Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi H.M. Nasruddin Anshoriy Ch.

0



MANDI BESAR

 

Jakarta sedang mandi besar

Seusai tahun lama dan tahun baru bersenggama

Dalam pesta kembang api dan gelak tawa

Jakarta berkeramas hingga basah kuyup seluruh jenggotnya

 

Gedung-gedung dibangun mencakari langit

Jembatan layang melenggang-lenggok penuh gemulai 

Ibukota terus bersolek dengan merah gincu dan hitam kelam jelaga

 

Tak ada kemacetan lagi di Batavia

Yang ada hanya gaya hidup dan pamer polusi di jalan raya

Knalpot dan klakson menggema di kedalaman jiwa manusia

 

Pohon-pohon rindang ditebang 

Plastik dan sampah menjadi kosmetik 

Orang-orang miskin menjadi alas kaki bagi hiruk pikuk dan lalu-lalang pembangunan Ibukota

 

Jakarta telah sampai pada puncak orgasme

Sorga dan neraka telah seia-sekata dalam meratapi takdirnya

 

Masih adakah makna bagi secangkir kopi pahit pada puisi ini

Ketika Jakarta telah menjelma coklat susu dalam kolam raksasa?

 

Sebelum doa qunut nazilah kubaca

Dan Kapal Nuh hadir membelah Jakarta

Maka mandi junub adalah takbir penanda

 

 

Gus Nas Jogja, 2 Januari 2020


 



SEBAIT DOA

 

Sebait doa kusematkan pada kesunyian malamku

Meratap senyap

Merintih perih

Begitu kudus kuseduh ratap perih doa ini 

Sendiri

 

Tuhanku

Aku bersimpuh dalam riuh dan gaduh 

Merasakan perih dan luka 

Jutaan manusia yang dihempas prahara

 

Aku lupa ini sayatan keberapa

Labirin rindu telah menyesatkan segalanya

 

Tuhanku

Beri aku dan anak-cucuku hidayah

Sebenar-benarnya hidayah

Agar mata air cinta ini terus mengalir dari sumur-sumur doa dan membanjir hingga ke sawah-sawah

Menyuburkan akar padi hingga berbuah berkah

 

Mata air karunia dan kepasrahan yang mengucur dari air wudlu hingga mensucikan iman dan tauhidku

 

Tuhanku

Beri aku dan anak-cucuku sembah

Lima waktu dalam sehari agar noda dan nafsu kehabisan nafas untuk mengajakku berseteru

 

Tuhanku

Ampuni kami atas segala kepanikan ini

Ketakutan yang tak sepatutnya kami takuti

Kepanikan yang tumbuh dari tipisnya iman di dalam hati

 

 

Gus Nas Jogja, 30 Mei 2020


 



MAAF

 

Masih adakah yang memiliki harta karun ini?

Sepatah kata tapi lebih berharga dari dunia seisinya

 

Kucari maaf di setiap diri manusia

Tapi yang kudapat hanya kata usang di bibir saja

 

Dalam perang kata-kata di dunia maya

Ketika ghibah dan fitnah menjadi mercusuar tanpa menampakkan muka

Manakala nyinyir dan kebencian dijadikan berhala

Kata maaf semakin asing dan usang di relung jiwa

 

Di kesucian Idul Fitri ini

Terus kugali ladang maaf di lubuk hati

Lalu dosa-dosa yang mengotori diri ini kujadikan pupuk untuk mawas diri 

 

Kupetik kata maaf pada taman puisiku

Diiringi paduan suara hati dalam keharuman janji merawat harmoni

 

Kini saatnya kupersembahkan sekuntum kata maaf ini untukmu

Secuit cinta tanpa basa-basi pada bait awal dan bait akhir syairku

 

 

Gus Nas Jogja, 23 Mei 2020


 




MALIOBORO

Kepada Umbu Landu Paranggi

 

 

Selamat pagi, Malioboro

Kusapa engkau dengan mata sembab entah kenapa

 

Setengah Abad sudah waktu mengucap rindu

Ribuan bait puisi yang kini tinggal tulang terkubur debu

 

