Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Nizar Machyuzaar

0

 


Domain xyz.puisi (Bagian 1)
Mendaras/Komposisi/Senja Karya M. Irfan Hidayatullah 

Oleh Nizar Machyuzaar*

 

 

KATA | Puisi mirip teka-teki dalam bidang datar dua dimensi yang dibentuk koordinat X dan Y.  Ordinat X dapat dianggap pertimbangan dan perimbangan pemilihan kata dan hubungan antarkata yang populer diistilahkan diksi. Dari ordinat X kita mendapatkan kata dan hubungan antarkata dalam garis horizontal sebagai sintagma kata. Oridnat X yang diistilahkan dengan sintagma puisi merupakan tindakan konkret penyair melalui ekspresi simbolik tanda bahasa yang kemudian dikenal dengan istilah larik puisi.

 

Sementara itu, ordinat Y dapat dianggap pertimbangan dan perimbangan jejaring kosakata dan kosamakna yang dimungkinkan ada dalam sebuah bahasa, yang melingkungi sebuah diksi, sintagma puisi, atau larik puisi dibuat. Jejaring tersebut populer diistilahkan dengan istilah style ‘gaya bahasa’. Dari ordinat Y kita mendapatkan kata  dan hubungan antarkata dalam garis vertikal sebagai paradigma puisi. Di dalamnya terdapat asosiasi ‘paradigma selingkung’ yang menandai jejaring teks dengan ikatan makna tak mengubah sintagma puisi dan dissosiasi ‘paradigma bukan selingkung’ yang menandai jejaring teks dengan ikatan makna mengubah sintagma puisi.

 

Sebagai bidang datar dua dimensi, puisi menyertakan ordinat X dan Y dalam hubungan tanda kebahasaan yang melahirkan kode bahasa ‘pemahaman dan pengetahuan atas sistem tanda kebahasaan dalam kesadaran kolektif para pengguna bahasa’. Kurang lebihnya, kita dapat mengatakan bahwa kode bahasa ini menjadi dasar pembentuk teks. Satuan kebahasaan kata menjadi satuan kebahasaan terkecil yang sudah berorientasi pada makna. Lalu, satuan kebahasaan kata mendapat perluasannya pada hubungan antarkata yang disebut dengan frasa dan klausa.

 

KALIMAT | Sementara itu, kalimat sebagai ekspresi simbolik penyair dengan pertimbangan dan perimbangan diksi dan gaya bahasa membentuk larik puisi. Hubungan antarlarik dalam kesatuan gagasan ‘kohesi’ dan kepaduan makna ‘koherensi’ menyusun bait puisi. Demikian pun bait dan hubungan antarbait menyusun keutuhan sebuah teks puisi. Di dalamnya terbakukan tema dan amanat dengan nada dan suasana yang khas. Dengan kata lain, kalimat atau larik puisi menandai pertemuan koordinat X dan Y  dengan Z, yakni penyair.

 

Ordinat Z tidak begitu saja ternoktah pada bidang datar dua dimensi X dan Y. Ordinat Z menandai seseorang yang dengan kesadaran menuangkan gagasan dengan pelabelan tulisan atau teks bernama puisi. Hasilnya, pertemuan ordinat X, Y, dan Z adalah bangun datar dua dimensi bernoktah penyair yang membentuk ruang tiga dimensi yang, kemudian, kita sebut dengan teks puisi. Bolehlah kita istilahkan bahwa pertemuan ketiga ordinat tersebut membentuk domain xyz.puisi yang membakukan peristiwa dan makna bahasa. Singkatnya, domain xyz.puisi menandai manusia yang menyejarah dalam ruang dan waktu yang terbakukan dalam wacana ‘bahasa sebagai peristiwa’.

 

Dari andaian ini, kita dapat menganggap bahwa domain xyz.puisi dibangun dari sintagma dan paradigma teks puisi yang tersusun dalam larik dan hubungan antarlarik puisi. Artinya, larik adalah satuan terkecil pembentuk teks puisi. Larik dapat dianggap sebagai disposisi teks (atau sebuah keputusan membuat teks atas pemerolehan pengalaman puitik penyair). Dengan semestinya, larik sebagai sintagma teks puisi menyertakan paradigma teks dalam posisi ‘hubungan’ dan oposisi ‘pertentangan’ antarteks (baca: antarlarik) yang dimungkinkan dalam ekologi teks suatu peristiwa bahasa sehingga disposisi teks dapat tercipta.

 

Sampai di sini kita dapat membedakan sintagma dan paradigma kata dalam tanda kebahasaan yang menjadi seperangkat pengetahuan bersama suatu komunitas pengguna bahasa. Sintagma dan paradigma kata mendapat perluasannya dalam satuan kebahasaan frasa dan klausa sebagai bahan baku  pembentuk larik. Dari sintagma dan paradigma kata, teks puisi disusun dalam larik dan hubungan antarlarik dengan menyertakan kode bahasa.

