Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Tjahjono Widijanto

0

 

ANJING TUAN DAKRIP

           

            “Bunuh! bakar! bikin erwe , buat rica-rica kita makan ramai-ramai!”

            “Sogok pantatnya,  sate! Panggang hidup-hidup!”

            “Jangan, kuliti saja hidup-hidup biar tahu rasa!”

            “Cungkil saja mata dan lidahnya..!” 

Dakrip yang sedang  jogging ditemani anjing pudelnya kaget mendengar teriakan-terakan itu. Dilihatnya banyak orang berkerumun di sesbuah halaman rumah. Penasaran Dakrip menyibak kerumunan. Matanya melotot melihat orang-orang itu sedang beramai-ramai memukuli dan melempari seekor anjing hitam kurus kudisan yang mengkaing-kaing kesakitan.

“Ada apa Pak?” Tanyanya kepada seorang bertubuh kurus di sampingnya.

         “Anjing itu anjing daden-daden, kirik pesugihan Dua hari kami mengintainya sekarang kami berhasil menangkapnya,” sahut orang itu sambil tangannya melempar batu sebesar kepalan. Anjing itu terlonjak dan melengking keras.

             “Anjing daden-daden? Darimana sampeyan tahu anjing itu anjing daden?”

        “Anjing itu tiap malam selalu muncul lalu menggosok-gosokkan tubuhnya pada pojok-pojok rumah, esoknya pasti si empunya rumah akan kehilangan uang simpanannya. Si anjing sampai di depan majikannya akan mengibas-ngibaskan ekor dan lembaran-lembaran uang berjatuhan dari tubuhnya. Sudah banyak yang jadi korban anjing keparat ini!” seseorang bertubuh gemuk menjelaskan sambil kakinya menendang perut anjing itu keras-keras hingga terlonjak dan tambah keras mengaing.

          Dakrip menatap anjing kudisan itu. Anjing yang terus mendengkik-dengkik itu juga menatap mata Dakrip. Bertatap-tatapan. Anjing itu anjing kampung biasa, kulitnya hitam ditumbuhi kudis hampir merata pada seluruh tubuhnya yang kurus ceking jauh berbeda dengan pudelnya juga anjing-anjingnya yang lain di rumah. Matanya tergenang air. Dakrip dapat melihat dan merasakan betapa anjing itu menderita kesakitan dan terutama sekali diterjang badai ketakutan yang amat sangat. Mata anjing menatap lekat mata Dakrip dan genangan air di matanya menetes-netes.

            “Ayo, bakar saja!” teriak seseorang sambil melemparkan batu sekepalan tangan tepat mengenai moncongnya.

“Bakar, bakar! Ayo, mana bensinnya! Teriak yang lain. Dan seseorang maju mengguyur anjing itu dengan sebotol bensin.

Anjing itu ketakutan setengah mati. Kaki tak sanggup menyangga tubuhnya,  menggelosot ke tanah. Matanya yang bengkap berdarah menggenang air. Dakrip tak tahan lagi. Seperti mendapatkan tenaga gaib meloncat menyibak kerumunan dan mendekap anjing itu erat-erat. Dua mahluk bertangis-tangisan. Dakrip menangis tiarap mengiba-iba memohonkan ampun anjing itu. Orang-orang ternganga  memandang penuh curiga. Dakrip tak peduli. Terus menangis dan mengiba. Bahkan ditamenginya anjing itu dengan tubuhnya yang gemuk. Akibatnya batu-batu, kayu, pukulan dan tendangan mendarat dengan sempurna pada tangan, kaki, tubuh, bahkan wajah Dakrip. Anjing pudelnya turut pula terkaing-kaing terkena lemparan salah sasaran. Dakrip berdarah-darah tapi makin tak peduli dan terus mengiba sambil mendekap anjing kudisan itu. Orang-orang lama-lama jadi bosan  satu demi satu meninggalkannya.

