Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen: Ilda Karwayu

0

 

Anak-anak Anjing Itu Mungkin Akan Mati Juga

 

Dibangunkan oleh salakan anjing berulang-ulang, Joana menggerutu sepanjang langkahnya menuju sumber suara. Di depan pintu apartemennya, seekor anjing betina berdiri di samping tong sampah setinggi tubuh belangnya—putih tulang campur coklat tua. Dari balik tong sampah, tersembullah ekor-ekor kecil disusul suara gonggongan yang lemah. Joana tahu anjing betina itu beranak lagi, dan dia seketika cemas sebab anak-anak anjing itu mungkin akan mati juga.

Tak diketahui persis kapan anjing-anjing itu pertama kali datang ke gedung apartemen tua berlantai delapan tempat Joana tinggal; pun selama ini mereka tak benar-benar menetap, hanya sesekali datang berkeliaran. Bila mereka datang, yang rajin memberi minum dan makan hanyalah Joana dan Pak Onyong, pemilik gedung apartemen. Joana sering membelikan anjing-anjing itu susu kambing mentah dan ikan pindang.

Pernah suatu hari Joana mengumpat seorang dokter hewan yang menjelaskan bahwa pencernaan anjing peliharaan tak cocok dengan ikan pindang. Setelah mengumpat, Joana langsung mengganti saluran TV dan menggerutu. “Mereka kan bukan peliharaan,” dia diam sejenak, “tapi bukan hewan liar juga,” kemudian diam kembali, “tapi buktinya mereka baik-baik saja, tidak muntah-muntah, apalagi diare!”

Sambil menatap para anjing, Joana mengenang hari-hari tertentu yang tak pasti kapan: Joana mendapati para anjing menggonggong dan bergerak lincah di depan pintu apartemennya. Ekor mereka yang bergoyang-goyang membuat Joana tersenyum gemas; dan entah bagaimana, rasa lelah karena seharian bekerja seketika lepas dari tubuh Joana—seperti ditarik habis oleh suara gonggongan yang menyambutnya.

Biasanya setelah itu mereka akan makan bersama di depan pintu apartemen Joana di pojok gedung lantai empat. Pada momen seperti itu, tak jarang Joana jadi rindu suasana makan malam di rumahnya. Meski Joana tak terlalu akrab dengan keluarganya, dan tak punya keinginan juga untuk mengakrabkan diri, perasaan rindu yang melankolis semacam itu toh cukup dinikmatinya.

Joana tersentak; kini kesadarannya benar-benar utuh. Ditatapnya lekat ketiga anjing yang berada di depan apartemennya, “Ini kan tengah malam!” Joana terbelalak. Jika mereka bisa naik ke lantai empat jam segini, berarti pintu berterali di depan tangga di lantai satu tidaklah terkunci, pikir Joana, dan hal seperti ini belum pernah terjadi selama dia tinggal di sana. Akhirnya Joana mengeluarkan potongan pindang dan semangkuk daging cincang sisa makan malamnya guna menenangkan si anjing betina.

Joana lekas mengunci pintu apartemennya, lalu sambil mengerjap-ngerjap melangkah pelan menuju tangga. Dia tak tahu sekarang persisnya pukul berapa, tapi yang jelas udara begitu menusuk tulang; dan lupa mengenakan jaket adalah topik gerutunya sepanjang jalan. “Kalau aku kembali ke apartemen, sama saja dengan mengalihkan perhatian, anjing-anjing itu nanti malah ribut. Merepotkan!”

Suatu hari, setelah makan malam bersama, Joana mengajak para anjing ke apartemen utama—di lantai satu—tempat Pak Onyong tinggal. Pak Onyong adalah orang yang penyayang dan perhatian meski sering marah-marah. Joana tak pernah keberatan meladeninya sebab kebiasaan Pak Onyong itu mengingatkan Joana pada ayahnya yang telah lama meninggal.

“Saya tersinggung! Kamu pikir wajah saya ini pasaran?!” Semprot Pak Onyong tatkala Joana mengatakan bahwa wajah Pak Onyong mirip dengan wajah ayahnya. Kemudian, sambil tangan kanannya mengelus-elus si anjing betina dan tangan kirinya berlaku sama kepada anak-anak anjing, laki-laki paruh baya itu bercerita tentang betapa tampannya ia ketika muda; banyak perempuan yang mengiriminya surat cinta, mengajaknya menonton layar tancap, dan lain-lainnya. Meski begitu, Pak Onyong ternyata tak menikah dengan salah satu dari mereka, melainkan dengan perempuan pilihan keluarganya—yang sebenarnya masih sekerabat.