Di bawah patung Sudirman itu

Kau dan aku pernah berdebat tentang cinta

Juga kesetiaan yang kehilangan makna

Mencari Indonesia yang tak kunjung bersua

 

Antara Danurejan dan Ketandan kutandai jejak kaki ini

Suara adzan di Masjid Sulthoni Kepatihan dan riuh transaksi di Pasar Beringharjo

Masih menggema dalam bait-bait rinduku

 

Malioboro tak lagi merayakan mekar bunga kemuning

Pada titik nol kilometer kota Jogja ini

Yang tersisa hanya bara api cinta yang membakar rindu dan puing-puing puisi masa lalu

 

Kapankah gerbang Gedung Agung akan dibuka untuk menyambut kehadiran para pujangga? 

Untuk penyair yang telah lama kehilangan pena?

 

 

Gus Nas Jogja, 10 Juni 2020


 




DOA MANTRA 

Kepada Presiden Penyair 

 

 

Tuhanku

Doa ini kupanjatkan padaMu dengan tekad bulat merindu

Dengan munajat padat di relung kalbu

 

Limpahi langkahnya dengan gemerlap cahaya 

Pada terang-benderang Maha CahayaMu

 

Raihlah lambaian jiwanya 

Yang selalu menggapai ridlaMu

 

Dengan perahu mantra

Dengan layar doa-doa

Dengan ombak sajak 

Dengan gelombang pasang gurindam rindu

Bertahun-tahun sudah ia kibarkan hatinya 

Untuk mendapatkan cintaMu

 

Tuhanku

Petiklah mekar bunga taubatnya

Taubat Sutardji Calzoum Bachri 

Yang terus mengeong mencakar hingga tulang sungsumnya

 

Walau ia pernah tak

Berikan saja semua tak

Bersama seluruh alif-ba-taMu

Sebab yang tertusuk padanya 

Berdarah padaMu

 

Tuhanku

79 tahun usianya 

Semoga tak sia-sia mencari akar kata-kata

Sebab jembatan yang ia susun dengan kata-kata itu 

Akan sampai padaMu juga

 

Sedapkan hidupnya 

Dengan sesedap-sedap cawan madu 

Kitab suciMu

 

Berkahi umurnya 

Dengan mata air ketakwaan 

Dalam laut ampunanMu

 

Hingga mabuk suluknya menarikan kalam cinta 

Dan kemesraanMu

 

 

Gus Nas Jogja, 24 Juni 2020


 




IDUL ADHA 

 

Bahkan Tuhan pun Maha Cemburu

Maka sebelum cinta yang fana menusuk kalbu

Sembelihlah ia dengan takbir bertalu

 

Allahu Akbar!

Padang Arafah adalah saksi abadi segala rindu

Ketika mimpi Sang Nabi datang di malam kelabu

Suara itu nyata dari Sang Maha Puisi

 

Allahu Akbar!

Inikah Muzdalifah itu?

Hamparan batu-batu panas dibakar terik

Kerikil-kerikil cadas yang menjerit pilu

 

Allahu Akbar!

Sampai juga takbir ini di Mina

Perang abadi antara tentara iblis dan manusia

 

Di sini Ibrahim Alaihissalam mengasah pedangnya

Setajam sembilu dikalikan tujuh

 

Di sini Ismail Alaihissalam mengorbankan lehernya

Mewakafkan cintanya akan tetap suci dimata Sang Maha Cahaya

 

Lailaha illallahu Allahu Akbar

Tauhidku dan tauhidmu akan menghadap Allah tanpa perantara

Tanpa kilah dan dalih selain Cinta

 

Walillahilhamd!

Hanya pada Allah segala harap

Hanya pada Allah segala derap

Hanya pada Allah segala tatap

 

 

Gus Nas Jogja, 30 Juli 2020


 

MEMBACA JOGJA

 

Alun-Alun Utara Jogja itu kini sepi tanpa suara

Jejak kaki jutaan peziarah itu pun punah dan tanpa tercatat sejarah

 

Daun-daun beringin jatuh tertiup angin

Pagelaran sepi menyembunyikan rahasia dirinya sendiri

 

Kucari makna keistimewaan itu kembali

Seorang raja sederhana yang mewakafkan tahtanya untuk rakyat dan demi kedaulatan bangsa

 

Kenapa hari ini hanya benang kusut yang masih tersisa?

