Domain xyz.puisi (Bagian 3, Habis)
Mendaras/Komposisi/Senja Karya M. Irfan Hidayatullah
Oleh Nizar Machyuzaar*
Sebagai
sebuah judul buku, kita dapat menempatkan kelompok kata Mendaras Komposisi Senja dalam
satuan kebahasaan frasa dan klausa. Frasa mendaras
komposisi senja berpola DMM (Diterangkan-Menerangkan-Menerangkan). Kata mendaras menjadi inti atau pusat makna
frasa dan kata komposisi dan senja menjadi pelengkap makna. Frasa ini
belum berpredikat sehingga dalam kalimat dapat difungsikan sebagai Subjek (S),
Objek (O), atau Pelengkap (Pel.). Contohnya, Buku puisi ini (S) berjudul (P) Mendaras Komposisi Senja (Pel.).
Selanjutnya,
kita dapat menempatkannya sebagai klausa. Kelompok kata mendaras kompoisisi senja mensyaratkan adanya pelaku yang berfungsi
sebagai Subjek (S) sebelum peristiwa dalam kata kerja mendaras sebagai Predikat (P). Misal, pernyataan Saya (S) mendaras (P) komposisi senja (O).
Namun, sebagai sebuah judul, pernyataan Mendaras/Komposisi/Senja,
baik dianggap sebagai frasa maupun klausa, dapat ditempatkan dalam sebuah
peristiwa bahasa (wacana), yakni seseorang dengan sadar melabeli karya tulisnya
dengan subjudul Sebuah Kumpulan Puisi.
Pertanyaan
kita, “Siapa yang mendaras?” Selama ini ulasan atas teks puisi menyebutnya
dengan istilah aku larik puisi, yakni
kata ganti orang pertama aku sebagai
partisipan yang berbicara kepada kamu
sebagai pembaca puisi. Dalam gambar 5, dijelaskan bahwa aku larik dalam teks
puisi sudah tidak identik lagi dengan penulis atau penyair karena teks puisi
sudah membakukan referensi-diri dan makna otonom teks. Dunia teks, yakni
peristiwa dan makna, terbakukan dalam sintagma dan paradigma teks yang
dikonkretkan dengan referensi-diri dan makna otonom teks melalui diksi dan gaya
bahasa. Kita akan membahas ketiga tematik teks puisi “Mendaras”, “Komposisi”, dan “Senja” dengan mengambil contoh
puisi di awal, di tengah, dan di akhir setiap tematik (Tabel 2). Setelah itu,
kita dapat menghubungkan ketiga tematik tersebut dalam keutuhannya sebagai
sebuah narasi metaforis buku puisi.
Tabel 2
Analisis Diksi dan Gaya bahasa Tematik “Mendaras”, “Komposisi”, dan “Senja”
No |
Sub-subtema |
Sintagma (Disposisi pernyataan/Diksi) |
Paradigma (Gaya Bahasa) |
1. |
Mendaras Kesendirian (puisi kesatu tematik “Mendaras”) |
1.
berjejal
kata pada kalimat tanya 2.
berjejal
tanya pada rentetanperistiwa. 3.
berjejal
peristiwa padasengkarut duka 4.
berjejal
duka pada antrean kematian 5.
berjejal
kematian pada nalar kemanusiaan. |
Diksi berjejal
yang hadir di awal setiap sintagma menjadi gaya selingkung teks untuk menegaskan
(Paralelisme anaporis) dan diksi kalimat
tanya (orientasi), rentetan peristiwa (intrik), sengkarut duka (konflik), antrean kematian (klimaks), dan nalar kemanuisaan
(resolusi) menandai intensitas
penegasan dalam gaya bahasa klimaks. Partisipan orang pertama aku lesap sehingga teks hanya membentuk ruang
peristiwa dalam kisahan tanpa pelaku.
Model kisahan seperti ini membentuk kisahan yang memusat pada gambaran
suasana. |
2. |
Medaras Kebodohan (puisi kedua belas tematik “Mendaras”) |
1.
jangan
berhenti sebelum makna usai 2.
