MADAH MBAH BISRI DAN GUS MUS
Sehabis sembahyang
kualamatkan fatihah
Kepada madah bisri
sewangi kasturi
Terik rembang
menjelma mata air
Seperti cerita
salah satu kiai
Makammu ditumbuhi
bunga-bunga
Muasal ibriz yang kekal pada jiwa santri
Dalam kata-kataku
bisri bersua fansuri
Bertukar kabar
ihwal barus dan pantai utara
Sebab riwayat
kejadian bermula dari tanah-air
Pohon tumbuh dari
genggaman mereka
Gambar khuldi
diabadikan oleh nyanyian sufi
Sehabis sembahyang
kualamatkan madah
Kepada penyair
mustafa di dadanya
Semburat bijaksana
selaksa cahaya
Kemanusiaannya
genap sukma
Menjelma sayap
kupu-kupu
Mengakrabi taman
surga dalam palung kekasih
Manusia mustafa
gemar bertadarus
Mengajari santri
harkat pengembaraan sejati
Mendawam ibriz dan tafsir jawi
Tawasul kepada
hadratussyaikh hasyim asyari
Mustafa berkata,
“barangsiapa mencintai puisi,
ia bermakmum
kepada kanjeng nabi”
Selepas sembahyang
kulihat kaligrafi
Alif penyangga langit
seperti tongkat musa
Mukjizat
peribadatan semesta
Manusia mustafa
ingat bahwa
Iqra’ adalah
hakikat pengembaraan
Menyadap isyarah
cinta
Purwokerto, 2018
BAPAK PULANG KE KAMPUNG HALAMAN
Telah sampai
perjalanan bapak dari utara
Bising kota yang
diceritakan
Berubah menjadi
angin sahaja
Menghidupkan kenangan
kepada
Almarhum mbah
kakung; ia
Sedang bermain
merpati bersama adik
Bapakku yang
mendahului pergi
Sesampai di rumah
bapak membuka ransel
Mengurai tawa
bersama ibu dan adikku
Membagi kaus motif
bibir pujangga
Yang disinggahi
rokok tapel kuda
Bapak bercerita
pernah diberi won oleh orang
Korea dan seripilan dari taipan yang menyuruhnya
Membeli sarapan
Secangkir kopi
menyisihkan lelah
Bersama rokok yang
dihisapnya
Mengepulah asap;
aku bingung
Mana lokomotif dan
mana mulut bapakku
Karena keduanya
sama-sama menghantarkan
Usia dan gemuruh
doa orang-orang
Yang bersandar di
punggungnya
Selama tujuh hari
ke depan
Bapak akan
mengingat kembali masa kecil
Yang memanjang
seperti sungai di sebelah
Timur rumah mbah
kakungku
Ia bakal bermain
tenis meja
Atau bersepeda
jengki dengan gembira
Rantau bapak dari
jakarta adalah kembara
Selaksa peristiwa
yang dijaja dari
Pintu stasiun;
berangkat dan pergi
Di malam-malam alastu sebagaimana
Munajat ibunya
yang kerap menggambar
Ka’bah dengan air
mata
Purwokerto, 2018
LAUT CEMARA SEWU
Pantai adalah
hening musa setelah
Membaringkan jasad
raja adidaya
Orang-orang
menyedekahkan wajah
Dicatat sebagai
ziarah; meminjam
Tongkatnya untuk
mengabadikan gambar
Mumi dari dalam
altar
Nyiur bersyukur
sebab angin laut
Mengabarkan berita
gembira
Nelayan panen raya
ikan-ikan
Lompat kegirangan
masuk ke dalam perahu
Sedang penjaja
kopi membangkitkan
Gelak tawa turis
dengan topi paris di kepala
Cemara terhitung
seribu
Atawa jumlah yang
tidak terbilang
Menjadi ruang
peribadatan khusyuk burung
Gereja serta
pre-wedding adam hawa
Negeri pesisir
menjadi resepsi perkawinan
Tukang parkir
penjaga gumuk pasir
