Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Muhammad Daffa

0


MELIHAT NEGARA MALAM HARI 


Siaran tivi swasta. Makan malam bersama kesunyian. Di beranda, cinta duduk

Dengan hati yang pincang. Perasaan, diperas dalam botol-botol susu

Kucing-kucing bertamu dan mengetuk pintu. Seorang ibu bersembunyi di baliknya

Menangisi negara yang menculik bapak kita. Sedang apa di sana, kesedihan?

Seorang ibu menikahi malam dan bertobat atas nama kegelapan

Ia yang terpukul atas bayang-bayang sejarah, lelaki yang tak kembali

Pasca huru-hara sembilan delapan. Sedang apa di sana, kesedihan?

 

Surabaya, Juli 2021


 

 

BERSAMA COCA-COLA

 

Budi dan Senin bertemu di sebuah taman

Berkisah tentang kota yang dihajar kemurungan

Senin menawarkannya sebotol Coca-Cola

Seketika terkenang dengan Tuti Artic

Gadis yang pernah singgah dalam sajak Chairil Anwar

 

Tuti Artic tiba-tiba muncul di hadapan Budi

Nimbrung tentang kota yang masih terkapar

Dihajar kemurungan. Tuti Artic mengajak Senin dan Budi

Untuk khidmat sejenak bersama Coca-Cola

 

Coca-Cola naik birahi

Ketika jari-jemari Tuti mulai menggerayangi Senin dan Budi

Ia bayangkan Tuti tamasya ke suatu pulau di pinggiran kota

Mantap mantap bersama Senin dan Budi yang keranjingan cinta

 

Surabaya,  Juni 2021


 

 

TUALANG KHAYALI

 

Kau bertanya padaku tentang penyair-penyair

Yang bepergian ke bulan

Aku hanya tertawa kecil seraya terus memikirkan

Sebenar-benar jalan menempuh yang khayal

 

Surabaya, Juli 2021


 

 

OASE PELARIAN

 

Ayat-ayat menghijau di keningmu, serupa jejak keranda di pertengahan bulan yang khatam.

Aku  mengaji hikayat api pada sepasang matamu, tapi dunia yang kubaca selalu padam

Berulang kali ketika aroma musim menujum buah-buah dosa yang memenuhi dadaku.

 

Kemana kita dibawa, cintaku, selain pertanyaan-pertanyaan yang menolak jawaban.

Kemana tubuh kita akan berlabuh pada akhirnya, selain menjelma teka-teki

Di antara riuhnya tangisan?

Seseorang di kejauhan, barangkali, menunggumu dengan rindu yang latah

 

 Surabaya, April 2021


 

 

ELEGI KARMILA

: Rafii Syihab

 

Karmila dan anjing-anjingnya datang lagi padamu di sebuah ahad. Haji Suri mewanti-wanti dengan ayat

Dan petuah ilahi. Nini Hudan menghujani telingamu dengan celotehan neraka paling jahanam.

 

Tapi kau katakan dengan penegasan tingkat lanjut, Karmila bukanlah si gila

Yang menyaru wali utusan surga. Dan anjing-anjing yang jadi piaraannya

Bukanlah penyair kota yang berjuang mati-matian menegakkan cinta.

 

Karmila mendekat ke arah tempatmu duduk dan meminta seporsi sate ayam Haji Suri

Kau katakan padanya bahwa tokoh fiksi tak seharusnya keluar dari buku harian si pengarang

 

Karmila membantahmu dengan mengatakan bahwa ia dan anjing-anjing itu tengah berkelana

Dari sebuah masa di mana negeri sedang mabuk-mabuknya dengan berita penculikan paksa

 

Surabaya, April 2021


 

 

TENTANG LANGIT YANG PERNAH KITA BAYANGKAN

 

Kita pernah membayangkan langit yang tumbuh sepasang.

Aku menuliskannya sebagai bait-bait sajak

Pada sebuah pagi yang meriah. Aku membayangkan sepasang langit

Memeluk tubuhmu ketika kota mulai mekar oleh riuh dan ancaman.

Orang-orang saling menjauh dari apa yang kau sebut puisi.

Sementara kau dan aku tetap ditulis sebagai melankoli dunia

Yang menolak kecengengan cinta.

 

Aku membayangkan sepasang langit tumbuh di atas kita.