setelah
kau mengerti semuanya dan tersuruk pada kebodohan bangkitlah menjadi sebenar
benar kanvas |
Diksi jangan berhenti sebelum makna usai Sintagma 1 dapat dianggap sebagai orientasi kisahan. Sintagma 1
berhubungan secara kausalitas dengan sintagma 2. Sintagma 2 berisi diksi setelah kau mengerti semuanya dan tersuruk
pada kebodohan
(hiperbola) sebagai komplikasi
kisahandan diksi bangkitlah
menjadi sebenar benar kanvas sebagai resolusi kisahan. Diksi berhenti
sintagma 1 dan bangkit sintagma 2 menandai pertentangan (paradoks)
dan diksi sebenarbenar kanvas menyiratkan perbandingan
langsung (metafora). Peristiwa ditandai oleh kehadiran partisipan orang
pertama aku lesap
berkomunikasi dengan partisipan orang
kedua kau lugas sebagai pusat
penokohan dalam kisahan. |
3. |
Mendaras Ujung (puisi kedua puluh empat tematik “Mendaras”) |
1.
di
sana ada titik yang menjanjikan usai 2.
sayangnya
kau takbisa membubuhkannya sendiri 3.
kau
dibacakan, disucikan, dipakaikan, didoakan 4.
namamu
pun dituliskan pada tonggak itu kemudian di dekat sebaran bebunga yang
ditaburkan |
Diksi di sana ada titik yang menjanjikan
usai menandai orientasi kisahan. Sintagma 1 memiliki hubungan pertentangan
(kontradiksi) dengan diksi sayangnya kau takbisa membubuhkannya sendiri
sintagma 2
yang berfungsi sebagai komplikasi kisahan. Diksi dalam kata kerja pasif kau dibacakan, disucikan, dipakaikan, didoakan sintagma 3 dan dituliskan, ditaburkan sintagma 4 menandai asosiasi selingkung yang membangun kisahan Ujung sebagai sebuah judul dalam gaya bahasa perbandingan utuh
(Alegori) tentang proses kematian.
Alegori ini merupakan klimaks
kisahan. Diksi namamu
pun dituliskan pada tonggak itu kemudian di dekat sebaran bebunga yang
ditaburkan sintagma 4 menjadi resolusi kisahan. Partisipan orang
pertama aku lesap dan partisan
orang kedua kau lugas terbaca
menjadi pusat penokohan dalam kisahan. |
4. |
Komposisi 1 (puisi kesatu tematik “Komposisi”) |
1.
Pada
embunembun bergelayut kutemukan wajah sunyi yang dekap. 2.
Aku
yang gelisah, mengeja cemburu tak sudah-sudah… |
Diksi Pada embunembun bergelayut (personifikasi) sintagma 1 berfungsi
sebagai orientasi kisahan dan
diksi kutemukan wajah sunyi (metafora) yang
dekap
(personifikasi) sintagma 1 sebagai komplikasi kisahan. Sintagma 1 berhubungan secara kausal dengan
diksi Aku yang gelisah, mengeja cemburu tak sudah-sudah… (hiperbola) sintagma 2 yang
merupakan resolusi kisahan.
Partisipan orang pertama dalam partikel ku
dan kata aku lugas terbaca menjadi
pusat penokohan kisahan. |
5. |
Komposisi 12 (puisi kedua belas tematik “Komposisi”) |
1.
Pada
benak ada dangau tempat melihat hijau. 2.
Hingga
kuning dan mengering, ia jadi saksi sebuah komposisi; kau dan kefanaan pukau… |
Diksi Pada benak ada
dangau (metafora) dan tempat
melihat hijau (simbolis) dalam sintagma 1 membentuk gambaran keseluruhan
(totem pro parte) orientasi
berbentuk deskripsi umum atau pernyataan umum. Sementara itu, diksi
hingga kuning dan mengering (pars
pro toto) sintagma 2 merupakan deskripsi
bagian dari diksi hijau. Diksi ia (personifikasi) dalam diksi kau dan kepanaan pukau (metafora) membangun struktur kisahan utuh
(alegori) sebagai penutup kisahan.
Partisipan orang ketiga ia lugas
terbaca sebagai pusat penokohan kisahan.
Partisipan orang pertama aku lesap
dan partisan orang kedua kau lugas
terbaca menjadi pusat penokohan kisahan. |
6. |
Komposisi 24 (puisi kedua puluh empat tematik “Komposisi”) |
1.
Pada
secangkir teh yang kau hidu, hadir aroma keringat perempuan pemetik rindu 2.
kenikmatan
cecap pada poripori lidahmu serupa sketsa lukisan yang mangkrak dipeluk debu |
Diksi Pada secangkir teh yang kau hidu sintagma 1 merupakan orientasi kisahan. Diksi hadir
aroma keringat perempuan (personifikasi
) pemetik rindu (hiperbola)
sintagma 1 menjadi komplikasi
kisahan. Sintagma 1 berhubungan secara
kausal dengan diksi kenikmatan cecap
pada poripori lidahmu serupa sketsa
lukisan (asosiasi) yang mangkrak
dipeluk debu (Personifikasi ) sintagma 2 dapat dianggap sebagai resolusi kisahan. Partisipan orang pertama aku lesap dan partisan orang kedua kau lugas terbaca menjadi pusat
penokohan kisahan. |
7. |
/1/ (puisi kesatu tematik “Senja”) |
1.
