Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Irfan M. Nugraha

0



BLUES


Notasi ini tak sekedar lahir dari kesedihan

dan berlayar pada garis birama. 

Partitur minor dan mayor berenang lurus;

Betapa takdir kerap kali menggerus wajah tirus ini.


Dari kota ke kota, menyusup di antara lanskap, seperti juga bayang seekor kuda di tengah padang pasir yang rindu mekar kelopak bunga. 


Apakah ini sebuah ritual, pada keriuhan yang menolak sekal?


Atau sebatas terumbu, hidup di akuarium kotamu.


Tetapi selembar mimpi tentang kebebasan seperti daging panggang, begitu lekas dilahap lengang. 


Sepasang benduan menjatuhkan gerimis pada curam suara akustik, terasa benar kebebasan hanya seluas mata itik.






BLUES HARI INI
-Buil


Blues hampir pingsan, 

dan hari ini kau mainkan lagi Delta

setelah menariknya dari jauh kelahirannya.


Di batas sepi ini, 

kau memainkan kenisbian derita 

melalui nada-nada pedih,

pada petikan akustik 

yang membuat gigil secangkir whizky.


Kau nyanyikan melankoli, tentang mimpi

menyebrangi kemiskinan dan 

tentang kemiskinan 

yang membatasi kesenangan.


Meski tak ada lagi 

selembar daun surga hari ini,

Tapi terasa benar seolah kau 

membawaku ke arah niskala.






PARTITUR 


Kita telah melewati lagu ke dua puluh, 

Dan kau telah menyihir dirimu sebagai perahu,


"Naiklah ke punggungku 

agar bisa menyebrangi partitur ini"


Begitu katamu sebelum pergi. 

Kini aku duduk di pundakmu

menyaksikan beberapa ekor penyu 

timbul-tenggelam, padahal hari 

sudah hampir malam.


Tangga nada seperti juga jalan berombak 

yang harus ditempuh. Meski tubuhmu terhuyung, 

pada garis birama yang menusuk palung. 


Seorang perempuan di bibir pantai

melambai dengan airmata 

sepanjang rambut Rapunzel, 

lalu kita menyatu dan menyadari, 

jarak kita tak seluas garis mimpi.






TAFSIR TERAKHIR


Kini aku telah selesai pada pengembaraanku;

enam juntai kalimat, sepuluh angka pucat, sehelai

sepi, dan empat kisah nabi terbang ke langit menunggangi


seekor gajah sayap cahaya. Kau mungkin bertanya:

apalagi hendak kau arungi pada rumput tirus ini?


kertas berdebu, ampas kopi sisa semalam, ricuh prenjak

datang begitu saja ketika setangkai mawar patah-jatuh

dari ranting rambutku.


jika kau bisa menyentuh kilau di dalam tubuhmu, 

akan ada getaran merangkak dari atap tulang igamu, 

dan akan kau lihat detak jantung tiap kata dari halaman 


terakhir itu, katamu. Tembok berlumut, biji kapulaga, 

dan rak-rak berdebu. Pada hari itu, jangan pernah bertanya;

Kemana angka-angka pergi setelah hari ini?






MEDITASI 

1/


Cahaya warna ungu, kilau seputih gandum, mengekalkan sederet suara di balik mata yang lain. 


sudikah tuan menggeser tubuh dari tempat duduk itu? Sedang aku melihat galaksi berputar di balik keningku.


2/

Angin basah di kelopak mataku, mengalir naik membasuh planet-planet yang merangkak di keningku.


Aku ciptakan matahari, cahayanya luntur di sekujur tulang igaku. Dua belas cawan tak mampu menampung, ribuan urat tak mampu membendung.


Kini jantungku panas api, mendidihkan darah, melebamkan amarah.


3/


Seorang Bathara mandi keramas, di depan pintu piramida warna emas. Jangan pernah kau sangsikan, letak batas sadar dan mimpimu.






NARASI BANYUMAS

/I/

Tanah ini tak pernah gelisah, seorang kusir menarik kereta melewati jembatan Serayu di mana orang-orang biasa menghanyutkan sial ketika bulan mengambang, dan gelombang arusnya memecah pemandangan itu. 

