Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Novia Rika Perwitasari

0



HUJAN DAUN TEH

 

terjun angin pagi melapis bukit 
turuni teras lereng
disekat sendekap dedaunan teh
meramu katekin dan cincin aromatis

 

hijau dirajut tanah berbukit
dimana lembah terkepung kabut
bunga-bunga dingin merekah
menyemai damai di rekah wajah

 

pemetik teh datang pada sinar pagi pertama
singgah cahaya di pucuk-pucuk daun
manisnya berkitar, aroma alami
meresap ke dasar bumi

 

daun-daun rebah sekeranjang bambu 
berpindah dalam genggaman
bergoncang di getar langkah dan laju roda
turuni lembah berbisik

 

angin taburkan daun teh dari langit
melesat wangi lembut resap ke dada
daun-daun tumbuh di wajah bumi
melukis hidup hari ke hari
atau, jadi hujan di penghujung hari

 

 

 

 


KIDUNG BUNGA

 

Serpih debu melayang
Retih masa lalu beterbangan
Letih tersuruk kelu di ujung jalan
Bunga-bunga liar mekar
Di antara liang penuh akar
Derita membelukar

 

Tak ada yang tahu seberapa lelahnya
Menghirup napas sekali lagi
Gigil sendi dan getar sel
Beresonansi dalam terpaan waktu
Menyusur jalan seribu kelok
Menyasar padang berlimpah cahaya

 

Ingin aku percaya
Pada hatiku yang bicara
Bunga-bunga kering pun akan mendedah
Bebiji runtuh ke bumi
Di sepanjang tanah yang kujalani
Lalu warna mekar sekali lagi

 

Bila hidup ini serupa garis tanganku
Tumpang tindih dan bercabang
Maka dimana kutemui akhir perjalanan?
Yang berbunga di ujung jari
Selepas taburan bunga mengendap
Di atas zikir pusara

 

 

 

 


RIMBA TAK PERNAH HENING

 

Serasah basah
Lumut melapisi tanah
Sinar jarang bertandang
Terhalang ranting melintang
Pekat auramu
Terhimpun tajuk dedaun
Tinggi, tinggi di sana
Mengunci ketukan langit

 

Batang-batang mengulir umur
Pada ukir lingkaran tahun
Dipompa pembuluh kayu
Rekah-rekah kulit adalah bukti bakti
Gugus pepohon kepada bumi

 

Di sana tersimpan sinar
Gelap dalam mata
Di bawah lekuk dahan liuk menjulang
Rimba menjembatani langit-bumi
Menghimpun hewan-hewan malang
Sengit pertarungannya sendiri
Penuh suara nyaring-lirih
Tersusup pada jalinan akar dan pucuk dedaun

 

Nyawa terbuka pada genggam hutan
Memahami arti buas dan nasib
Disitulah sumber segala hidup
Dari akar tipis di kubur bumi
Mengalir hara ke pucuk menara hijau
Menghembus oksigen tanpa suara
Inti nyawa penghuni bumi
Meski dunia menepikannya






TERBANG KERANDA

 

Ada yang mati hari ini
Tetangga lima rumah jauhnya
Yang artinya maut begitu dekat
Entah siapa namanya
Jaman sekarang silaturahmi entah mengapa
Begitu jauhnya

 

Ketika mayat dikuburkan
Menjelang maghrib pelayat bubar
Selepasnya doa dan shalat ditegakkan
Serupa bunga yang disebar ke angkasa
Sebagai jalan yang mati ke surga
Hanya Tuhan yang tahu

 

Larut malam tangis mereda
Duka pun butuh waktu lelapnya
Sirap malam memantra jalan desa
Nyala temaram oleh barisan teplok
Di dinding-dinding rumah

 

Malam itu di dekat kuburan
Keranda besi berderit tanpa angin
Engselnya mengatup sendiri
saat burung malam menarik diri di balik pepohon

 

Malam itu keranda terbang sendiri
Saat angin henti bernapas
Mungkin esok maut datang lagi
Manusia tak pernah tahu
Hanya malaikat,
tindak atas ketetapan-Nya

 





RAYU IBLIS

 

Membaca bumi tua
Memancar darah gelap
Dari nadi yang bergolak
Penuh muslihat setan

 

Bersemayam kengerian
Di balik wajah manusia
Selapis tipis
Tersembunyi rahasia iblis
Mungkin akan sampai masanya
Bumi bermandi darah

 

Sungguhkah manusia mulai lupa
Pada jiwanya sendiri
Kejahatan subur dihantar setan
Meluncur tangan-tangan manusia
Terjebak nafsu, harta dan selangkangan
Lalu tanya mengimbuhi langit,
makhluk apa ia sebenarnya?