Rumputan membaca lembaran sore 2.
Aku membaca helai penantian 3.
Kata yang kularungkan mewujud riak di danau
itu 4.
Ada yang mencoba becermin dan kemudian
menangkap lari wajahnya sendiri. 5.
(Senja ini ia sibuk sendiri) |
Diksi Rumputan membaca lembaran sore (personifikasi) sintagma 1
merupakan orientasi kisahan. Diksi Aku membaca helai penantian (hiperbola) sintagma 2 menjadi intrik atau penampilan masalah kisahan. Diksi
Kata yang
kularungkan mewujud riak di danau itu (hiperbola)
sintagma 3 merupakan konflik
kisahan. Diksi Ada yang mencoba becermin dan kemudian menangkap lari wajahnya
sendiri (hiperbola) sintagma 4 menjadi klimak kisahan. Diksi (Senja
ini ia sibuk sendiri) sintagma 5 merupakan transformasi larik dari partisipan orang pertama aku ke orang ketiga ia menjadi resolusi kisahan. Pelaku atau tokoh muncul dalam partisipan orang
pertama aku sebagai pusat penokohan
dan beralih kode menjadi orang ketiga ia
sebagai “yang diceritakan”. |
8. |
/10/ (puisi kesepuluh tematik “Senja”) |
1.
Tirai itu menghalangi pandangan 2.
Tapi senja kali ini takmembantuku
menyingkapnya 3.
Ada kegundahan menggenang serupa kemacetan
di tol ibu kota 4.
Dan menunggu adalah tiktak pencarian 5.
"Ya Tuhan pada detik ke berapa
kesadaran kan kuraih? Atau jiwa ini lebih dulu disunting kematian?" |
Diksi Tirai itu menghalangi pandangan Sintagma 1 dan diksi Tapi senja kali ini takmembantuku
menyingkapnya (personifikasi) sintagma 2 menjadi orientasi kisahan yang mengantarkan diksi ada kegundahan menggenang (hiperbola) serupa kemacetan di tol ibu kota (asosiasi) pada sintagma 3
sebagai komplikasi kisahan. Diksi Dan menunggu adalah tiktak pencarian (asosiasi) mengonkretkan waktu
pada diksi pencarian sintagma 4
menjadi klimaks kisahan. Transformasi kalimat dalam bentuk larik ke bentuk ujaran "Ya Tuhan pada detik ke berapa
kesadaran kan kuraih? Atau jiwa ini lebih dulu disunting
kematian?" (retoris) dalam sintagma
5 menandai alih kode larik dengan gaya bahasa
penegasan untuk mempertanyakan sesuatu sebagai resolusi kisahan. Sampai
sintagma 4 partisipan orang pertama Aku
lesap dalam teks puisi. Pada sintagma terakhir terdapat alih kode
partisipan orang pertama aku lesap
menjadi orang pertama aku lugas
sebagai pusat penokohan kisahan. |
9. |
/20/ (puisi kedua puluh tematik “Senja”) |
1.
Selembar kisah jatuh di ujung senja 2.
Aku memungut dan membacanya dengan terbata 3.
Ada geliat kata menarikan duka 4.
Ada semburat makna melukiskan luka 5.
"Berdoalah untuk negeri kita,"
bisik hujan yang memantulmantul di lantai teras jiwa |
Diksi selembar
kisah (asosiasi) jatuh di ujung
senja (hiperbola) sintagma 1 menjadi orientasi kisahan. Diksi Aku memungut dan membacanya dengan terbata Sintagma 2 menampilkan masalah
(komplikasi) yang berhubungan
secara kausal dengan diksi jatuh
sintagma 1. Diksi Ada
geliat kata menarikan duka
(personifikasi) sintagma 3
menjadi konflik kisahan. Diksi Ada (paralesisme anaforis) semburat makna (hiperbola)
melukiskan luka (personifikasi)
sintagma 4 menandai Klimaks .
Sementara itu, diksi "Berdoalah
untuk negeri kita," bisik hujan yang memantulmantul di lantai teras jiwa
(personifikasi ) sintagma 5
menandai resolusi kisahan.
Partisipan orang pertama aku
lugas terbaca menjadi pusat penokohan kisahan. |
10. |
/30/ (puisi ketiga puluh tematik “Senja”) |
1.
Menjelang senja dia menakar dirinya(Bait 1) 2.
