Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Sunu Wasono

0



PADA SUATU SENJA

pada suatu senja ia duduk sendiri  di sudut ruang tak bertuan itu
dibiarkannya pintunya terbuka agar ia dapat menatap sayu matamu
atau melihat langkahmu yang senantiasa bergegas saat kau menaiki
atau menuruni tangga yang entah berapa kali telah kaulalui selama ini
sayang hingga kopi di gelas tinggal sekali seruput kau belum juga melintas
maka rinai hujan di ujung senja itu

dirasakannya bagai hujan salah musim
dan janin puisi yang disemai di hati

untuk menandai kehadiranmu pun akhirnya rontok 

ah, andai saja kau merasakan debar di dadanya saat itu
sayang ...


 

 

JAM

jam adalah mata
adalah lensa  yang bercerita tentang perjalanan kita
menggugah ingatan tentang kisah lama

jam adalah masa
adalah himpunan detik yang berkisah tentang masa remaja
masa ketika aku dan kau masih belia

jika aku mengenangnya
aku bagai hidup kembali di masa muda
masa ketika aku dan kau masih gemar  dimanja

jejak anak muda
apalagi kalau bukan kisah kebengalan remaja
mencari jatidiri lewat bermacam gaya

jumawa adalah mahkotanya
amarah jadi andalannya
makin gila manakala dicerca

jiwa anak muda

adalah jiwa pemberontak

melawan kemapanan

jiwa anak muda
adalah anti pengekangan
menafikan semua aturan

jiwa anak muda

asal protes dan teriak

main gebrak dan main tolak

jika aku mengenangnya
aku bagai hidup di masa itu
masa ketika kita masih dikuasi nafsu

jika aku mengenangnya

aku teringat pada jam yang melekat di tanganmu

maukah kau kini mengembalikan jam itu padaku


 

KETIKA MALAM TERJERANG

kau pun berharap gerimis menitik di bumi
atau setidaknya ada yang menabur angin
ketika malam terjerang dan mengejang
ada kerlip bintang di langit yang samar
tapi jangan kaucari kucing dalam pangkuan dewi sri
di terang bulan seperti yang pernah diceritakan ibumu
ketika kau masih kanak-kanak dulu
sebab bulan pun kini telah lebam terjaring awan

ada baiknya kau menepi dan kembali
agar matamu terhindar dari tangis kartu
yang sejak sore tadi dikocok dan dibanting
oleh tangan-tangan berotot penggilanya
kepul asap dari tuba yang terselip di mulut mereka
sungguh berbahaya bagi laki-laki sepertimu
yang entah berapa ribu sel di tubuhmu
telah meranggas ditebas pedang waktu

menghayati komposisi dengkur anak lanang
dalam cuaca yang kurang ramah dan bersahabat
jauh lebih bermakna daripada menghirup gumpalan asap
yang tak pernah keluar dari mulut dan hidungmu sendiri


 

 

BAHASA CICAK

 

barangkali  cicak-cicak di dinding itu pun telah hafal 

pada jam berapa kau  membuka pintu rumahmu

dan berjalan menuju pertigaan menembus angin malam

mungkin mereka juga tahu kapan kau  menapak kembali

di  teras rumahmu yang amat kaukenal lekuk-likunya itu

setelah kau menyusuri jalan dan gang-gang di perkampungan

sayang kau bukan nabi sulaiman atau angling darma

sehingga tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan

 

ketika kau memasuki rumah seraya mengibas-ngibaskan

rambutmu yang basah karena gerimis malam

barangkali mereka sedang mencemaskan keadaanmu

atau justru menganggapmu sebagai ancaman bagi mereka

ketika  kau meneguk kopi hitam dan mulai menulis

seekor cicak merapat ke gelas yang kauletakkan di meja itu

mungkin ia ingin tahu kau sedang menulis apa

atau barangkali sekadar iseng ingin menyaksikan bagaimana

susahnya kau mencari kata yang tepat saat menulis

 

disaksikan cicak, akhirnya kau pun menulis:

aku ingin jadi  hujan bagi tanah yang  mengerontang

bagi rumput yang meratap karena kepanasan

bagi lumut dan debu yang terlalu lama dipanggang matahari

aku ingin jadi  air bagi sungai yang sekian purnama mengering

yang kehilangan kedung, lubuk,  dan ikan-ikannya

aku ingin jadi  sungai bagi waduk yang lama dinanti petani

yang cemas karena sawahnya tak terairi

 

kau berhenti menulis saat cicak itu menaiki gelas

lalu  kaburlah ia dan menyelinap ke balik tumpukan kertas

ketika tangan kirimu menghalaunya 

terdengarlah cek cek cek cek cek dari cicak lainnya yang bersembunyi

di balik foto perkawinanmu yang menempel di dinding kusam itu

barangkali ia sedang menertawakan tingkah polahmu

atau  sebaliknya mengagumi larik-larik yang baru saja kau tulis

atau barangkali bukan menertawakan atau mengagumi, tapi...