Joana tertegun dan tiba-tiba wajah isti Pak Onyong melintas dalam pikirannya. Sejak menyewa apartemen di sana, Joana hampir tak pernah mengobrol dengan istri Pak Onyong. Mereka sesekali bertemu, tapi sekadar saling mengangguk. Joana tahu bahwa istri Pak Onyong telah lama terserang stroke, membuat sebagian tubuhnya lumpuh dan ia pun jadi sulit memahami perkataan lawan bicaranya.

“Dulu dia sering mengeluh kepalanya nyeri. Terus menerus. Tubuh bagian kirinya juga sering tiba-tiba mati rasa, sampai jatuh tiba-tiba! Lalu bibirnya miring ke kiri, seperti kesurupan,” kenang Pak Onyong. “Jadi sekarang ia keluar hanya sekitar pukul sembilan pagi, berjemur saja. Setelah itu, selalu diam di kamar, nonton TV.”

“Jadi itu sebabnya Bapak pindah ke lantai satu? Biasanya kan pemilik tinggalnya di lantai atas sana.” Telunjuk kanan Joana menunjuk ke atas. Dengan penampilan—yang menurut Joana—kumal itu, dan tinggal di lantai satu, siapa yang menyangka Pak Onyong adalah pemilik apartemen?

Pak Onyong mengangguk pelan. Dipandanginya para anjing lekat-lekat.

Sesampainya di lantai dua, nostalgia Joana terputus sebab pandangannya tertuju pada pintu apartemen Wak Dollah yang di depannya terdapat dua pasang sepatu ukuran kaki anak-anak. Dia tertegun, mengitari padangan ke sepanjang lorong; dari lima apartemen di lantai dua itu, hanya tempat Tante Mioki dan tempat Wak Dollah yang tong sampah di depan pintunya berantakan. Sejurus Joana menggerutu, “Sesibuk apa mereka sampai tak sempat merapikan tong sam...” Tiba-tiba terdengar suara pintu apartemen dibuka. Joana mengunci tubuhnya secara awas dan melihat secercah sinar dari pintu apartemen Tante Mioki.

Pak Onyong, dengan senter perak bertali biru—yang meliliti tangannya, keluar dari apartemen Tante Mioki. Ekspresi wajahnya sulit dijelaskan.

“Kamu ngapain di luar jam segini?”

Joana terbata-bata merespons, “Anjing-anjing itu naik ke atas, Bapak nggak kunci pintu bawah?”

“Astaga! Ayo kita periksa!” Pak Onyong bergegas menuju tangga turun. Joana masih terpaku sebelum akhirnya mengekor di belakang, tapi kemudian memutuskan untuk mendahului Pak Onyong karena embusan angin terasa mulai kencang.

“Saya naik ambil jaket dulu, ya, Pak. Dingin!”

Sepanjang perjalanan naik menuju apartemennya, Joana menggerutu, bertanya kepada diri sendiri, mengapa dia melakukan semua ini, padahal tak satu pun orang menyuruhnya, tidak juga Pak Onyong. Sekarang pikirannya bercabang ke orang tua itu, apa yang dilakukannya di apartemen Tante Mioki jam segini? Dan untuk apa senter itu?

Sambil menguap Joana membetulkan posisi kerah jaket parasutnya, menutup pintu apartemen, lalu kembali menuju tangga turun. Tiba di lantai dua, Joana celingak-celinguk, dan pandangannya berakhir di pekarangan belakang apartemen utama—satu-satunya area gelap di gedung apartemen itu.

“Joana, mau ke mana?”

“Eh, goblok!” Umpatan Joana menggema seantero lantai dua gedung apartemen. Dilihatnya Tante Mioki, di bibir tangga menuju lantai satu, mengangkut karung goni berwarna merah pekat yang tampak berat. Gaun tidur satin mencuat sedikit dari mantel tebal berbulu warna putih tulang yang dikenakan Tante Mioki.