(Di teras dekat pohon mangga ada dialog
tentang hujan reda 3.
Tapi takada yang mengira. Termasuk daun yang
sedetik lagi tanggal dari tangkainya) (Bait 2) 4.
Menjelang senja dia menakar jiwanya (Bait 3) 5.
(Di teras dekat pohon mangga ada dialog
tentang hujan reda. 6.
Kursi rotan yang regah salah satu kakinya
juga tak mendengar apaapa 7.
Takada yang mengira) (Bait 4) 8.
Menjelang senja dia menakar usia (Bait 5) |
Diksi Menjelang senja dia menakar dirinya sintagma 1 (simbolisme) menjadi orientasi/pernyataan umum pembentukan ruang
imaji peristiwa
dalam latar waktu. Sintagma 2 dan 3 dalam tanda kurung
berfungsi menambah deskripsi bagian. Latar tempat tergambar dalam diksi Di teras dekat pohon mangga dan latar peristiwa ada
dialog tentang hujan reda (personifikasi) sintagma 2. Latar suasana
tergambar dalam diksi Termasuk
daun yang sedetik lagi tanggal dari tangkainya
sintagma 3. Diksi Menjelang senja dia menakar jiwanya Sintagma
4 paralel dengan sintagma 1 menjadi reorientasi/penegasan
ulang. Namun, objeknya berbeda, yakni dari dirinya menjadi jiwanya. Sintagma 5, 6, dan 7 dalam tanda
kurung berfungsi menambah deskripsi bagian. Latar tempat tergambar
dalam diksi Di
teras dekat pohon mangga dan latar peristiwa
ada dialog
tentang hujan reda sintagma 5 (personifikasi). Diksi Kursi
rotan yang regah salah satu kakinya juga tak mendengar apaapa
sintagma 6 dan diksi Takada yang
mengira sintagma 7 menambah latar suasana. Sementara itu, diksi Menjelang senja dia menakar usia sintagma 8 berfungsi sebagai penutup/deskripsi manfaat/judgement dalam penegasan ulang dari dua sekuen orientasi dan deskripsi sebelumnya.
Partisipan orang ketiga dia lugas
terbaca menjadi pusat penokohan kisahan. |
11. |
/40/ (puisi keempat puluh tematik “Senja”) |
1.
Menghitung atau dihitung waktu bagi senja takpenting sama sekali 2.
sejak diciptakan tampaknya ia membentangkan
dirinya sebagai kanvas sebuah cerita.
(Bait 1) 3.
Menghitung atau dihitung waktu bagi
perjalanan takberguna sama sekali 4.
sejak digulirkan sepertinya ia menggelar
dirinya sebagai karpet merah kematian (Bait 2) 5.
Menghitung atau dihitung waktu aku meremah
pada sejarah siap diembus kebodohan (Bait 3) |
Diksi Menghitung atau dihitung waktu bagi senja (personifikasi)
takpenting sama sekali sintagma 1 menjadi orientasi. Diksi sejak diciptakan tampaknya ia membentangkan
dirinya sebagai kanvas sebuah cerita (asosiasi)
sintagma 2 merupakan narasi metaforis aku larik yang bercerita tentang
ia dalam komplikasi. Sintagma 1 dan 2 dapat dianggap sebagai sekuel I peristiwa dan makna
teks puisi. Diksi sejak diciptakan tampaknya ia membentangkan
dirinya sebagai kanvas sebuah cerita sintagma 3 paralel dengan sintagma 1 sebagai reorientasi. Diksi sejak digulirkan sepertinya ia menggelar
dirinya sebagai karpet merah kematian (asosiasi) sintagma 4 menjadi komplikasi dalam sekuel II teks puisi. Terakhir,
diksi Menghitung atau
dihitung waktu aku meremah pada sejarah (hiperbola)
paralel
sintagma 5 paralel dengan sintagma 1 dan 3 yang
berfungsi sebagai reorientasi, penutup atau, judgement siap
diembus kebodohan (personifikasi). Partisipan orang ketiga dia lugas terbaca menjadi pusat
penokohan kisahan. Pada sintagma
terakhir, partisipan orang pertama ia beralih kode menjadi partisipan orang
pertama aku. Diksi bagi senja, bagi perjalanan paralel dengan diksi ia membentangkan dirinya, ia
menggelar dirinya dalam asosiasi selingkung aku meremah pada sejarah dan siap diembus kebodohan. |
12. |
/48/ (puisi keempat puluh delapan tematik “Senja”) |
1.
Obrolan
di tepi hari itu dirayakan semesta. 2.