Membaca bayang-bayang kota yang tergesa sembunyi

Ke sebalik doa ibu. Memanggil-manggil namamu

Sebagai kanak periang yang haus akan ragam permainan.

Sepasang langit adalah doa-doa yang saling jatuh cinta

Antara riuh kota yang mengepung kau dan aku

 

Surabaya, April 2021


 

 

PUASA KATA

 

Seorang penyair memilih semadi

Dalam keheningan puisi

 

Bibirnya komat-kamit

Merapal mantra rahasia

 

Konon dengan mantra itu

Segala macam imaji

Bakal berdatangan memeluknya

 

Surabaya, April 2021


 

 

MENDENGARMU SEBAGAI NYANYIAN

 

Aku ingin mendengarmu sebagai  nyanyian yang mengantar tubuhku ke ranjang-ranjang gemetar

Lalu kau biarkan aku meraba kesedihan pada parasmu yang belia, menakar cinta yang disajakkan.

Aku ingin mendengarmu sebagai nyanyian yang terkadang melankoli, menelusup jauh ke relung birahi

Hingga tak bisa lagi kubedakan mana suaramu yang jelas terngiang dan nyala gairah yang terbujur telanjang.

 

Aku ingin mendengarmu meski hari-hari tak berjalan semestinya. Seorang pemulia kata jatuh cinta

Pada puisi yang di pandangan matanya adalah sosok betina haus cinta, haus asmara. Seorang penyair

Jatuh cinta pada seseorang yang ditemuinya di sebuah los pasar dan tak pernah kembali sejak hujan semerah darah.

Aku ingin mendengarmu sebagai lagu-lagu yang mengantar tubuhku ke ranjang-ranjang gemetar

Lalu biarkan aku meraba cinta yang bersembunyi di sebalik tubuhmu: melankoli yang menolak gentar

Ketika relung birahi memekarkan baris-baris puisi. Nyala gairah kian jadi!

 

Surabaya, Maret 2021


 

 

HARI DI MANA AKU MENUNGGU

 

Di seberang sajak ini, kau menghela kata-kata yang dingin tercatat.

Aku membaca sebagian dari musim yang tanggal

Hingga tak kutemukan diri sendiri sebagai tualang tersesat.

 

Kau menungguku jauh di ujung perumpamaan

Diriku lebur dan menghilang di antara berbagai kemungkinan

Namamu luput terucap. Tubuhku tertinggal bersama kalimat sederhana

Yang dinukilkan hujan.  Di seberang sajak ini, barangkali, sejumlah tafsir

Saling buru dan tikam-menikam, terlupa pada jejak pelukan.

 

Surabaya, Maret 2021


 

 

MUSEUM DI KEPALAKU

 

Kepalaku sedang ramai pengunjung. Seorang ibu menulis obituari tentang anaknya yang dijarah hantu-hantu dari kitab sejarah. Seorang bapak menulis obituari tentang mimpi buruknya yang terus mengejar dari kota masa lalu.

Orang-orang lainnya terus saja berdatangan. Memintaku untuk membaca wajah mereka. Memintaku untuk mendengar igauan panjang dari bibir mereka. Igauan-igauan itu memenuhi ruang di kepalaku. Orang-orang terus berdatangan dan menggelar kesedihannya

Sepasang lansia membuka opera dengan tajuk “cinta tak pernah manula”, sepasang kekasih mengadakan panggung pembacaan puisi bersama para penyair ibukota

Kini kepalaku bukan lagi sekadar museum bagi mereka yang ingin singgah berbicara, melainkan kota baru dengan sejumlah kemungkinan-kemungkinan paling musykil, kian mengasingkan diriku yang lain ke dalam jurang kehampaan

 

Surabaya, Juni 2021


 

 

Tentang Penulis




Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Puisi-puisinya dimuat di Koran Tempo, Majalah Mata Puisi,  Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Radar Tasikmalaya, Tribun Bali, Harian Rakyat Sumbar, Harian Analisa, Harian Rakyat Sultra, dan Koran Merapi. Dia mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya. Buku puisi tunggalnya TALKIN (2017) dan Suara Tanah Asal (2018). Dia bergiat di grup daring “Kelas Puisi Bekasi”(KPB).

 

 

 

 

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top