Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Eka Budianta

0

 


SUNGAI SEJATI

 

Sungai sejati tidak mungkin sendiri

Ia harus berguna untuk rusa dan kura-kura

Bermanfaat untuk manusia dan kota-kota

Sungai sejati mengalir di hatimu dan hatiku

Ia merelakan jembatan melintas di atasnya

Supaya tebing-tebing tidak merasa kesepian

Seperti aku menyapamu  di ujung malam

 

Sungai sejati berteman rembulan,

Menyusuri hidup bersama matahari,

Dihadang banjir, bertahan  dalam hujan

dan kemarau yang mengeringkan.

Sungai sejati mendapat seribu mimpi

Seribu doa dan seribu tugas baru 

Menunggunya di sepanjang perjalanan.

 

 

2021

 


 

 


MONIKA ANDAYANI

(1935 – 2009)

 

Sederet pohon bunga tanjung

Di Jalan Theresia pagi hari

Mengingatkan ibuku yang agung

Jalan kenangan hidup abadi

 

Wanita yang melahirkan aku

Tidak mudah sakit hati

Menampung semua kenakalanku

Dengan lembut sampai mati

 

Pohon tanjung sebatang diri

Tidak beradik tidak berkakak

Seperti  ibuku seorang di dunia

 

Sekarang kucatat cinta ibunda

Dalam perjalanan di pagi hari

Ketika usiaku mulai senja.

 

9 November 2021

 


 

 


TOETI HERATY

(1933- 2021)

 

Siang itu seorang ibu di Plaza Oktroi

Mengumpulkan kami santap bersama

Tokoh-tokoh gembira dan berjasa. Hanya

Setelah dia pergi, kami tidak bertemu lagi

 

Hidupnya teladan syukur dan makmur

Menampung sahabat di Bandung, Singapura,

Paris, Sydney, Bali, Jakarta dan Amsterdam

Yang penuh lukisan dan lezatnya masakan

 

Lain waktu kami makan di Jalan Cemara

Bawa pulang semua rempeyek teri, katanya

Seperti ibuku, ia tahu lauk kesukaanku.

 

Seorang ibu di jalan-jalan kota Leiden

Menunjukkan kamar Albert Einstein

Yang malam itu dinikmati dalam tidurnya.

 

 

9 November 2021

 


 



HERAWATI DIAH

(1917 – 2016)

 

Siapakah perempuan anggun itu?

Mengumpulkan teman di Senayan

Dalam ulang tahunnya ke 99?

Maaf. Aku tidak akan lupa suaramu

 

Di senja yang kering ibu menelponku

Kita sediakan kantor untuk teman-teman

Kita bayar rekening listrik dan air, katanya

Kereta api lewat – aku tidak mendengarnya

 

Kamu tinggal dekat rel kereta? Dia bertanya

Betul – jawabku bangga.  Ibunda terdiam

Itulah telpon terakhir di jalan kenangannya

 

Seorang ibu dengan pohon lontar

Menjulang di halaman depan rumahnya

Sudah beri dan terima penuh kasihnya.

 

9 November 2021






Tentang Penulis

 


EKA BUDIANTA dilahirkan (1 Februari 1956) oleh Ibu Monika D. Andayani (1935-2009), dididik dan dibesarkan oleh banyak ibu yang dijumpainya di bumi ini.  Dua di antara ibu itu adalah Toeti Heraty Roosseno (1933-2021) dan Herawati Diah (1917-2016).  Kepada tiga orang ibu itulah puisi-puisi soneta ekstravaganza ini dipersembahkan. Tentu, masih banyak ibu lain yang dicintainya. Terutama Ibu Melani Budianta, pasangan hidupnya sejak belajar menulis puisi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta 1975.

Christophorus Apolinaris Eka Budianta atau lebih dikenal dengan sebutan Eka Budianta merupakan anak pertama pasangan Thomas Astrohadi Martoredjo dan Monika Dauni Andajani. Setelah lulus dari SMA ST Albertus di Malang (1974), Eka Budianta melanjutkan pendidikan ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Di FSUI ia mulai menulis dan menerbitkan karya-karyanya (1975-1979). Pendidikan terakhirnya lulus program kepemimpinan lingkungan dan pembangunan (LEAD, Leadership for Environment and Development) dengan studi lapangan di Costa RicaOkinawa dan Zimbabwe (1995-1997).

Dalam perjalanan kariernya, Eka Budianta pernah menjadi wartawan majalah Tempo (1980-1983), koresponden koran Jepang Yomiuri Shimbun (1984-1986), asisten pada Pusat Informasi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNIC) UNIC, BBC London, UNDPPuspa Swara, dan lain-lain. Ia ikut aktif dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk Bina Swadaya, Komunitas Sastra Indonesia dan Yayasan Dana Mitra Lingkungan (1994-1998). Eka Budianta juga tercatat pernah mengikuti Iowa Writers Program di Iowa, Amerika Serikat.

Karya-karya Eka Budianta pernah dimuat di majalah SemangatYogyakarta, dan di harian Sinar HarapanJakarta. Buku puisi pertamanya terbit pada tahun 1976 berjudul Ada. Prof. Dr. A Teeuw dalam bukunya Modern Indonesian Literature II (The Hague, 1979) meramalkan Eka Budianta akan menjadi nama besar dalam dekade 1980an. Bukunya Cerita di Kebun Kopi (Balai Pustaka, 1981) dinyatakan oleh pemerintah sebagai bacaan di sekolah. Sedangkan kumpulannya Sejuta Milyar Satu dipilih sebagai bahan literatur tambahan dan mendapat penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta (1985).

Bersama F.Rahardi mendirikan Yayasan Pustaka Sastra, yang mengkhususkan diri menerbitkan karya sastra. Fajar Sastra merupakan kumpulan dwibahasanya yang dipadukan dengan foto-foto Boedihardjo, diterbitkan Pustaka Sastra awal 1997.

Eka Budianta menikah dengan Melani Budianta yang kini menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dari pernikahan ini, Eka dan Melani Budianta dikaruniahi empat orang anak (seorang meninggal).

Buku karya Eka Budianta : (1) Bang Bang Tut (Kumpulan Puisi, 1976), (2) Ada (Kumpulan Puisi, 1976), (3) Bel (Kumpulan Puisi, 1977), (4) Rel (Kumpulan Puisi, 1977), (5) Sabda Bersahut Sabda (Antologi Puisi bersama Azmi Yusoff, 1978), (6) Cerita di Kebun Kopi (Kumpulan Puisi, 1981), (7) Sejuta Milyar Satu (Kumpulan Puisi) Puisinya tersebut mendapat pujian Dewan Kesenian Jakarta (1984), (8) Lautan Cinta (Kumpulan Puisi, 1988), (9) Rumahku Dunia (Kumpulan Puisi, 1993), (10) Menggebrak Dunia Mengarang (Bacaan Umum, 1992), (11)  Dari Negeri Poci (Antologi Puisi, 1993), (12)  Mengembalikan Kepercayaan Rakyat (Esai, 1992), dan (13) Api Rindu (Kumpulan Cerpen, 1987).

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top