Ikanikan
di kolam hati kita bergerak berebut makanan rindu. 3.
Mereka
membuat komposisi indah diiringi nada gericik tanya. 4.
Apakah
masa depan memberi keindahan yang sama? (Bait 1) 5.
Yang
memberi keindahan gerak dan warna sesungguhnya keterlarutan pada ruang rasa
hidup kita. 6.
Balaslah
setiap dekap ujian dengan gemulai tarian jiwa (Bait 2) 7.
(“Ia
ragu untuk menghapus video pertemuan itu. 8.
Bukankah
semua ingatan adalah doa?”) |
Diksi Obrolan di tepi hari itu dirayakan
semesta (hiperbola) Sintagma 1 berfungsi sebagai orientasi
pembentuk ruang imaji. Diksi metaforis ikanikan
di kolam hati kita bergerak berebut makanan rindu sintagma 2 berfungsi
sebagai tahap intrik (pemunculan
masalah). Diksi Mereka membuat komposisi indah diiringi nada
gericik tanya Sintagma
3 berfungsi sebagai konflik (pemusatan masalah) pada
sekuel I teks puisi yang membentuk peristiwa dan makna otonom teks. Diksi Apakah masa depan memberi keindahan yang
sama? Sintagma 4 berfungsi sebagai Klimaks
(puncak masalah) sekuel I dengan memakai gaya bahasa retoris. Diksi Yang memberi keindahan gerak dan warna
sesungguhnya keterlarutan pada ruang rasa hidup kita Sintagmatik 5 dan diksi Balaslah setiap dekap ujian dengan gemulai
tarian jiwa sintagma 6 dapat dianggap resolusi. Sintagma 7 dan 8
tertulis dalam tanda kurung dengan
diski (“Ia ragu untuk menghapus video
pertemuan itu. Bukankah semua ingatan adalah doa?”) yang menyiratkan
transformasi kalimat dalam bentuk larik ke bentuk ujaran dalam partisipan
orang ketiga ia. Ujaran ini
menandai koda kisahan dengan
penegasan (retoris) kecemasan dan pengharapan: aku
meremah pada sejarah siap diembus kebodohan. Partisipan yang terlibat dalam sintagma 1
s.d. 6 adalah orang pertama aku lesap dan orang kedua kau dalam kata ganti kita yang
lugas terbaca. Namun, pada sintagma terakhir, peristiwa dan makan yang
dibentuk oleh keenam sintagma tersebut beralih kode menjadi kata ganti orang
ketiga ia. |
Analisis di
atas dihadirkan sebagai contoh pemodelan bahwa sintagma teks puisi membangun
peristiwa dan makna dari jejaring teks atau paradigma teks. Pada dasarnya,
setiap subtema akan diperkuat oleh jejaring teks puisi lain dalam satu tematis
yang membangunnya. Setiap tematis dibangun dari sub-subtema yang dapat dianggap
sebagai paradigma selingkung. Tematis “Mendaras” dan “Komposisi” dibangun dari
24 sintagma puisi sebagai paradigma selingkungnya. Sementara itu, tematik “Senja” dibangun dari
48 sintagma puisi sebagai paradigma
selingkungnya.
Dari
analisis sintagma teks puisi yang menyertakan diksi puisi akan terbakukan
paradigma teks selingkung dan bukan selingkung. Pada tabel 2 hanya disertakan
analisis paradigma selingkung sub-subtema terpilih dari tiga tematis. Hasilnya,
dapat diterakan bahwa paradigma puisi menyertakan gaya bahasa puisi. Gaya bahasa puisi erat berhubungan
dengan karakter ketaklangsungan operasi ketandaan bahasa dalam teks puisi.
Berbagai gaya bahasa yang dipilih sebagai diksi merupakan disposisi sintagma
teks dari jejaring teks yang melingkunginya.
Untuk sampai
pada pemaknaan teks puisi, kita akan merangkai berbagai sintagma puisi, yang
kadang, bahkan sering, tidak dapat dimaknai dengan kode bahasa dan kode teks
saja. Sintagma puisi yang berserak dan acak memendarkan bias-bias penafsiran.
Untuk membuatnya utuh sebagai bentuk pengetahuan dan pengalaman hidup yang
terbakukan dalam teks puisi, mau tidak mau, kita akan merangkainya dalam
kisahan berjejaring gaya bahasa. Singkatnya, karena karakter ketaklangsungan
makna pada sintagma teks puisi tersebut, untuk mengonkretkan makna puisi dalam jalan
penafsiran, kita mesti merangkai sintagma-sintagma puisi dalam kisahan
metaforis.
