Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Resensi Mufti Wibowo

0



Selepas Musim Menjauh dalam Persimpangan



Judul                     : Selepas Musim Menjauh

Penulis                 : Ahmad Sultoni

Genre                   : puisi

Tebal                     : xii + 88 hal

Cetakan               : pertama, 2021

Penertbit             : Jejak Pustaka

ISNB                   : 978-623-6424-59-9 


 

Kita adalah gelas kosong yang digerujuk berita dari mulut-mulut teko yang berebut menuang, dari televisi, koran, hingga portal daring, belum lagi suplemen dari media sosial yang membawa watak laten distortif dan disruptif. Celakanya, algoritma media pemberitaan itu bekerja dengan sebuah rumus “menggelikan”: berita buruk adalah berita bagus. Dua kalimat itulah yang terlintas di kepala saya saat dan setelah membaca Selepas Musim Menjauh. Buku puisi Ahmad Sultoni itu saya baca tak lama setelah menghatam Human Kind karya Rutger Bregmen itu. Saya kita akan menarik membicarakan puisi-puisi Sultoni yang memiliki sinisme pada faktor antagonistik “kota dengan sudut pandang Bregman yang sangat optimistik.

Human Kind sejak awal memang sebuah upaya membongkar kedok yang menyebut manusia pada dasarnya jahat. Sehingga, manusia tidak harus diberi perangkat lunak tambahan yang akan mencegahnya berbuat jahat. Dengan cara yang sedikit “norak”, Brugman membongkar sederet kedok “penyimpangan” penarikan kesimpulan atas beberapa studi ilmiah dam kerja pers yang telanjur melembaga dan dimitoskan. Semua itu ia lakukan untuk mendukung gagasan mulianya tentang manusia dan masa depan dunia yang lebih menggembirakan. Sementara itu, Selepas Musim Menjauh terang-terang meletupkan kecemasan-kecemasan khas ke-Timuran dalam menafsir fenomena-fenomena dunia yang dikuasai paham materialisme dengan berbagai “sekte”nya.

Sultoni, dengan pengalaman biografisnya, memproyeksikan potret fenomena dunianya untuk dihadap-hadapkan dengan potret sepia dari “kantong ajaib” memori masa kecilnya. Seperti sorang saintis beraliran konservatif di laboratorium, di ruang kreatif penulisannya, tampak upaya Sultoni untuk mengimpit dua titik dengan lipatan pada garis kudran sebagai cermin. Ia membingkainya, agar tak menjadi liar, dengan narasi di luar teks puisi. Lalu, dia meminjam glosarium alam sebagai material dalam membangun konstruksi puisi yang ditukanginya. Tentu saja, romantisme menjadi titik keberangkatan sekaligus titik tujuan dalam rute perjalanan pembacaan Selepas Musim Menjauh.

Selepas Musim Menjauh membentangkan cakrawala spiritualitas Sultoni. Pembaca bisa menarik garis imajiner yang menghubungkan nada dalam puisi dengan suasana batin Sultoni yang mencemaskan identitas urbannya yang tak akur dengan identitas kulturnya. Ia meragu, dualisme identitas dalam dirinya terus bertarung, tanpa kesimpulan. Inilah yang saya sebut “persimpangan”.

Sultoni, menulis puisi dalam keadaan yang lelah lagi payah. Dia tampak sedang menjaga jarak dari pukat materialisme yang sesungguhnya adalah bagian inhern dunianya. Ia tak ingin menjadi “kawanan” materialistik kota yang baginya cacat spiritual. Gagasannya terikat pada visi profetik yang meromantisasi objek-objek (visual) alam. Dengan begitu, secara sadar, Sultoni mencoba mengikat begitu banyak gagasan di luar teks dalam puisinya.

Pada saatnya nanti, Sultoni akan berlabuh pada sebuah dermaga yang hening, dengan langit sandekala yang agung, di mana ia telah berdamai dengan dunia, dualisme identitasnya. Pada saat itu, puisinya akan berbicara “lebih banyak” kepada pembaca, tanpa keharusan memaksa pembaca mencari perangkat lain di luar puisi itu sendiri. Tentu saja dengan catatan bahwa ia bersetia dengan jalan puisinya hari ini.

Sepenggal puisi “Kota yang Asing” ini kiranya dapat memberi pembaca gambaran sikap etisnya yang merembas ke dalam puisi. Kotamu yang belum tidur/selama beberapa tahun/hanya bisa termenung/yang tafakur/jalanan kotaku pernah berkisah keluh/saat pekat kabut dan angin utara memelukku/aku memaksamu untuk bercerita/di pinggir jalanan raksasa itu/ihwal pohon yang makin langka/ihwal jangkrik yang berhenti mengerik/ihwal jalanan aspal yang makin panas/ihwal jiwa-jiwa yang bersahaja/yang kukenang/sepeda ontel/hinggga becak delman//

 




Tentang Penulis


Mufti Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga; penulis buku Catatan Pengantar Tidur.

(HP/WA 081227802010; Surel: bowoart60@yahoo.co.id; rekening BNI 0506941240 a.n. Mufti Wibowo)

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top