Tak ada bias cahaya, empat ekor kuda putih setengah berlari, dan sepotong kabut membius jalan ular di Kaliori, jalan pelarian hantu dan para bajingan, juga jalan menuju gubuk seorang pertapa.

Kendati ia seorang pertapa, tetapi tak ada kegelapan di rumah itu. Ia asuh setangkai bunga dan mengirim wangi itu ke hati setiap orang. Semesta menjadi siswa dan melahirkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan agung tak pernah terjebak tempurung.

Ia mengasah sisa garis-garis hujan pada pangkuan selembar daun kelor. Burung-burung bercericit dan matahari merekah. Burung-burung turun dari punggung Gunung Slamet sejak subuh hari untuk mengaji. Hanya sebatas mencari keramaian dan bermain-main. Sebab tanah ini cukup menyemai-hidupkan makanan lima abad ke depan!

Bau garam dari laut dan sayur mayur perbukitan, serta sangrai pepes peda cukup hangat pada berisik musim kawin. Tapi kebijaksanaan bukan perihal isi perut.

/II/

Kau dibalut dengan baju aspal dan pepohonan beton menjulang tinggi. Riuh angin tak terasa, bising arus kali semakin tak terdengar lagi. Burung-burung memilih memasuki ruang-ruang sunyi. 

Tak ada lagi rumah bagi seorang pertapa.

Bunga-bunga tumbuh dan kolam mulai terisi air di jantungmu. Tubuhmu semakin kurus dan bajumu telah robek pada setiap tikungan. Pagi-pagi sekali kau merasa demam dan menggigil bukan lagi karena musim. Asap dari lembaran angsuran dan vapor yang kian angkuh. Tapi orang-orang itu semakin lupa untuk mengganti bajumu.

Mungkin, kelak kau akan melepas seluruh bajumu. Pergi mengunjungi sunyi yang purba. Meninggalkan segala kehendak dan keinginan, sebelum kembali menjadi rumah bagi para pertapa. 

2017






RUMAH MASA DEPAN

kesunyian membawa kita menyentuh daun pintu yang lain: sebuah cakra merekam benda-benda yang berbincang ketelingasan manusia; wadah setiap amarah dan sungai yang mengalirkan kobar api dan air; lalu kita menyadari jarak kematian hanya setipis kulit telur.

masa depan adalah muasal setiap gejolak yang melaju seperti perahu pada setiap jalan keinginan; menyisir lekuk-lekuk tubuh sungai mimpi; memunguti batu-batu rencana; pondasi-pondasi rumah ditanam; meratakan rumah-rumah yang menutup jendela rencana yang lain.

dengan amarah segalanya telah mengalir; riwayat qobil hingga pandemi yang nisbi; lalu kita begitu mudah melupakan sepiring nuklir yang tersaji setiap hari di tanah para nabi.

tetapi selalu ada sejarah yang lupa dituliskan; gemulak birahi yang dijerang pada pertunjukan surat kabar; lanskap airmata dan panen darah yang dicabik oleh lensa; si hidup yang mampu membendung jalan sang waktu.






KALIBENING

* Achid BS


dari timur kau merangkak bersama kuda besi.

mengunjungi serayu dan seorang syekh di Bukit Kalibening.

daun-daun pohon bambu, dan akar yang tabah

ratusan tahun memeram bau tanah

yang tertampar doa-doa para santri.


ini puisi, katamu.


angin terbang tanpa ekor di pantatnya, menembus simetris jaring laba-laba;

lalu, bagaimana selembar firman jatuh di pelataran Kanjeng Nabi?


padahal tanah kering, tetapi air begitu deras mengalir

seperti dzikir mengucur dari bibirmu.


di bukit ini seorang syekh menanam batu

tapi buah-buahan di sini terasa begitu perdu

sedangkan sisa napak tilas ini,

telah merekam wangi bunga-bunga bambu

yang hanya lahir di bukit ini.