Pantai adalah
alamat larung sesaji
Tongkat musa yang
mengular
Menjadi tradisi gethok tular doa-doa
Para abdi Hyang
bersama tangga
Keramat syekh
maghribi yang
Membelah jalur
pendakian
Purwokerto, 2018
LAUT DAN YUNUS
Riwayat laut
seluas penciptaan
Gemuruh ombaknya
adalah muasal
Angin sore yang
kita hirup
Sebelum kita
menggembala mimpi
Riwayat laut
seperti darah mengalir
Dalam tubuh kita
Mentadabburi
hakikat kehidupan
Perahu di atasnya
ibarat doa
Riwayat laut
sepanjang ketabahan
Yunus berikrar
cinta dan penghambaan
Kau dan aku
tinggallah merawatnya
Agar gelombang
tidak mengenal murka
Purwokerto, 2019
ANGIN SI KUNIR
Aku menyadap hawa
dingin dalam hening bukit
Batu-batu licin
sebab berlumut
Orang-orang
mendaki berpegang tali waktu
Dan nasib yang
angkuh
Menjelang malam
tenda didirikan
Aku memeriksa sisa
perbekalan yang disiapkan oleh ibu
Ternyata tinggal
satu botol air mineral
Cukup untuk
menangguhkan dahaga dan ritual doa
Sebelum sampai di
puncak
Suara burung dan
gemuruh angin menjadi penanda
Bahwa jejak
pendakian tidak bisa diterka
Oleh musim
percintaan yang sepi
Deru kota adalah
puncak kesementaraan
Sedang puncak
bukit adalah muara falsafi
Sampai di puncak
sikunir
Aku bersemadi
dalam keheningan
Tasbih Matahari;
orbit dari segala bentuk puisi
Bersama angin-Mu
Aku menafasi jejak
pendakian ini
Purwokerto, 2019-2020
CIPAYUNG
Di kota yang
asing, bahasa ibu menjadi tanda pengenal
Sebab bahasa
adalah amunisi manusia paling purba
Simbol budaya yang
menjadi pertukaran tanda dan penanda
Siapa yang dari
timur dan siapa yang akan mengulum umur
Di cipayung, debu
meranggas mukaku yang muram
Kusimpan tangis
ibuku yang menggema di stasiun pemberangkatan
Agar suatu saat
bisa kudengar lagi melalui telepon dan doa sunyi
Menjadi perantauan
seperti masuk ke dalam medan peperangan
Perang ekonomi,
perang budaya, perang pengetahuan
Dengan bekal
sejarah kampung halaman dan uang tak seberapa
Aku mendaftar
praktik kerja lapangan di rumah sosial yang menampung
Orang dengan
masalah sosial dan kejiwaan
“Nah begitu, orang
daerah datang ke jakarta jangan malah ngemis”
Ucapan kepala
rumah sosial menyekat kerongkonganku yang haus
“Kami tetap akan
mengemis, Pak, mengemis pengetahuan dan pengalaman’
Jawabku pragmatis
Di rumah sosial,
aku dipersilahkan istirah di kamar klinik kesahatan
Artinya, aku harus
sehat jasmani dan rohani
Jika ingin
bertahan hidup di perantauan, apalagi
Rumah sosial ini
menampung orangorang kesepian sepertiku
Yang selalu
dihantui kekalahan
Di kota yang
angkuh, aku belajar menulis puisi
Ihwal nasib pucat
yang kerap merenggus penyapu jalan,
kernet bus kota,
bajing loncat dan calo bus di terminal
Aku hidup di dalam
peta buta
Saat rezeki
tergantung pada arsitek kebijakan di senayan
Di cipayung,
selama 45 hari, aku diajari penghayatan diri
Mengunjungi kamar
orang dengan dengan masalah kejiwaan dan sosial
Makan nasi lauk
sawi hampir setiap hari
