

Seandainya daun-daun di bukit itu serentak mengalir

Sebaiknya ada helai-helai yang setia

membisikkan ruh gurindam yang tak berakhir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ENGKAU

 

Pada secangkir kopi hitam

Terbayang wajahmu

Masih menyanyikan lagu yang dulu

Zaman memang melompat

Tapi lagumu masih ingin kudengar

Untuk menghormati kedalaman hutan belukar

 

Dan cangkir ini, bukan hanya keramik

Tapi jadi bagian dari rongga dadaku

Untuk sebuah dulu yang jadi nanti

Karena nurani tak bisa diganti

Seperti nyawa

Yang tak boleh cair jadi rawa

Tempat berbiak ular dan buaya

 

Dan engkau tetap masih kurindu

Dalam susunan kata tempat memancar air susu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEMBACA ALIF

 

Aku belajar kembali

Membaca alif dalam diriku

Tapi yang kueja tak hanya alif

Juga ba, dan ta, bersama segulung ombak

Karang, dan akar ambacang

Yang semuanya mengetuk senar nadiku

Menjadi selantun lagu

Yang panjang dan tak selesai

 

Dalam begini aku hanya terpaku

Tapi bisik-bisik terus mengepungku

Mengajarku menikmati bisu

Sampai menjelma menjadi sebuah buku

 

Aku kembali belajar menemukan

Mengaji alif dalam bisuku

Langit pangkalnya, bumi ujungnya

Sedangkan aku tak jelas di surau mana

 

Saat aku tak jelas di mana

Tempat-tempat telah lenyap

Kecuali kiblat

 

 

 

 

 

 

 

 

BAMBU

 

 

Suara bambu bernama saluang

Mengambang di angkasa Minang

Sejarah yang maunya diam, bicara juga

Tentang kancil, gajah, dan cakar harimau

Yang membuat orang jadi parau

 

Jangan remehkan bambu

Terutama saluang

Karena hati orang yang lidas oleh sejarah

Menjeritnya lewat saluang

Diiringi bumi yang makin parau

 

Jangan remehkan semua bambu

Meskipun bukan saluang

Karena bambu runcing yang jadi tombak

Telah melahirkan ribuan pandu

Yang diasuh bumi jadi pendekar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEMBACA AKAR

                        Untuk Gus Tf

 

Suatu hari aku harus mengaji akarmu

Menelusuri nadimu menyusu bumi

Bulan yang tak bertanggal dan matahari yang tak berhari

Menyobek kalender agar waktu tak basi

Meskipun jalan tetap berbatu dan kanan kiri masih berduri

 

Karena akar satu saat adalah kaki

Kita berjalan meninggalkan bulan dan matahari

Kita mencari dunia lain yang dirindukan bumi

Untuk kemudian kita menjadi manusia lagi

 

Akarmu yang berpilin, memang harus berpilin

Agar daun-daunmu menyanyikan lagu yang lain

Akarmu yang berjalin, berjalin-jalin

Mengekarkan kekal pada kata-kata

Sampai aku bertanya, sukmaku berjalan atau menjalar?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MENGHITUNG KELOK

                        Untuk Abrar Yusra

 

 

 

Pada kelok pertama, detik-detik sudah lama dimulai

Sejarah tetap terekam, dan sebagian jadi buku

Kau dan aku yang membacanya

Bisa memetik buah yang beda

 

Pada kelok kedua aku bertemu Haji Miskin

Dari kembang senyumnya yang mengisyaratkan kasih

Terpaksa membuat daun pandan

Menjelma pedang, dan pagar mesjid menjadi senapan

Untuk menghargai manusia

 

Pada kelok ketiga, kau dan aku bertengkar

Tentang kelebihan kabut dan awan

Padahal di atas Kabil dan Habil ada Jibril

Tapi kenapa aku lebih berbangga pada bedil

Tak sedikitpun tersentuh

Pada ubun langit yang hamil

 

Pada kelok keempat, seharusnya aku dan kau

Merasa bosan pada lagu lama yang tengik

Yang membuat kita lupa

Bahwa kita sama-sama putra ibunda

 

Pada kelok kelima kita berjabat tangan

Jauh dari suara bising dan dentum

Dalam hutan yang lebat ini

Kita dua lembar daun dari pohon yang sama

Di luar kita banyak senyum yang lebih ranum

 

Pada kelok yang kesekian

Kita nikmati senyum ibunda

Yang tak akan pernah tua

 

 

 

 

 

 

 

 

PADA SEBUAH KOMA

 

 

 

 

Pada sebuah koma yang harus aku jeda sebentar

Tiba-tiba aku terlantar, terkapar

Walau kepala kuangkat untuk sadar

Huruf-huruf sudah pudar

Untung, yang terkari masih akar

 

Yang kutahu kemudian, mulut-mulut yang saling gampar

Lalu gaduh beredar, memacu sekian halilintar

“Ini melebihi tsunami”, katamu

Ayat-ayat kucari dalam diriku

Tak tersua, tak kutemu

Yang ada hanya bajak yang tidur tanpa kerbau

 

Kubajak otakku, kubajak hatiku

Kucangkul jantungku sampai empedu

Letih menindihku berton-ton

Dan aku menyerah dalam lena yang pasrah

Dalam tidur aku tak tahu beda menit dan tahun

Hingga aku kembali tegak berdestar pantun

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MENDERAS

 

 

Menderas sungai dalam sukmaku berkibar bendera di haluan bidukku, aku berdayung dan terus berdayung dengan laju dan lagu sampai aku ketemu bayang-bayangku yang sedang mengaji di atas sebuah batu di tepi lubuk pencerahan. Angin tetap berkibar walau tak bisa meniru bendera. Makna-makna berlepasan dari daun-daun yang berayun. “Engkau?” tanya bayang-bayangku. “Aku,” jawabku dengan wajah yang kaku. “Bukankah kau bayang-bayangku yang selalu muncul tiap aku berkaca?” Bayang-bayang itu memelukku melebihi saudara. Katanya, “Betul! Senang sekali aku bertemu denganmu. Tapi izinkan aku tak ikut engkau ke neraka.”.




Tentang Penyair


D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. 

Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). 

Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron  mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.

 

 

 

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top