Sebab selalu gagal menjelaskan ekspresi Tante Mioki ketika ia sedang mengelus-elus anjing-anjing, Joana sempat berpikir isi karung itu adalah bulu-buju anak anjing. Bukan mustahil pula itu terjadi bila mengingat berita di TV yang akhir-akhir ini makin tak masuk akal. Kekhawatiran Joana atas anak-anak anjing itu merembet ke peristiwa beberapa  waktu silam: tiga anak anjing sebelumnya ditemukan mati dengan usus terburai. Induk anjing dan satu anaknya tak berada di sekitaran apartemen.

“Saya sudah cari, tapi belum ketemu,” lapor Joana saat itu kepada Pak Onyong. Sekejap, Pak Onyong melapor pula kepada Joana: ia baru saja mendamprat Wak Dollah, penghuni lantai dua yang merupakan orangtua dari anak-anak yang memukuli habis tiga anak anjing.

Joana menangis sesegukan sambil terus menggali tanah di belakang apartemen utama, sedangkan Pak Onyong sibuk bercerita bagaimana ia menggedor-gedor pintu Wak Dollah setelah dibisiki Tante Mioki—penghuni lantai dua juga—yang katanya memergoki anak-anak Wak Dollah memukuli habis tiga anak anjing. Mendengar nama Tante Mioki disebut, Joana mengusap air matanya dan sejenak berhenti menggali. Tante Mioki kerap bertemu para anjing, dan setiap kali bertemu para anjing ekspresinya sulit dijelaskan. Mantel bulunya selalu bersentuhan dengan bulu para anjing, sehingga membuat mereka tampak menyatu. Joana ingin bertanya lebih jauh soal bisikan Tante Mioki kepada Pak Onyong, tapi urung.

“Tadi Bapak sempat bicara sama anak-anak Wak Dollah?”

“Mana sempat! Dollah yang badannya seperti raksasa itu pasang badan dan tak membolehkan anak-anaknya keluar ketemu saya.” Pak Onyong tak kuasa menahan air matanya ketika memindahkan tubuh-tubuh anak anjing ke liang kubur. Joana, yang tadinya sudah berhenti menangis, jadi kembali sesegukan. Tak sekadar teringat anak-anak anjing yang naas, Joana melihat Pak Onyong seolah-olah sedang menangisi kematian anaknya. Seketika terbesit dalam pikiran Joana, jika kelak Pak Onyong dan istrinya meninggal, siapa yang akan mewarisi gedung ini? Dia ingin bertanya lebih lanjut soal itu kepada Pak Onyong, tapi urung.

“Bapak nggak usir Wak Dollah?”

“Inginnya, tapi...” Pak Onyong mengelap kedua tangannya ke kaus oblong merahnya, membuang ingus, mengusap air mata, lalu mengelap tangannya lagi ke sarung kotak-kotaknya yang sudah sangat lusuh. “Kerja cuma sebagai satpam supermarket begitu, mana sanggup dia bayar sewa apartemen lain di kota ini. Saya sudah puluhan tahun mengurusi gedung warisan ini.” Kakinya menginjak-injak pelan tanah gembur kuburan para anjing, kemudian berjongkok meletakkan batu seukuran genggaman tangan di atasnya. “Saya tahu fluktuasi harga properti di kota ini. Makanya kamu nonton berita! Jangan sinetron saja isi TV-mu itu!”

Joana sering berpapasan dengan Wak Dollah di stasiun; ia berseragam satpam dibalut jaket rompi berbahan parasut hitam. Meski hanya bertegur sapa seadanya, Joana tahu Wak Dollah tinggal bertiga saja bersama anak-anaknya di apartemen itu. Pernah suatu hari Joana ingin bertanya kepada Pak Onyong, ke mana istri Wak Dollah, tapi urung.

“Itu karung apa, Tante?” Tanya Joana.

Tante Mioki tertawa kecil kemudian berdadah—tanpa menjawab pertanyaan Joana—sambil berjalan menuju apartemennya. Lenggak-lenggok pinggul Tante Mioki membuat senter perak dalam mantelnya tersembul; tali birunya menjuntai-juntai.

 

2021

 


 

Tentang Penulis

ILDA KARWAYU, menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Buku puisi mutakhirnya: “Binatang Kesepian dalam Tubuhmu” (GPU, 2020). Belajar menulis kreatif di Komunitas Akarpohon Mataram, Lombok, NTB. Sehari-hari mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI).  No. HP : 0822-3548-3610

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top