 

 

 


DUA SISI BUMI

 

Air mata langit mengalun biru di angkasa
Hanyutkan debu kelabu dari wajah bumi,
di bibir kegetiran
Manusia tumbuh, katanya, berhati suci
Menumbuhkan kehidupan di lapisan bumi
Di bawah garis doa sehalus lembayung
Namun hati manusia tak sesuci itu

 

Ribuan ruang kosong bergaung dalam relung
Tak tersentuh, tak terengkuh
Teraliri uap pekat tangis yang mengendap
Dalam sisi gelap yang beranjak semarak

 

Manusia di muka bumi memiliki inti suci
Tak sedikit yang hilang di pusar badai kesadaran
Hati kelabu menghitam, kaku, batu
Jiwa hilang dibenam derita nafsu

 

Di sudut-sudut bumi yang hening
Di sudut-sudut hati yang bening
Ingatlah sekali lagi cinta tulus
Pada tawa matahari dan anak-anak polos
Pada lembut hujan dan kasih kekasih
Pada binar awan dan keluasan hati

 

Dunia semestinya semesta yang memberi sukacita
Dalam duka pun tersimpul senyum
Dalam luka pun amarah tersiram tabah
Sisi hitam dunia tak harus mengelamkan hati
Di balik bumi, sejatinya terang menanti
Hati, janganlah bersembunyi
Di balik kegelapan yang kau cipta sendiri







LAUT PUN TAK BERDAYA

 

dan laut pun tak berdaya menampung air matamu
turun dari kebisuan biru yang menutup cahaya
percik ombak begitu kau suka
membasahi wajahmu lalu kau bisa berpura-pura
menyembunyikan asin tangismu

 

garis pantai memanjang di tengah-tengah jalur karang
putih bertabur nisan kerang
menyala di bibir pertemuan ombak
ketika angin dan badai menapak batas langit

 

selalu kau gemuruhkan luka-luka
pada larutan garam penawar itu
mungkin kau pikir dukamu akan berlayar pergi
tapi kau tak mau beranjak dari sinar suram badai

 

sudah kubilang aku akan menjemputmu sebelum badai
mengikat angin dan riak ombak
tapi kau tak pernah mendengar,
dan tak mau menunggu

 

maka ketika aku tiba,
aku menangis di atas jasadmu yang mengapung di lautan

 

 

 

 


PUSARA DADA

 

Ada pusara dalam dada
Dimana kau kebumikan rasa
Dan nama yang kau kebumikan
Dalam geliat tanah
Menunjuk langit dengan cara rahasia

 

Taburan bunga melukis doa
Warna-warna merasuk ke wajah
Ada lintas angan dan kenangan
Dalam tiap jumputan mahkota
Di atas pusara yang terdiam

 

Sunyi,
Musnahkan keluh yang memeluh
Diam,
Merentang napas sehalus bentang satin
Diam-diam kau ingin turunkan hujan
Mengalirkan taburan bunga di atas tanah
Terlumat lumpur dan bunga-bunga tanah
Meninggalkan kita pada bentuk asli

 

 


BELUKAR DI NADIMU

 

Belukar di nadimu berkembang liar
Melukis makar yang mekar di telapak tangan
Bukan henna, meski terlukis dengan arah yang sama
Dari nadi ke ujung jarimu

 

Jemarimu itu telah lama sesat
Pada perjalanan-perjalanan jauh
Dan perbuatan teluh
Telunjukmu itu telah lupa arah mata angin
Memendam cahaya dalam kubur mata hati

 

Maka seluruh tubuhmu, bermula dari nadimu
Mekarkan makar yang liar
Atas namamu,
Atas jiwamu,
Dan kau perlahan-lahan
Menjelma jadi belukar

 

 

 


DOSA

 

air bagai buih

keluar dari tubuhmu
ludah,
keringat,
air mata,
untuk mengeluarkan 
yang buruk di sana
sudahkah kau mengalirkan dosa
dari lautan hatimu?

 






Tentang Penulis

 


Novia Rika Perwitasari. Berasal dari Malang, saat ini dia tinggal di Tangerang Selatan. Senang menulis puisi untuk memberikan ketenangan dan menghidupkan jiwanya. Karya puisinya masuk dalam berbagai buku antologi puisi nasional serta beberapa media puisi internasional seperti Dying Dahlia Review, The Optimum Zine, The Murmur House, Haiku Masters by NHK TV Japan, The Poetry Kit dan World Gogyoshi. Pernah beberapa kali menjadi juara 1 penulisan lomba puisi nasional antara lain Majelis Sastra Bandung (2016), lomba puisi "Pindul Bersajak" oleh Forum Penulis Negeri Batu (2017), Writers on Vacation (2019), Writing Competition oleh Indonesian Youth Association (2020). Karya puisinya pernah menjadi materi promo Sumpah Pemuda tahun 2019 di salah satu televisi nasional. Penyair ini pernah terlibat dalam proyek penerjemahan puisi yang diselenggarakan oleh Intersastra Publisher (2020).

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top