Kisahan pada
dasarkan menyertakan tiga unsur pembentuknya, yakni pelaku atau tokoh,
(rangkaian) peristiwa atau alur, serta latar tempat, waktu, dan suasana. Untuk
mengidentifikasi tokoh dan pemodelan tokoh dalam kisahan, analisis partisipan
teks dapat dilakukan, seperti tertera di tabel 1. Untuk mengidentifikasi
(rangkaian) peristiwa, pengetahuan atas struktur kisah dapat digunakan. Pada
dasarnya struktur kisah menyertakan tiga bagian pokok, yakni 1) pembuka,
orientasi, atau pengenalan tokoh dan
latar; 2) isi, komplikasi, atau alur dalam rangkaian intrik, konflik, klimaks,
dan resolusi; dan 3) penutup, judgement (simpulan), atau koda; dan untuk
mengidentifikasi latar tempat, waktu, dan suasana, hal tersebut dapat ditemukan
melalui analisis satuan kebahasaan konjungsi ‘kata penghubung’, preposisi ‘kata
depan’, dan adjektif ‘kata sifat’. Ketiga unsur pembentuk kisahan tersebut
sudah diulas dan diterakan pada tabel 2.
Sekarang
kita dapat menginventarisasi pemodelan kisahan metaforis yang menjadi
kecenderungan buku kumpulan puisi ini. Pertama,
pemodelan kisahan metaforis dengan partisipan orang pertama aku, orang kedua kau, dan orang ketiga ia
yang lesap. Dalam pemodelan kisahan
metaforis ini, kisah cenderung membentuk imaji suasana karena tidak
menghadirkan penokohan. Hal ini dapat terbaca dalam subtema “Mendaras
Kesendiran”.
Kedua, pemodelan kisahan metaforis yang
menyertakan partisipan orang pertama aku lesap
atau aku lugas yang melibatkan
kehadiran partisipan orang kedua kau
atau partikel mu yang lugas terbaca.
Pelibatan partisipan orang kedua kau
membentuk
(rangkaian)
peristiwa yang menyertakan struktur komplikasi, serta latar yang mengacu pada
tempat, waktu, dan suasana. Pemodelan ini terdata mendominasi sub-subtema
puisi, seperti terbaca dalam subtema “Komposisi 24”
Ketiga,
pemodelan kisahan metaforis dengan orang ketiga ia, seperti terbaca dalam subtema “Komposisi 12” dan subtema
(“Senja”) /30/. Sturktur kisahan pada
kedua subtema tersebut kebetulan memakai
pemodelan yang sama, yakni pemodelan teks deskripsi yang menyertakan pernyataan
umum sebagai orientasi dan deskripsi bagian sebagai komplikasi. Pada subtema
lain, pemodelan kisahan metaforis dengan pelibatan orang ketiga ia memakai struktur kisahan
konvensional, seperti pada subtema “Mendaras Penungguan” dan subtema “Mendaras
Perjalanan”.
Keempat, pemodelan partisipan kompleks
yang menyertakan alih kode partisipan dan struktur kisahan bertingkat. Dalam
beberapa subtema, pemodelan teks dengan partisipan teks yang kompleks dapat
saja terjadi seperti pada subtema (“Senja”) /40/. Pada subtema tersebut terjadi
alih kode partisipan, yakni pelibatan partisipan orang pertama aku yang beralih kode menjadi partisipan
orang ketiga ia. Selain itu, pada subtema ini juga terdapat struktur
kisahan kompleks atau bertingkat (baca tabel 2). Bahkan, pada subtema (“Senja”)
/48/ terdapat partisipan orang pertama dan kedua kita yang beralih kode ke partisipan orang ketiga ia. Namun, struktur kisahan tertata utuh
dalam kelengkapan komplikasinya.
Sampai di
sini, kiranya pembahasan pada bagian ini akan sampai pada inti kisahan
metaforis yang melibatkan ketiga tematik “Mendaras”, “Komposisi”, dan
“Senja” sebagai sintagma buku puisi yang
menyertakan paradigma selingkung dalam ke-96 teks puisi. Secara serampangan,
dari tabel 1 dan tabel 2 kita dapat mengonkretkan berbagai kisahan metaforis
tersebut ke dalam ikhtisar berikut ini.