 

Sementara itu, sintagma dan paradigma  teks puisi lebih ditempatkan sebagai tindakan konkret berbahasa (wacana) penyair yang dibentuk dari satuan kebahasaan kalimat. Satuan kebahasaan kalimat ini menjadi satuan kewacanaan terkecil pembentuk teks. Dari sintagma dan paradigma teks, teks puisi menyediakan jalan untuk penafsiran khas dalam pemodelan ragam teks yang menyertakan kode teks, yakni kode puisi. Dengan demikian, larik dapat dianggap sebagai satuan kewacanaan terkecil pembentuk teks puisi. Di dalamnya terdapat diksi dan gaya bahasa sebagai tindakan berbahasa penyair.

 

REFERENSI DAN MAKNA | Selanjutnya, domain xyz.puisi mensyaratkan adanya domain sebelumnya dan mengandaikan adanya domain sesudahnya. Hal ini berhubungan dengan pembingkaian kembali teks puisi melalui wacana saat (1) pemerolehan pengalaman puitik penyair, (2) saat terbakukan dalam teks puisi, dan (3) saat diresepsi penanggap[1]. Ketiga tahap ini juga menandai referensi dan makna teks puisi yang tidak identik bagi ketiganya. Singkatnya, pada tahap pertama, pembaca tidak hadir saat teks ditulis.

 

Referensi dan makna teks saat pemerolehan pengalaman puitik penyair berhubungan dengan makna subjektif penyair. Namun, kedua hal ini telah terjarak dengan teks puisi karena teks telah membakukan referensi-diri dan makna otonomnya melalui tanda kebahasaan yang menyertakan kode bahasa dan strategi literer pemodelan teks yang menyertakan ragam teks sebagai kode teks puisi. Singkatnya, pada tahap ini, penyair tidak hadir saat teks dibaca.

 

Pada saat dibaca atau diresepsi penanggap, teks telah siap menyediakan jalan penafsiran bagi penanggap karena teks telah mencukupkan dirinya dalam dua hal, yakni referensi-diri teks dan makna otonom teks. Jalan penafsiran yang dibangun kode bahasa dan kode teks puisi mengantarkan pembaca pada pemerkayaan pengetahuan penanggap. Pertemuan antara teks dan penanggap ini diantarai oleh kode sosial dan budaya yang terbakukan dalam referensi-diri teks dan makna otonom teks serta pemahaman dan pengetahuan penanggap yang khas dan relatif.

 

Dari pembahasan singkat ini, dapat dikatakan bahwa dalam sintagma dan paradigma kata, kita menemukan bidang datar dua dimensi yang dibentuk ordinat X dan Y sebagai kode bahasa, yakni seperangkat pengetahuan atas tanda kebahasaan yang disepakati bersama oleh antarpengguna bahasa dalam kesadaran kolektif para penggunanya. Dari sintagma dan paradigma tanda kebahasaan kata (dengan perluasan frasa dan klausa), teks puisi menyediakan jalan penafsiran bagi penanggap sehingga logika makna puisi dapat berterima dengan penanggap.

 

Sementara itu, dalam sintagma dan paradigma teks, kita menemukan bidang datar dua dimensi X dan Y bernoktah Z yang menandai ruang tiga dimensi karena kehadiran penyair. Satuan kebahasaan larik (dan bait) menjadi unsur pembangun teks puisi yang membakukan peristiwa dan makna puisi. Dengan kata lain, teks puisi dianggap mampu mengantarkan penanggap pada referensi-diri teks dan makna otonom teks yang berhubungan dengan sesuatu yang melampaui bahasa dan teks. Kurang lebihnya, kita dapat mengatakan bahwa sesuatu yang melampaui bahasa dan teks tersebut adalah bentuk-bentuk pengetahuan dan pengalaman hidup yang terbakukan teks puisi. Untuk sampai pada andaian ini, kita mesti memahamkan kode sosial dan budaya yang terbakukan di dalam teks.

 

Akhirnya, apa yang dapat kita temukan dari pembahasan singkat tentang domain syz.puisi? Dapat dikatakan bahwa domain tersebut adalah sintagma dan paradigma teks puisi yang dibentuk  satuan kebahasaan larik puisi. Di dalamnya terbakukan peristiwa dan makna puisi yang menyertakan pengalaman dan pengetahuan hidup. Jalan penafsiran atas domain ini diantarai oleh kode bahasa, kode teks, dan kode sosial-budaya[2]. Kita tidak membayangkan ketiga kode tersebut dalam gradasi penafsiran yang terpisah masing-masing, tetapi dalam gradasi penafsiran yang dialektis, beririsan, dan saling melengkapi.

