Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Ahmadun Yosi Herfanda

1


PERJUMPAAN RINDU  

 

Tiap berlayar selalu kuingat saat berlabuh

Sebab Cintaku padamu tak pernah angkat sauh

Dengan layar perahu kurentang Rindu

Namun angin membawaku semakin jauh

Walau gemuruh ombak mengaduh

Minta dermaga kembali mendekapmu

 

Adakah ombak yang tak rindu pantai

Adakah pantai yang tak rindu ombak

Adakah dermaga yang tak rindu perahu

Adakah perahu yang tak rindu dermaga

Ombak telah membuktikan kesetiaan pada pantai

Padanya ia selalu melabuhkan kecupan

Tiap detik tak lepas dari kasih sayangnya

 

Setiap berlayar selalu kucatat

Waktu kembali berlabuh padamu

Tunggulah. Rinduku takkan lupa

Hangat pelukanmu

 

Tanjungpasir, 2021

 

 


 



DOA UNTUK NEGERIKU

 

Seperti harapan yang engkau tabur

Aku pun menebar rasa bersaudara

Jika hari kembali terjaga dalam gairah kerja

Aku selalu berdoa, untukmu, negeriku

Untuk keselamatanmu, untuk kejayaanmu

Walau corona masih menghantuimu

Dan wabah gelombang ketiga menakutimu

Aku ingin engkau tetap tegar dalam langkahmu

 

Kutebarkan kata-kata bijak

Mengusap wajah-wajah para pekerja

Menepis covid, berlindung selembar harapana

Mereka menumpang gerbong-gerbong kereta

Dan bus-bus antarkota. Mereka dari desa ke kota

Lalu lenyap di balik gedung-gedung berkaca

Di tanganmu yang perkasa, mereka

Menganyam cita-cita, sehasta demi sehasta

Juga untukmu, tanah airku

 

Kini doaku mengental, menjadi sajak

Yang dengan senyumnya mengucapkan

Selamat malam, selamat menuai mimpi

Lalu dengan sayap makna menari-nari di udara

Menciumi tiap pipi yang merona oleh sapaannya

 

Esok hari dengan seribu sayap bidadari

Sajak itu akan membawa sekuntum bunga

Bagi tiap warga negara. Berharap tiap kelopaknya

Mekar jadi tawa dalam rasa bersaudara.

 

Jakarta, 2021

 

 

 


 


SORE DI PANTAI

 

Masih kutemukan sosok itu bermain di pantai

Hari itu, Sabtu sore, empat puluh tahun lalu

Tubuhku yang dekil, dengan kolor merah tua

Mengejarmu melintas pasir yang menyimpan luka

 

Seperti tak ada yang berubah. Ombak masih setia

Mengusap bibirmu yang basah, dan para nelayan

Dengan perahu-perahu kecil, menganyam masa depan

Bersama angin dan rinai hujan. Sesekali kakap

Dan cakalang, kadang kue atau tengiri,

Berserah diri pada jala dan kail nelayan

 

Di barat kulihat kaki langit yang redup

Oleh tumpukan awan, dan di timur kegelapan

Mulai menelan sisa-sisa air hujan

Pada saat seperti itu, dulu pun aku mulai berkemas

Meninggalkan pasir dan ombak, meninggalkan

Segala kenangan, tanpa bidikan kamera

 

Hanya sebingkai senyuman bintang

Membawaku kembali ke kampung halaman

Dalam rasa asam-manis buah mempelam!

 

Kaliwungu, 2020






 

SUARA TANGIS ITU

 

Kudengar lagi suara tangis itu

Tangis anak-anak yang kehilangan ibu

Pelarian dari negeri yang dihujani peluru

Tapi ini di teluk Jakarta

Bukan di Selat Malaka

Dan aku sedang mengail ikan

Di antara rumpon dan karang

 

Ah, adakah mereka tersesat di sini

Dan perahu mereka terbalik

Sebelum menyentuh pantai?

 

Tak ada anak-anak di perahu ini

Kecuali para pengail yang bersedih hati

Mendengar suara tangis itu lagi

Mungkin tak jauh dari sini

Ada perahu serombongan imigran

Yang terombang-ambing tanpa nakoda

Dan tak tahu akan berlabuh ke mana

 

Tak ada anak-anak di perahu kami

Tapi rintih dan suara tangis mereka

Terdengar sampai di sini

 

Jakarta,  2017






 

SENJA DI ULELE

 

seperti tak tersisa lagi derita itu

petaka yang dilukis jari-jari tsunami

dan luka yang digoreskan senjata api

wajah-wajah kini sumringah lagi

melambaikan cinta pada senja jingga

langit tersenyum mengecup matahari

menyapa tarian burung dan ikan pari

 

akankah kau hadir lagi senja ini

kembali menoreh harapan di pasir pantai

atau hanya kenangan pahit itu yang terbagi

: tiga helai rambutmu tersangkut di batu,

  sesobek kerudung ungu di ujung kakiku,

  dan jasadmu yang mengapung

  bersama pecahan dinding perahu

 

seperti tak tersisa lagi petaka itu

meski lelehan air mata tentangmu

tak terhapus telapak waktu

 

Banda Aceh, Maret 2019


 

 

 



 

Tentang Penulis


 

AHMADUN YOSI HERFANDA adalah alumnus FPBS Univ. Negeri Yogyakarta (UNY – d.h. IKIP Yogyakarta). Pernah kuliah di Univ. Paramadina Mulya dan menyelesaikan Magister Komunikasi di Univ. Muhammadiyah Jakarta. Ia lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958. Dikenal sebagai penyair social-religius. Ia adalah salah seorang penggagas dan pencanang forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum penyair yang diadakan secara bergilir di Negara-negara Asia Tenggara, dan salah seorang deklarator Hari Puisi Indonesia (HPI) yang dirayakan secara nasional tiap 26 Maret. Selain puisi, ia juga banyak menulis cerpen dan esei sastra.  Sejak 2010, mantan redaktur sastra Harian Republika  ini mengajar penulisan kreatif (creative writing) pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong. Ia sering menjadi pembicara dan pembaca puisi dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional di dalam dan luar negeri.

Ahmadun juga pernah menjadi ketua tetap Jakarta International Literary Festival (JILFest), anggota pengarah Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), anggota dewan penasihat Malay Studies Centre Pattani University Thailand, ketua Lembaga Literasi Indonesia (Indonesia Literacy Institute), dan pemimpin redaksi portal sastra Litera (www.litera.co.id ).  Ia juga pernah menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 2009-2012), ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 2007-2012), ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1996), ketua Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2012), dan anggota tim ahli Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud RI bidang Sastra (2014-2015).


Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Sang Matahari  (Nusa Indah, Ende Flores, 1980), Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1991), Sembahyang Rumputan  (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Fragmen-fragmen Kekalahan (Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Ciuman Pertama untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004 -- meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa, 2008), Dari Negeri Daun Gugur (Pustaka Littera, 2015), dan Ketika Rumputan Bertemu Tuhan (Pustaka Littera, 2016) – terpilih sebagai buku unggulan (5 besar) dalam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Sedangkan buku kumpulan cerpennya yang telah terbit, antara lain Sebelum Tertawa Dilarang (Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, 2004), dan Badai Laut Biru (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004).***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags

Post a Comment

1 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Join the conversation(1)
To Top