Keistimewaan yang menggantang asap 

Bahkan gamelan kyai sekati juga kehilangan gema?

 

Sumbu imajiner itu sudah kehabisan nyala api bagi dirinya sendiri

Sebab kitab-kitab tua di Museum Sonobudoyo telah memudar marwahnya 

 

Kucari Sabdatama yang mencerahkan kalbu

Tapi yang kutemukan hanya Sabda Raja yang menambah pilu

 

Kucari Sastra Gending yang menjadi suluh di kegelapan itu

Tapi yang ketemu hanya fatamorgana di segala penjuru

 

Kukenang kembali kencan pertamaku di Masjid Gede Kauman bersamamu

Tiba-tiba gemuruh istighfar mBah Kyai Darwis kembali berkesiur di relung jantung

 

Entah kenapa ada yang berkaca-kaca di bola mata

Kesedihan yang begitu perih membentang dan mengharu-biru

 

Bukankah arah kiblat itu sudah pernah diluruskan dulu?

Kenapa kembali bengkok kini?

 

Di jalan Kusumanegara

Kuziarahi kuburan Pak Dirman

Jenderal Besar yang bergerilya walau ditandu dan hanya dengan satu paru-paru itu 

Kini hanya tinggal nisan berselimut debu

 

Kemana pejuang tanpa pamrih itu mewariskan cinta dan rindu?

Jenderal berbintang lima yang mati muda 

Yang di dadanya selalu tersemat lambang bulan bintang dari tembaga

Tapi namanya seharum galih cendana

 

Tak jauh dari sana

Berbaring jasad Ki Hadjar Dewantara

Pejuang Panca Dharma dan pendidik bangsa itu telah menajamkan pena jiwanya di Tamansiswa 

 

Kucari makna Tut Wuri Handayani dalam kecerdasan akal budi

Tapi yang kutemukan hanya birokrasi pendidikan yang berliku-liku dan berduri-duri

 

Kucari jantung hatiku di kota ini

Hamemayu Hayuning Bawono

Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh

Hanya tinggal romantisme di masa lalu

 

Membaca Jogja aku kehilangan kata

Kebudayaan macam apa ini?

Peradaban palsu dan penuh basa-basi para priyayi

 

Iklan-iklan apa saja telah menghapus jejak pujangga

Sampah visual berkibar-kibar sesuka hatinya di seantero kota

Tak ada keluhuran budi yang bisa kupetik di advertensi ini

 

Inikah yang disebut Jogja berhati nyaman itu?

 

 

Gus Nas Jogja, 

1 Suro 1442, sesudah Mubeng Beteng dan Tapa Bisu


 




BERITA DUKA PAGI INI

Ode Buat Iman Budhi Santosa

 

Iman telah pergi terlalu pagi

Bersama Budi hijrah ke alam sunyi

Akankah hidup Santosa akan ikut terkubur juga?

 

Kematian tak pernah mengetuk pintu

Tak juga mengucap selamat pagi

Tapi bait puisi selalu siaga membaca tanda

 

Karena itulah setiap tanya pasti kujawab 

Walau dengan diam tanpa berkata-kata

 

Kamis pagi di bulan Desember ini

Tepat tanggal 10 Masehi

Pada tahun kembar yang membuat jantung berdebar

Malaikat Izrail datang mengucap senyap

 

Langit di atas Jogja mengheningkan cipta

Saat Suta Naya Dadap dan Waru mengucapkan belasungkawa

 

Kematian datang dan pergi tanpa kata-kata

Tapi bait-bait puisi selalu tabah dan setia menjaga makna

 

Pagi ini kusembahyangkan jasad kaku itu dengan jiwa nestapa

Bersama rintih doa yang kupanjatkan diam-diam dalam semerbak bunga

 

Selamat jalan, Mas Iman

Kepergianmu telah meninggalkan segala Budhi di kedalaman hati

Semogalah hidup Santosa bersamamu di alam baka

 

 

Gus Nas Jogja, Kamis 10 Des 2020






Tentang Penulis



H.M. Nasruddin Anshoriy Ch. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.


Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.


Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top