entahlah, aku tak tahu pasti apa yang dimaui cicak-cicak itu

maklumlah aku—seperti kau juga—bukan angling darma

juga bukan nabi sulaiman yang tersohor itu

aku   manusia biasa yang tak paham bahasa cicak

itulah sebabnya dari tadi kubilang mungkin dan barangkali

 

kini jarum jam hampir menunjuk angka dua belas

karena itu berhentilah mengotak-atik huruf dan kata

tak baik membiarkan istrimu menjelajah jagat mimpi sendirian


 

 

TANDA

tak terdengar suara kaki menapak
juga sisa percakapan para peronda
jalanan lengang
gerit roda gerobak penjaja makanan
seakan hilang
malam pun semati gardu tanpa penjaga
hanya angin dan kabut yang tak bisa diam
juga embun
yang menaburkan basah pada debu
di langit tak ada awan
hanya terlihat gugus bintang dan cahaya rembulan
tanda bahwa kemarau masih panjang
dan para penanti hujan
mesti mengulur kesabaran


 

 

JAM BATU

ini jam batu
bukan penanda waktu
pada ini jam
waktu seakan diam
sujud pada benda alam

ini jam batu
bukan penanda waktu
pada jam ini
waktu seakan berhenti
detik dan menit pun hilang arti

ini jam batu
bukan penanda waktu
takkan kautemukan angka
di balik kilap dan kilaunya
maka jangan kaulirik jam ini
saat kau bikin janji

ini jam batu
bukan penanda waktu
saat melingkar di tanganmu
waktu seakan beku
kau pun bagai hidup di zaman batu


 

 

SEANDAINYA

di atas hitam aspal aku melaju bersama debu
tak ada keluh kesah dan gerutu
kuterima ini sebagai bagian dari lakon yang mesti kujalani
pada pertigaan kedua setelah stasiun itu
aku membelok ke kiri dan menyusuri jalan berliku
menembus senja dalam kerinduan ingin bertemu
setelah seharian berkutat dengan kerja dan keringat

beginilah hidup: bergerak dari satu titik ke titik lain
sebelum pada akhirnya kembali bersama malam
ada memang sekali waktu membersit di angan
pertanyaan kecil yang terasa klise dan usang
kenapa hidup ini terpola sedemikian rupa
yang membuat diri ini seakan terpasung
di pusaran rutinitas yang menjemukan
mengulang dan mengulang sesuatu yang sama
dari hari ke hari seakan tak tersedia pilihan

di kala aku berada di titik rawan seperti ini
tiba-tiba aku teringat padamu
lalu pertanyaan-pertanyaan berlagak filosofis pun buyar
hangus oleh bayangan rekah bibirmu dan binar matamu
ah, seandainya malam ini engkau di sini
barangkali gumpalan awan yang tersapu angin sore tadi
kini akan berhimpun dan mencari siasat untuk menjelma hujan
menyejuki kita yang mungkin tengah asyik di beranda

tapi nyatanya aku di sini dan kau di sana
kau tak pernah benar-benar ada di sisiku
kecuali bayangmu yang mondar-mandir di anganku
seandainya aku tak terjebak dalam dunia seandainya
barangkali malam tak akan sebopeng ini


 

Tentang Penulis


Sunu Wasono dilahirkan di Wonogiri, 11 Juli 1958. Menamatkan pendidikan SD hingga SMA di Wonogiri. Tamat dari Jurusan Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1987. Dua belas tahun kemudian (1999), bapak tiga anak ini tamat dari Program Pascasarjana UI, lalu pada akhir 2015 ia menamatkan pendidikan S3-nya di Fakultas Ilmu  Pengetahuan Budaya UI. Sejak 1987 mengajar di Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya UI. Tahun 1992 pernah menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Sejak mahasiswa menulis puisi dan sejumlah esai di koran dan majalah/jurnal. Beberapa sajaknya dimuat dalam antologi Sajak-sajak 103 dan buletin Jejak. Sejumlah buku telah dihasilkannya, di antaranya Sastra Propaganda (2007), Membaca Romantisisme dalam Sastra Indonesia (bersama Sapardi Djoko Damono dkk, 2007), dan Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (bersama Melani Budianta dkk, 2006). Kini sedang mempersiapkan penerbitan kumpulan sajaknya.

 

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top