Aku rasa, dunia
hanyalah kamar yang telah dikapling-kapling
Sesuai bahasa
takdir dan keringkihan manusia di rahim kota
2020
GAWAI
Dunia tak seramai
gawai
Ia memproduksi
berita secara masal setiap detik
Mulai dari cinta
yang tersandung restu bapak ibu
Politik mencari
bentuk, agama yang lupa dipeluk, hingga
Wabah yang seperti
pak pos; mencari alamat rumah kita
Dunia kedinginan;
sebab manusia lebih memilih menyelimuti gawainya
Aku dieraminya
setiap malam; agar ketika aku bangun pagi
Berita hangat dari
mimpi bisa kusebarkan secepatnya
Tuhan memerintahkan
manusia untuk membaca
Tetapi, manusia
diperintah gawai untuk melukai sejarah
Kata seorang
filsuf, “apa yang kita miliki, tidak pernah benar-benar kita miliki,
sebaliknya,
kitalah yang dimiliki olehnya”
Di republik gawai,
telah disediakan asuransi bagi manusia yang dilukai kejujuran
Orangorang migrasi
ke dalam gawai
Tanpa buku dan
ijazah guru
Di sana manusia
disubsidi sawah dan perkebunan
Guna merawat saham
dan gosip
Untuk menciptakan
ilusi dan wajah dunia yang muram
2020
SUNGAI
KECIL DAN MAZMUR BATU
Aku disuguhi
hikayat sungai kecil
Ia selalu mengalir
deras di alisku
Menjadi perigi
usia moyangku
Bagi kehambaannya
pada pohonan
Setiap pagi embun
menjadi resonansi
Kaldera peristiwa
di antara matahari
Sungai kecil itu
mengalirkan kenangan
Aroma moyangku
yang seharum barus
Hatiku mazmur
batuan
Sungai kecil
menderas di relung jiwa
Kerinduan adalah
jendela
Bagi angin yang
tak kenal cuaca
Aku disuguhi
hikayat sungai kecil
Menjadi jejak
pengembaraan
Bagi doadoa yang
kapulaga
Pada setiap musim
penghujan
Ia menjelma
dermaga, sedangkan
Aku mencari
periginya
2020
REGIONE CAMPANIA
Di naples, gereja
berbentuk bulat, mazmur perjanjian
Abad yang
menguning di ibu kota regione campania
Orangorang memuja
lanus oeste
Rambut keriting,
tubuh gempal, kaki mungil
Dia merajai eropa,
saat pasukan diavolo juga melampaui musim
Tanpa kekalahan
Di regione
campania, seorang salto mendemonstrasikan
Kejayaan
montevideo pada tahun tiga puluhan
Dia berangkat dari
pesisir sisilia, berambut panjang
Seperti sungai
venis
Dia menjelma
gladiator ulung
Pada kotak
berukuran dua belas yang diselimuti jaring raksasa
Pada regione
campania, edinson dilatih don mazzarri
Ia berlari ke atas
pegunungan mount somma
Demi bermakmum
kepada lanus oeste yang melegenda
Di sana dia melatih
tendangan pisang bersama angin
Membidik kepala
portiere tujuh puluh delapan kali
Naples menjadi
kebiruan, sebab coppa dijunjung tangan edinson
Dari regione
campania, don mazzarri hijrah ke kota mode
Meninggalkan
edinson yang juga siap berkemas menuju paris
Tetapi, naples
tidak kehilangan keriuhan
Sebab ia
mengangkat dries dari leuven
Dan juga lorenzo
yang menyerupai ksatria kecil
Mereka menjaga asa
regione campania dalam setiap perhelatan
2020
SOWAN KEPADA KIAI TOHARI
-mata yang
enak dipandang-
Di manakah alamat
pecinta yang sederhana?