 

SINTAGMA | Buku kumpulan puisi berjudul Mendaras/ Komposisi/ Senja terdiri atas 96 puisi. Setiap puisi adalah domain xyz.puisi. Jika kita menghubungkan noktah-noktah Z pada setiap puisi, kita akan menemukan garis antarnoktah yang menandai rangkaian peristiwa dan makna dalam tiga tematik sesuai dengan judul bukunya, yakni (1) tematik “Mendaras” yang terdiri atas 24 noktah, (2) tematik “Komposisi” yang terdiri atas 24 noktah, dan (3) tematik ”Senja” yang terdiri atas 48 noktah.  Namun, untuk sampai pada adanya peristiwa dan makna dalam setiap tematik, kita harus memulainya dari pemahaman renik atas sintagma (dan paradigma) teks setiap puisi.  Dengan semestinya, pemahaman atas sintagma teks puisi melibatkan asosiasi (paradigma teks selingkung) dan dissossiasi (paradigma teks bukan selingkung) yang dimungkinkan dalam jejaring teks yang melingkungi sintagma teks sebuah puisi.

 

Sebagai contoh, dalam tematik “Mendaras” terbaca puisi pertama berjudul “Mendaras Kesendirian”. Puisi ini dibangun dari enam larik, tetapi sintagma teksnya terhitung lima. Setiap sintagma teks mengandung paradigma teks. Berikut dipaparkan sintagma teks pertama yang membangun puisi tersebut (gambar 1).

Gambar (1) di atas hanya memaparkan sintagma pertama teks puisi “Mendaras Kesendirian”. Tentu, ada empat sintagma teks puisi lainnya yang dapat dibahas seperti gambar (1). Misal, pada sintagma kedua, pernyataan //berjejal tanya pada rentetan peristiwa// memiliki hubungan dan pertentangan antarteks yang dapat mengisi kelima deretan kata dalam sintagma puisi kedua tersebut. Begitu pun pada sintagma ketiga, sintagma keempat, dan sintagma kelima. Jejaring teks yang dimungkinkan dapat mengisi setiap kata dalam sebuah sintagma teks puisi menjadi paradigma teks, baik yang berasosiasi selingkung maupun bukan selingkung. Secara utuh, kelima sintagma teks puisi “Mendaras Kesendirian” digambarkan berikut ini.

Teks puisi “Mendaras Kesendirian” tidak berdiri sendiri, tetapi diikat oleh tematik “Mendaras” yang berisi 24 teks puisi. Kita dapat menganggap tematik “Mendaras” sebagai gagasan yang menyatukan sintagma kedua puluh empat teks puisi yang tentunya menyatukan juga paradigma kedua puluh empat teks puisi. Gambar (3) kiranya dapat memaparkan hal tersebut.

1) Mendaras Kesendirian, 2) Mendaras Kecemasan, 3) Mendaras Cuaca, 4) Mendaras Kekisah, 5) Mendaras Penungguan, 6) Mendaras Bunga-Bunga, 7) Mendaras Hujan Deras, 8) Mendaras Harapan, 9) Mendaras yang Selintas, 10) Mendaras yang Deras, 11) Mendaras Nyanyian, dst.

 

Akhirnya, sebagai sebuah kumpulan puisi, buku Mendaras/ Komposisi/ Senja membangun sebuah monumen teks (buku) yang dibentuk dari tematik “Mendaras”, tematik “Komposisi”, dan tematik “Senja”. Hal tersebut dapat dipaparkan dalam gambar berikut ini (gambar 4).

Sampai di sini, kita telah mengukuhkan teks dari satuan terkecil, yakni sintagma dalam sebuah teks puisi yang dapat berjumlah sesuai dengan pernyataan satuan kebahasaan kalimat. Tentu saja, hal ini tidak identik dengan jumlah larik puisi dalam sebuah bait puisi. Hal ini dapat diidentifikasi melalui pembubuhan tanda baca titik (.) dan atau pemenggalan larik[3].

 

Hubungan antarsintagma dalam sebuah teks puisi membentuk sintagma sebuah bait puisi, hubungan antarsintagma bait puisi membentuk sintagma sebuah teks puisi, dan hubungan antarsintagma sebuah teks puisi membentuk sintagma tematik “Mendaras”, “Komposisi”, dan “Senja”. Selanjutnya, hubungan antarsintagma ketiga tematik tersebut membentuk sintagma sebuah teks buku Mendaras/ Komposisi/ Senja. Setiap tingkatan sintagma menyertakan paradigma teks yang menyiratkan bahwa disposisi pernyataan (atau sintagma) dibangun dari jejaring teks (atau paradigma teks) yang melingkunginya dalam setiap tingkatan.