Tematis Mendaras | Pada tematis “Mendaras” terbaca partisipan orang pertama aku berkisah tentang penungguan dan perjalanan. Disposisi teks
berdasar pada sintagma: sebagai pembaca
kau mungkin tak menyadari hadirku pada setiap artikulasi dan suara dan aku ada pada aliran makna hingga kau hanyut
dan lupa (“Mendaras Kekisah”). Kisahan metaforis terstruktur dalam
partisipan orang pertama aku yang
“Mendaras Kesendirian” dan mendapati kau dalam
kecemasan, kebodohan, keriuhan, kerinduan, dan harapan. Aku
“Mendaras Kekisah” melalui cuaca, bunga-bunga, aroma, hujan deras, purnama, dan
sorot cahaya. Kisahan berakhir dengan
ketiadaan, seperti terbaca dalam subtema terakhir “Mendaras Ujung”. Dapat
dikatakan bahwa tematis “Mendaras” menjadi semacam dialog diri, gumam, atau
solilokui dalam proses internasilasasi
diri.
Tematis Komposisi | Pada tematis “Komposisi” terbaca struktur
teks setiap subtema bermula dari sintagma //pada... // yang menjadi paradigma selingkung untuk
menegaskan pemaknaan atas diksi komposisi.
Subtema ini dapat
dianggap sebagai bagian takterpisahkan dari proses internalisasi diri dalam
tematis “Mendaras”, terkhusus “Mendaras Perjalanan” yang terbaca lugas dalam
subtema “Komposisi 16”: //Pada
perjalanan, aku adalah noktah/semesta. Badai di ujung sana/menungguku merapal fana…//. Diksi komposisi muncul selain sebagai judul
setiap subtema, yakni dalam sintagma 1) //wahai, jiwa, terhiburkah oleh
komposisi/sederhana ini nyanyian (‘Mendaras Nyanyian”; 2) // Hingga kuning
dan/mengering, ia jadi saksi sebuah/komposisi; kau dan kefanaan pukau…//
(Komposisi 12); 3) //Bagi setiap jiwa yang setia/menanti, ia adalah komposisi
indah/taktertandingi…// (“Komposisi 17”); dan 4) //Mereka membuat komposisi indah diiringi
nada gericik/tanya// (“Senja” /48). Dapat dikatakan bahwa tematis “Komposisi” menjadi semacam dialog
diri, gumam, atau solilokui dalam proses eksternasilasasi
diri.
Tematis Senja | Terakhir, pada tematis “Senja”, kita menemukan diksi senja sebagai metafor yang menjembatani dunia dalam dan dunia luar; internalisasi
dan eksternalisasi, atau idealitas dan realitas. Di sinilah kita dapat menemukan relevansi tematik “Senja”
sebagai usaha mengisahkan kembali keteracakan pengalaman hidup (“Mendaras
Nyanyian”). Hal ini terbaca dalam sintagma rekahan
senja kubaca sebagai isyarat bagi suntingan semesta pada ini jiwa (subtema
“Mendaras Bunga-bunga”) dan Pada putik
yang disuntingkan senja, sajak luruh berserak (Subtema “Komposisi 4). Dari 48 subtema puisi yang ada dalam tematik
“Senja”, dialog diri, gumam, atau solilokui diteguhkan dan dikukuhkan menjadi
pengetahuan melalui kisahan dengan diksi
senja sebanyak 69 sintagma —dan
tentunya dalam ungkapan metaforis.
Kedua proses permenungan
internasilisasi-eksternalisasi (dalam pemodelan partisipan orang pertama aku)
yang terbicarakan di atas tentu akan menghasilkan sintesis berbentuk
pengetahuan dan pengalaman hidup. Kita dapat merasakan peralihan
internalisasi-eksternalisasi partisipan orang pertama aku ke dalam pemahaman “yang dikisahan” dalam struktur kisah yang
cenderung kurang ajeg (tematis “Mendaras” dan “Komposisi”) menjadi ajeg dalam
pemodelan struktur kisah (tematis “Senja”), terutama pada subtema /40/ dan /48/
(baca tabel 2).
Sampai di sini, kita dapat menganggap
bahwa pengetahuan yang dipahami melalui kisahan tersebut terdukung oleh
pengalaman-pengalaman nyata, imajinatif, bahkan futuristik. Bagaimana muasal
manusia tentu membutuhkan pengalaman imajinatif. Bagaimana mengenal diri dan
kedirian juga membutuhkan pengalaman nyata. Bahkan, bagaimana kematian dihayati
pasti membutuhkan pengalaman futuristik. Ketiga
gagasan mendasar tersebut
dipatrikan oleh semesta teks dalam proses internalisasi dan
eksternalisasi partisipan orang pertama aku
dalam dua tematis sebelumnya.