Wajahnya menjelma
ayat yang dibaca santri dan penyair
Darahnya tinta
abadi; mengampuni jiwaku yang terkutuk
Matanya enak
dipandang; menangguhkan getir hidupku
Dupa usiaku
diruwat doa, agar petaka tak lagi menyambangi nasibku
Dikatakanlah
olehnya, bahwa Tuhan ada di dalam jiwa mirta
Meski dia buta,
tetapi cahaya bersemayam di dalam hatinya
Rumahnya bagai
masjid, bagi orang-orang yang mencari alamat pecinta
Dia tidak mengenal
sungkawa, sebab baginya kelimun cerita
Merupa zikir yang
menaungi persemayaman bapak dan ibunya
Matanya enak
dipandang; senarai hikmah dari kulitnya yang menua
Titah sang raja
menjadikannya sebagai nahkoda
Pada sungai
panjang ini; siapa saja bisa menumpang
Sebab jiwanya
lapang serupa nuh yang mengemudikan bahtera
Di manakah alamat
pecinta yang sederhana?
Kabut memberi
isyarat dan pohonan berkata;
“Temuilah dia di
dalam dirimu sendiri”
“Barangsiapa telah
menjumpainya, maka kau telah bertawasul kepada kanjeng nabi”
2020
RONGGENG BERMAIN CELURIT
Ronggeng tak hanya
menari
Di zaman pki atau
hiruk pikuk represi
Dari azan ke azan,
dari musim ke musim
Ronggeng juga
belajar berkelahi, menelanjangi kemunafikan diri
Di mushola,
ronggeng bermeditasi
Ia belajar menulis
puisi atau prosa yang menghardik kemiskinan
Dia tidak lagi
membuka kelambu, sebab kelambu serupa aib
Dari wajahwajah
yang muram akibat diranggas keniscayaan cinta
Pada suatu hari,
ronggeng bermain celurit bergagang emas
Ia dihadiahi
saudagar dari madura
Kata saudagar itu,
“simpan celurit ini dan belajarlah carok
untuk menjaga
harga diri”
“Baiklah. Aku
punya dua senjata, selendang dan celurit”
“Selendang untuk
menari; menyatu bersama Hyang, sedang celurit kukalungkan
di leherku’
Ronggeng memotret
dirinya sendiri
Meruap kesumat
pada ujung-ujung gemunung
“Tubuhku adalah
kejora di langit mendung”
Sebagaimana
desanya yang kerap dikurung hawa neraka
Diiringi bunyi
rebana, ronggeng memainkan celurit
Udara penuh dengan
kebisingan, hujan gemuruh di malam alastu
“Aku adalah hutang
yang harus dibayar lunas”
Kepada bapak ibuku
Dia lempar celurit
ke langit; lalu terbitlah matahari di dadanya
Di halaman rumah
yang penuh dengan kayu bakar
Suara Tuhan
digaungkan dalam tarian
2020
Tentang Penulis
WAHYU BUDIANTORO lahir
di Purwokerto, 10 April. Bekerja sebagai Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri
Purwokerto. Selain itu, ia juga menjadi Kepala Sekolah sekaligus pengajar di
Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto dan Pimred
SKSP-Literary. Beberapa tulisnnya telah dipublikasikan di Laman Badan Bahasa Kemdikbud, Republika, Basabasi.co, Suara Merdeka,
Pikiran Rakyat, Bali Pos, dan lainnya.
Pada tahun 2020
puisinya berujudul “Madah Mbah Bisri dan Gus Mus” mendapatkan penghargaan Anargya Serayu Penawara (Dewan Kesenian
Kabupaten Banyumas). Periode sebelumnya, di tahun 2019, esainya menjadi naskah
favorit pada gelaran “Bulan Bahasa” Universitas Gadjah Mada. Pada tahun yang
sama pula, esainya menjadi salah satu yang terbaik Balai Bahasa Jawa Tengah.
Buku pertamanya berjudul Aplikasi Teori
Psikologi Sastra: Kajian Puisi dan Kehidupan Abdul Wachid B.S. (Kaldera
Press, 2016). Buku kedua Epistemologi Komunikasi Transendental (Cinta Buku, 2021).