2017






DONGENG PESISIR


alkisah lelaki tua 

menutup pintu goa 

mencuri cinta sebesar biji kedelai.

lalu terbang

membawa jantung kembang kenanga 

di gelungan ayu imitasi jin segara itu.


pesisir menanam, pada bentangan 

matahari terbenam, pasir-pasir menghangatkan 

derai sayup angin dan badai. 


cinta sebesar biji kedelai,

kini telah tumbuh bagai sebuah wasiat.


cerita tutur merawatnya, berlompatan 

dari lidah ke kisah. Hidup seperti 

raja kecil yang belajar memainkan sabda;   


malik Ibrahim... ya malik Ibrahim

yaa maulana maghribi... maulana maghribi


sabda yang mengundang angin subuh, sabda yang 

mendulang gedebur ombak. Kerincing kereta selatan,

menyalami pendoa yang linglung menuju jalan pulang.


malik Ibrahim... yaa maulana maghribi...


wasilah membelah segara 

seperti jalan setapak pada kisah Musa,

dan wangi kembang yang tenggelam

seharum hajat yang tercecer pada sayap doa.


2021






SEBUAH MISA DI JALAN MENEMBUS GOA MARIA



Burung-burung mengalun begitu pelan, 

daun-daun meringkuk, dan siul kutilang

bagai sebuah doa.


Hari ini yang terakhir 

mata kita bersulang pandangan, katamu.


kita merayakan sebuah kepergian,

di antara nama-nama yang tertulis manis

di atas lembaran keramik.


udara lembab, 

airmata seperti kristal, 

dipetik suara kedasih di pohon mahoni


betapa hidup adalah menerima

sepasang telapak tangan yang

diulurkan semesta 

pada jalan penjelmaan yang lain.


sedangkan aku melihatmu, 

menyatu dengan debu tanah

yang menguap terbang bersama angin

sore itu  






DI KAYANGAN

* Iyos


sebelum menyebrang ke Sumbawa, kedip matamu 

jadi hantu di Kayangan. kabut runtuh pada batas pelabuhan.

kapal-kapal mengangkut perih ke pangku laut. dan kau mengiris

mimpi-mimpi itu dan melemparnya ke dasar tapal.


pernah suatu kali di pelabuhan ini, bayanganmu datang

dan mengisahkan beberapa kejadian; ikan-ikan mati

di dalam bangkar yang ditinggalkan. dan kau menangis

pada derik senja yang pualam.


tapi aku juga ingat hari itu. airmata tergelincir di simpang waktu.

kau berjalan sebelum meninggalkan kecupan

dan tubuhmu menipis pada pelupuk mataku.


2017






RENCANA BERPERGIAN


kita pernah mengumpulkan rencana untuk pergi dari kota ini;

dua liter cikakak dan selembar daun kecubung, akan membawa

kita bertemu para nabi di langit yang agung.


barangkali kau ingin berjalan di tepi segara, menangkap binatang

yang membuat seorang penyair di tepi pesisir ini

memilih menulis puisi, ketimbang menanam secangkir dendam.


di sana kita juga bisa berjalan menaiki tangga di bukit kecil, 

dan kau akan melihat jika laut begitu mungil,


atau kita berdoa di bukit kecil itu, mengantongi restu 

dari mulut Semar. lalu seekor anjing buntung 

menguntit hingga ke tepi mercusuar.


tapi rencana tak selalu menjadi rencana. simpul-simpul 

keinginan berbenturan kerap jadi bencana. sebab nyatanya

kita tak pernah pergi kemana-mana.


2017






JALAN DAUN


Daun itu jatuh diarak sungai ke hulu-muara tanpa pernah sampai ke batas laut yang setia menyimpan kerinduannya. Ia menjelma pertapa yang menyelami doa-doa, agar sampai ke dasar sunyi yang jauh dari gaung bunyi-sebab di sana ada sebuah rumah tempat di mana kepergian dan kepulangan hanya lewat satu pintu.


tubuh kuyupnya hampir membusuk, pada tirisan air hujan ia menepi ke sisi sebuah batu. pada muka waktu yang hampir habis, gelap turun mengaburkan bayang dirinya-ia lelap tanpa isyarat suara. ketika terbangun ia telah tumbuh di sebuah pohon menjadi diri yang tak pernah ia kenal, tanpa pernah ia rencanakan.






Tentang Penulis



Irfan M. Nugraha, lahir dan besar di Purwokerto. Suka membaca puisi. Bekerja lepas sebagai Digital Marketing untuk brand-brand lokal UMKM. Hidup berpindah-pindah antara Purwokerto-Balaraja-Borneo (Tidak bisa dihubungi). 


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top