Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Andik Trio Widodo

0

 


Pria Bermata Keruh

Aku heran, kenapa aku tidak mendapatkan bantuan sembako seperti Toni, Wagimin, Sobri, Karyo, Bani, Harsono dan hampir semua mendapatkan bantuan sosial dampak corona. Apa karena aku ini anak angkat Pak Wiryo, juragan mangga terkenal di desa ini? Tapi bukankah setelah menikah aku berpisah dengan keluarga orang kaya itu.

Seharusnya Pak RT mengerti tentang keadaanku. Walau dulu ikut orang kaya dan namaku masuk KK-nya, keseharianku tidak seperti tokoh sinetron yang diangkat anak orang kaya. Aku tidak disekolahkan seperti tokoh sinetron itu. Tidak dibelikan mobil. Motor pun tidak. Aku diangkat anak Pak Wiryo dan setiap hari disuruh mencangkul di sawah, mengurus kebun mangga, juga membantu pekerjaan rumah lainnya.

Kalau musim bunga mangga, setiap hari pundakku dibebani tangki semprot bermotor disel. Sama seperti pekerja lainnya aku berangkat pagi-pagi, namun sebelumnya sudah membersihkan kamar mandi, mengecek persediaan air tandon, dan pekerjaan rumah lainnya. Begitu hari sabtu giliran hatiku teriris-iris. Pekerja lainnya gajian, aku hanya mengurut lengan.

“Kamu itu sudah dianggap anak sendiri oleh Pak Wiryo. Beruntung kamu! Hidupmu sendiri, kedua orangtuamu sudah mati sejak kamu masih bayi, bus yang ditumpangi mereka terperosok ke jurang. Tidak semuanya mati, termasuk kamu dan Rehan,” begitu, kata almarhumah nenek dulu.

Rehan anak sulung Pak Wiryo, karena kecelakaan itu mata kiri Rehan terbentur.  Rehan cacat sebelah mata sampai sekarang. Bola mata kirinya berwarna keruh. Mungkin karena merasa anak sulungnya senasib, Pak Wiryo mengangkatku sebagai anak. Lagian, waktu itu aku adalah bayi yang tidak punya siapa-siapa lagi. Nenekku masih hidup, tapi tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Sakit tahunan.

***

“Berasnya masih cukup berapa hari, dek?” tanyaku pada Wulandari, istriku.

“Tinggal hari ini,” jawabnya pelan. Diletakannya secangkir kopi di depanku.

“Kita pinjam Pak Wiryo lagi?” tanyanya kemudian, setelah duduk di sampingku.

Aku hanya mampu diam dan menyeruput kopi yang dibawa Wulandari. Hutangku pada Pak Wiryo sudah menumpuk. Entah dengan apa kubayar nanti. Sejak memutuskan untuk menikah dan pamit dari rumah Pak Wiryo, kutempati gubuk reot peninggalan nenek. Karena tidak enak hati dengan mertua, akhirnya kuterima tawaran Pak Wiryo. Kupinjam uangnya untuk biaya mengganti atap yang sudah bocor di sana-sini. Dinding dari anyaman bambu juga banyak yang lapuk.

Empat tahun menikahi Wulandari, kami belum juga dikaruniai momongan. Wulandari sering kali mengeluhkan keadaan ekonomi keluarga yang tidak juga kunjung membaik. Ia juga sering iri kalau tetangga mendapat bantuan beras, bahkan uang tunai. Predikat anak angkat orang kaya membuatku seperti ini. Sebenarnya sejak pamit dari Rumah Pak Wiryo, aku ingin menjadi seperti yang lain saja. Bekerja paruh waktu, bebas mau kerja pada siapa. Tidak ada beban dan keharusan untuk melakukan pekerjaan yang lainnya.

“Mas kita harus berbuat apa?” Wulandari membuka bicara. “Aku malu pada Bu Jumi kalau harus mengutang lagi di warungnya. Hutangku sudah banyak di sana. Atau aku ikut Lastri saja, merantau ikut bekerja. Kalau terus seperti ini, aku tidak kuat Mas. Aku malu,” lanjutnya sambil sesenggukan.

Kali ini aku juga hanya mampu diam. Lidahku tercekat dan kaku. Aku merasa bersalah. Aku tidak mampu berbuat apa-apa.

“Mas! Jangan hanya diam!” suara Wulandari parau dan meninggi.

“Iya. Aku akan minta hakku. Minta hasil keringatku puluhan tahun pada Pak Wiryo.”