Ketiga gagasan tersebut dapat dipahami
dan hanya dapat dipahami dengan dikisahkan kembali. Dalam proses pengisahan,
selalu terbaca tegangan antara kecemasan,
seperti dalam sintagma //Menghitung atau dihitung waktu/aku meremah
pada sejarah/siap diembus kebodohan// (“Senja /40/”) dan pengharapan, seperti
terbaca dalam sintagma //ada halaman berikutnya dari buku doa dan
pertobatan/yang menjanjikan pagi lain lagi// (“Senja /48/”). Dapat dikatakan, diksi kanvas dalam tiga sintagma menjadi metafor partisipan orang pertama
aku yang terarus dalam diksi doa sebagai metafor kecemasan dan pengharapan dalam tiga
puluh sintagma.
Poskriptum | Pada dasarnya, analisis teks
puisi seperti terbaca pada tabel 1 dan 2 dibuat untuk menjadi jalan penafsiran
pada saat teks diresepsi pembaca potensial.
Pertimbangan dan perimbangan diksi dalam sintagma puisi merupakan
disposisi teks yang menyertakan paradigma teks, baik yang selingkung (asosiasi)
maupun bukan selingkung (dissosiasi).
Kita dapat menempatkan ke-96 subtema puisi yang terdapat dalam buku
kumpulan puisi Mendaras/ Komposisi/ Senja
sebagai paradigma teks selingkung.
Sementara
itu, ada tiga buku kumpulan puisi, beberapa kumpulan cerpen, dan novel dari
penyair yang dapat dijadikan paradigma bukan selingkung. Bahkan, biografi
penulis atau penyair dapat dijadikan referensi terjarak yang direkatkan kembali
pada karyanya. Namun, untuk menerokanya diperlukan pembahasan lain karena
berhubungan dengan asumsi dasar atas teks dan bagaimana memahami serta
menafsirkannya. Dalam ulasan ini, teks diasumsikan sebagai monumen bahasa dalam
ruang tiga dimensi atau singkatnya kita sebut saja domain, yang dibentuk dari ordinasi fungsi X (sintagma), fungsi Y
(paradigma), dan fungsi Z (penyair terjarak).
Sintagma
puisi menjadi domain-domain renik yang membangun peristiwa dan makna. Peristiwa
dikukuhkan melalui kehadiran partisipan teks dan makna diteguhkan melalui
kohesi dan koherensi rangkaian peristiwa yang menyiratkan kisahan. Baik sebagai
penyair maupun pembaca, kisahan menjadi jembatan yang menghubungkan adanya teks
(yang menyertakan referensi-diri teks dan makna otonom teks) dan bentuk-bentuk
pengetahuan khas yang dimiliki oleh pembaca potensial. Pemahaman terhadap teks
puisi yang diantarai oleh analisis kisahan ini akan memperkaya pengetahuan
pembaca dan bersifat relatif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena resepsi atas
teks akan berhubungan dengan konteks sosial dan budaya pembaca potensial yang
menyejarah par excellent. Tabik!
Mangkubumi,
9 Agustus 2021
*Penulis:
Nizar Machyzuaar, pembelajar tekstologi dan stilistika selain intens menulis
puisi dan esai.
Esai
disampaikan untuk acara Diseminasi Buku Kumpulan Puisi Mendaras/ Komposisi/ Senja karya M. Irfan Hidayatullah yang
diterbitkan Yayasan Mata Pelajar Indonesia 2021. Diseminasi digelar pada hari
Jumat, 13 Agustus 2021, penyelenggara Penerbit Mata Pelajar Indonesia dan Forum
Lingkar Pena Jawa Barat. Narasumber: Dr. M. Abdul Khak (Kepala Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa, Kemdikbud Ristek), Dr. Abdul
Wachid B. S. (Ketua Senat Guru Besar UIN Saifudin Zuhri), (Kandidat) Dr. Baban
Banita (Dosen Pengkajian Puisi, Jurusan Sastra Indonesia, Unpad), dan moderator
Topik Mulyana, M. Hum. (Dosen Filsafat, Unpar).
Biodata Penulis:
Nizar Machyuzaar
Penulis,
aktif di organisasi Mata Pelajar Indonesia,
Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk, Gelanggang Sasindo Unpad. Karya
tulis dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo, Majalah
Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita
digital. Karya: Buku puisi bersama Doa Kecil (1999), buku puisi
tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi
Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Pengelola inskripsi.com. Terbaru, esainya dimuat di laman artikel Badan
Bahasa Kemdikbud.go.id berjudul 1) “Narasi Subversif, Mitos Baru di Era
Digital, 2) Pandemi Kleptoteks: Kluster Baru Dunia Maya, dan 3) Akar dan Pohon Sastra, 4) Berpikir Kritis Ala Warganet