Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Puguh Windrawan

0



ALANG-ALANG CAWANG

: Ainun Fadilah

 

 

Cawang penuh alang-alang.

Roda kehidupan berputar meski pagi masih begitu muda.

Riak lampu malam juga belum dipadamkan.

Dan manusia-manusia itu sudah bergegas.

 

Pagi yang gerimis di Cawang. Aku hanya bisa menatapnya dari sudut jendela.

Terjebak di sebuah ruangan kotak.

Menatap reruntuhan air dan kegaiban kemacetan dari arah atas.

Tetiba semua ini kemudian menjadi sepi. Hening dan sama sekali tak mengasyikkan.

 

Tak ada keramahan. Tak ada suara jangkrik. Tak ada lambaian tetumbuhan

Tak ada suara yang biasanya aku dengar.

Hanya ada sepatu berdesakan. Hanya ada jeritan tak berkesudahan.

Sepertinya waktu nyata-nyata habis di jalan.

 

Apakah itu yang dinamakan kehidupan?

Tergencet dalam suasana yang absurd dan celoteh pengemudi yang tiada habisnya?

Hidup itu sebenarnya hanya meluangkan waktu untuk menghadap Tuhan

Dan itupun sangat susah. Aku hanya bisa berdzikir. Untuk kemudian hilang.

 

Sebenarnya apa yang kita cari di dunia ini?

Materi?

Ketulusan dan keikhlasan? Ataukah kedamaian?

Atau malah hanya sebuah pengakuan dari orang lain bahwa kita sebenarnya juga manusia?

 

Jangan-jangan kita hanya mencari rindu yang selama ini telah hilang

Hilang terpekur di sudut-sudut jalanan

Tercabik hawa nafsu yang entah

Terbelenggu pikiran akan pekerjaan yang sama sekali tak pernah mencapai batas

 

Dan ketika aku menulis tentang: rindu

Entah mengapa

Aku hanya ingin pulang dan makan malam bersamamu.

Hanya itu.

 

 

Cawang, 17 Februari 2017

7:31 WIB







DUA LAKI-LAKI YANG SEDANG MEMBACA BULAN

: Rudatin Windraswara dan Pradita Windrasukmono

 

Aku berada diantara dua punggung laki-laki

Punggung yang dewasa: pertanda kematangan

Mereka memang beda usia, hanya saja sama-sama berkacamata

Mereka saudara

 

Aku berada diantara dua punggung laki-laki

Yang menyaksikan bulan setengah telanjang

Menggumamkan keadaan yang belum sepenuhnya malam

Menyaksikan hitam yang terpapar cahaya dari sudut-sudut kacamata

 

Aku berada diantara dua punggung laki-laki

Yang sedang membaca bulan

Mencercapi pertanyaan sekaligus pertanyaan

Menilai keganjilan

 

“Mengapa bulan itu datang ketika banyak orang menikah?” tanya salah satunya

“Mungkin bulan adalah simbol perayaan dan kegembiraan,” jawab satunya, yang lebih tua

 

Sementara aku terdiam di belakang punggung mereka

Aku sama sekali tak memahami bulan sedari dulu

Tak pernah mengerti; mengapa bulan bisa membuat bahagia

Tak pernah juga diberitahu; mengapa bulan sampai rela menjatuhkan dirinya hingga setengah telanjang

 

Aku hanya menyaksikan bulan bukan sebagai apa-apa dan siapa

Sampai dengan detik ini, dimana aku melihat bulan dari punggung mereka

Dua laki-laki yang berusaha untuk membaca bulan

Berusaha menafsirkan bulan sesuai dengan kemampuan mereka

 

Sampai kemudian dini hari muncul tanpa tanda

Ada kokok ayam berdendang lirih, menyisir telinga sebelah kanan

Akhirnya kedua laki-laki itu pamit undur hendak tidur

“Besok aku akan mengantarkanmu ke pelaminan,” kata salah seorang laki-laki itu kepadaku

 

“Terima kasih,” aku menjawab dengan keikhlasan yang paripurna

 

Bayangan mereka hilang menuju pintu masing-masing

Aku tertinggal sendiri, terduduk menepi bersama bulan yang juga sendiri: tanpa bintang

 

Purbalingga, 13 Mei 2017







ENGKAU DINIKAHI LAKI-LAKI YANG MENCINTAI BUKU-BUKU

 

 

Aku membayangkan parasmu

Ketika tahu, ternyata lelaki yang menikahimu juga mencintai buku-buku

Jumlahnya lebih banyak dari baju yang ia punya

Lebih banyak dari perkakas rumah tangga dan setara dengan harga rumah yang ditempatinya

 

Aku tahu

Sesuatu yang pasti akan kau tanyakan pada lelakimu

Masih berkutat pada buku

Dan yang pasti itu akan menyandera kupingku

 

“Apakah engkau sudah membaca semua bukumu?’

 

Aku membayangkan, aku akan menjawab dengan anggukan kepala

Sementara engkau mengernyitkan dahi; tanda tak percaya

Hatimu menyelinap dan membasahi buku-buku itu dengan tanda tanya

Buku-buku itu hanya terdiam, tak bergejolak

 

“Apakah engkau bisa mencari uang dengan semua bukumu itu?’

 

Aku kembali membayangkan, aku menjawab dengan anggukan kepala

Sementara bibirmu terkatup; tanda kebingungan mau berkata apa

Keringatmu menyiram keras ke arah buku-buku

Dan seperti sediakala, buku-buku itu tak memberontak

 

“Apakah aku hidup bersamamu? Ataukah aku akan hidup dengan buku-buku?”

 

Aku membayangkan, aku akan menjawab dengan lirih.

Setelah sebelumnya terdiam sembari memegangi buku-buku

Setelah sebelumnya terpagut judul-judul buku yang entah mengapa berterbangan

Memegangi pundakku. Mengelilingi kepalaku. Menjadi jembatan antara aku dan dirimu

 

“Tuhan menyuruh kita untuk membaca,” kataku

 

Aku membayangkan

Engkau diam. Aku diam

Buku-buku yang menjadi jembatan antara aku dan dirimu itu kemudian menyergah ke atas

Membentuk hati, berwarna merah jambu: warna kesukaanmu






Tentang Penulis



PUGUH WINDRAWAN. Lahir di Wonosobo, pada 9 Desember. Sejak remaja sudah mencintai dunia kepenulisan dan sastra. Pernah menjalani profesi sebagai wartawan di Majalah GATRA Biro Jogja-Jawa Tengah.  Beberapa karya sudah dia tulis, diantaranya adalah artikel “Pondok Pesantren Bambu Runcing” dalam bunga rampai jurnalistik berjudul Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras (GATRA dan Wahid Institue, 2006), Filsafat Hukum (Total Media, 2014). Untuk tema populer, buku yang ia tulis antara lain; Change Your Mind (Cakrawala, 2010), Miskin Bahagia, Kaya Apalagi (KataHati, 2010), Seni Mendesain Hidup (KataHati, 2011), Memburu Surga; Meraih Keimanan Sejati Lewat Keterbatasan Pengetahuan Manusia (Galleri Ilmu, 2012), Pillow of Love (PING!!!, 2013). Salah satu buku biografi juga pernah ia tulis, berjudul Alkostar: Sebuah Biografi (Kompas, 2018).

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top