Dadaku tiba-tiba bergemuruh dan punya keberanian yang kuat untuk meminta hakku pada Pak Wiryo. Hanya itu satu-satunya solusi. Sudah kupikirkan berulang-ulang. Puluhan tahun menjadi anak angkat Pak Wiryo dan aku tidak mendapatkan apa-apa. Hanya biaya pernikahan yang ditanggung, itu pun sangat sederhana dan tidak ada pesta.

***

Kakiku sampai di halaman luas dengan hamparan rumput yang menghijau, kulangkahkan kaki menuju pintu ukiran kayu jati yang mengkilap itu.

“Bapak-Ibuk tidak di rumah, pulangnya besok. Masuklah dulu, kubuatkan kopi,” kata Rehan yang membuka pintu. Aku mengangguk dan masuk.

Setelah berbasa-basi, kuutarakan semua yang bergejolak dalam dadaku selama ini. Rehan tidak banyak menanggapi, hanya sesekali dirangkulnya pundakku. Aku merasa sedikit lega dan tenang. Setidaknya beban dalam pikiranku sudah kusampaikan semua.

“Ini buatmu,” Rehan mengulurkan sejumlah uang padaku.

“Aku tidak akan bicara sama Bapak, itu hasil jualan manggaku sendiri, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan Bapak. Aku akan minta kamu kerja membantuku saja. Anggap saja rasa terima kasihku karena telah membantu orangtuaku dari dulu. Jangan bilang Bapak, nanti salah paham. Kasihan kamu, tahu sendiri watak Bapak sekeras itu.”

Kupandangi pria yang sebaya denganku itu, mata keruhnya yang sebelah kiri seolah berbicara tentang keluguan dan ketulusan. Aku gembira, tapi juga tidak menyangka. Seseorang yang sering kupandang sebelah mata karena punya cacat, ternyata membantuku. Semoga saja Rehan segera mendapatkan jodoh, itu juga yang sering dikeluhkan Pak Wiryo.

Sejak hari itu kehidupanku berubah, Rehan benar-benar berhasil membujuk Bapaknya agar aku kerja padanya saja. Entah dengan alasan apa, buktinya Pak Wiryo tidak pernah mempermasalahkannya.

“Bagus, ya,” tubuh moleknya berputar di depanku. Gaun merah jambu yang baru dibelinya melambai syahdu. “Oh, ya. Tadi Mas Rehan kemari titip ini,” diulurkannya amplop berwarna coklat padaku.

Rehan memang sering ke rumah sejak aku bekerja padanya, saudara tiriku itu rupanya lebih teliti dari Bapaknya. Sekarang dia tidak pernah belanja sendiri keperluan kebun, semua dipercayakan padaku. Mulai pupuk, pestisida, juga upah karyawan.

Minggu depan aku mulai dipercayakan mengirim buah mangga ke kota. Dengan banyak hal yang dipercayakan padaku, Rehan akan punya banyak waktu untuk mengembangkan usaha. Dia berencana membeli kayu untuk peti buah pengiriman. Selama ini Bapaknya selalu beli saat musim panen.

***

“Waduh, pohon tumbang!” seru sopir disampingku.

Malam-malam seperti ini di tengah hutan ada pohon besar tumbang, pasti besok pagi baru dibereskan. Desa kami memang dikelilingi hutan jati. Kami berangkat selepas isya dengan harapan besok pagi-pagi sudah sampai kota.

“Kita putar balik saja,” pintaku kemudian.

Aku turun di ujung jalan gang menuju rumah, sedangkan sopir kuminta mengamankan buah mangga di rumah Mas Rehan saja. Mau bagaimana lagi, situasi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Kulihat jam tanganku di bawah sorot penerangan jalan. Jarum pendek menunjuk angka 11 dan yang panjang tepat di angka 12. Sepi dan dingin kurasakan. Wulandari pasti sudah terlelap. Aku sengaja tidak mengetuk pintu depan yang terkunci dari dalam. Kutuju pintu dapur dan merogoh slot pintu dari luar.

Kudengar lamat-lamat seperti suara orang cekikikan, lalu mengaduh dan semakin terdengar jelas. Kusibak kelambu kamarku yang tanpa pintu. Kulihat sesosok pria sedang menindih istriku. Wulandari yang melihatku kemudian meronta dan menjauhkan tubuh pria di atasnya. Emosiku memuncak dan meninju dengan keras kepala durjana itu dari belakang. Ia mengerang kesakitan dan membalikkan tubuhnya ke arahku. Ditariknya selimut untuk menutupi sekujur tubuhnya. Yang terlihat sekarang hanya kepalanya saja. Matanya yang sebelah kiri keruh dan dingin.

 

 

 

Tentang Penulis


Andik Trio Widodo, seorang petani yang suka menulis fiksi. Lahir dan bertempat tinggal di Nganjuk. Bergiat di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk. WA: 082338101954.

 

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top