 

Sekarang, mari kita konkretkan imaji domain xyz.puisi sebagai ruang tiga dimensi yang menyertakan ordinat Z dalam visualisasi gambar berikut (gambar 5).


 

 

Gambar (5) Bentuk dan Isi Teks

Dari gambar di atas terbaca bahwa teks memiliki aspek bentuk dan isi. Buku kumpulan puisi Mendaras/ Komposisi/ Senja dapat dikatakan sebagai aspek bentuk. Di dalam buku tersebut terdapat isi teks yang mengandung dua hal, yakni peristiwa dan makna. Hal ini berhubungan dengan pembingkaian isi teks puisi melalui konteks puisi kala dibuat oleh penyair, kala terbakukan dalam teks berlabel puisi, dan kala diresepsi pembaca. Ketiga pembingkaian tersebut membentuk makna yang sejajar dengan makna subjektif penulis, makna otonom teks, dan makna relatif pembaca.

 

Dalam gambar tersebut, ordinat X dan Y terbakukan dalam referensi-diri teks (atau peristiwa) dan makna otonom teks. Saat teks dihubungkan dengan penulis-pembaca, ordinat Z muncul menandai peristiwa dan makna yang tak identik lagi dengan referensi-diri teks dan makna otonom teks, yakni penulis undur peran atau terjarak dengan tulisannya dan pembaca potensial siap bersua dengan referensi-diri teks dan makna otonom teks. Ordinat Z menandai teks yang berhubungan dengan konteks, yakni aspek kesejarahan puisi yang berhubungan dengan makna subjektif penulis dan makna relatif pembaca serta referensi sosial-budaya yang melingkungi konteks resepsi atas teks. Ilustrasi gambar berikut ini dapat menjelaskan koordinat X, Y, dan Z yang membangun ruang tiga dimensi sebuah teks puisi.

Paparan dalam gambar 1 s.d 4 dapat kita anggap sebagai jalan penafsiran bahasawi yang disusun dari pengetahuan bahasa atau singkatnya  disebut kode bahasa. Sementara itu, diksi dan gaya bahasa penulis yang terbakukan dalam teks puisi membangun sintagma dan paradigma teks puisi dalam pengetahuan atas ragam teks puisi atau singkatnya kita sebut kode teks. Satuan kebahasaan kalimat dan paragraf  yang langsung membentuk teks puisi adalah larik dan bait. Dengan demikian, pengetahuan atas larik dan bait menjadi semacam kode teks bergenre puisi yang tak terbantahkan. Di dalam kedua kode teks puisi inilah, yakni larik dan bait, kita menemukan sintagma dan paradigma teks puisi, yakni diksi dan gaya bahasa.

 

Biodata Penulis:

Nizar Machyuzaar


Penulis, aktif di organisasi Mata Pelajar Indonesia, Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk, Gelanggang Sasindo Unpad. Karya tulis dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo, Majalah Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital. Karya: Buku puisi bersama  Doa Kecil (1999), buku puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Pengelola inskripsi.com. Terbaru, esainya dimuat di laman artikel Badan Bahasa Kemdikbud.go.id  berjudul 1)  “Narasi Subversif, Mitos Baru di Era Digital, 2) Pandemi Kleptoteks: Kluster Baru Dunia Maya, dan 3) Akar dan Pohon Sastra, 4) Berpikir Kritis Ala Warganet

 



[1] Pembahasan referensi dan makna teks dipinjam dari langkah-langkah menginterpretasi teks sesuai prasaran Paul Riceour dalam buku The Interpretation Theory, Discourse and The Surplus of Meaning (1976).

[2] Jalan penafsiran atas teks puisi juga menyertakan sistem ketandaan yang membangun struktur teks puisi. Dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (Pustaka Jaya, 1984), A Teeuw membagi sistem ketandaan teks sastra (baca: puisi) ke dalam sistem ketandaan bahasa yang disebut dengan kode bahasa, sistem ketandaan teks yang disebut dengan kode sastra, dan sistem ketandaan konteks yang disebut dengan kode sosial dan budaya.

[3] Sintagma puisi menandai satuan kebahasaan kalimat yang dapat dibangun dari satu atau lebih larik dalam sebuah bait puisi. Sintagma puisi dapat mengantarai penafsiran terhadap teks puisi karena keutuhan sebentuk pengetahuan dan pengalaman hidup akan utuh tergambarkan dalam sebuah sintagma puisi. Dengan demikian, dalam sebuah bait, jumlah larik puisi menjadi tidak identik dengan jumlah sintagma puisi.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top