            Lapangan sepi. Tinggal Dakrip dan anjing kudisan terisak-isak  berangkulan. Setelah reda tangisnya diperhatikannya benar. Anjing itu kira-kira berumur delapan bulan. Kulitnya hitam dengan kudis warna putih di sana-sini seperti peta buta. Badannya bau sengak, penuh luka, darah, asap dan debu Beberapa kutu hilir mudik di sela-sela tonjolan tulang yang hampir merata di seluruh tubuhnya.

Anjing itu mendekatkan muka dan moncongnya, mencium dan menjilat basah wajah Dakrip seakan-akan mengucapkan terima kasih. Dakrip mulanya risih dengan baunya yang apek, tapi lama-lama merasakan betapa jilatan itu amat tulusnya berbeda dengan jilatan anjing-anjing peliharaannya yang lain. Dakrip merasa nyaman dan berbahagia. Anjing itu di bawanya pulang. Dakrip sudah lupa sama sekali dengan pudelnya.

***

Sebelum kejadian itu tidak ada yang aneh pada diri Dakrip. Orang-orang mengenalnya sebagai orang kaya dan berpendidikan yang mempunyai hobi memelihara berbagai jenis hewan. Rumahnya terbilang megah di pusat kota penuh dengan binatang piaran berbagai jenis mulai yang jinak seperti anjing, kucing, kelinci, marmut, ayam, berbagai burung, ikan louhan, kambing, kuda, sampai binatang buas semacam harimau dan ular.

            Yang paling banyak adalah anjing. Berbagai jenis anjing ada di rumahnya. Ada yang blasteran anjing kampung dan chow-chow, ada jenis labrador, ada anjing herder, doberman, dan ada pula anjing pudel. Semuanya bersih,rapi tampan dan gemuk-gemuk karena makanannya mahal dan full gizi melebihi makanan anak-anak tetangganya. Badan anjing-anjing itu senantiasa bersih dan wangi karena tiap pagi-sore dimandikan satu-satu. Selepas senja sesudah kenyang, anjing-anjing itu merubungnya dan berlomba-lomba menjilati kaki dan tangannya.

Sampai di rumah segera terjadi keributan besar. Binatang-binatang peliharaannya menjerit-jerit menerima  kedatangan anjing kudisan itu. Terlebih lagi anjing-anjing peliharaannya. Mereka menyingkir jauh-jauh dari pendatang baru yang penampilannya menjijikan itu. Anjing-anjing mengelompok melakukan rapat darurat. Lalu dua ekor anjing, satu jenis herder yang satu doberman dengan gagah mendatangi anjing berkudis, mengitarinya dan menyalakinya dengan nada mengancam. Anjing pendatang baru gemetar bukan buatan. Tubuh kurusnya tak sebanding dengan besarnya herder dan ganasnya dobermen. Untung Dakrip muncul membawa makanan. Herder dan dobermen itu dengan marah dibentaknya. Keduanya menggongggong mundur sambil melipat ekornya.

Semenjak itu terjadi perang dingin dalam diri binatang-binatang piaraan Dakrip. Kelompok anjing-anjing lama yang gemuk-gemuk, bersih dan tampan-tampan berseberangan dengan si anjing kampung hitam kurus berkudis. Dakrip semakin hari semakin enjoy dengan si kudis. Diamatinya anjing kampung kudisan itu punya sifat berbeda dengan anjing-anjing lainnya. Si kudis tak pernah rewel diberi makanan apa saja. Sangat berbeda dengan anjing-anjing tampan lainnya yang selalu ribut protes bila merasa makanannya kurang banyak atau kurang enak. Si kudis setiap pagi siang dan sore selalu menjilati tubuh Dakrip dengan setia. Ini berbeda dengan anjing-anjing lainnya yang hanya suka bermanja-manja dan menjilati tangannya bila saat menginginkan makanan saja atau selepas senja sesudah kenyang diberi makan. Dakrip  berkesimpulan bahwa anjing kurus kudisan itu lebih jujur dibanding anjing-anjing lainnya yang gemuk dan tampan. Akhirnya Dakrip memberikan semua anjing-anjing piaraannya yang gemuk dan mahal-mahal itu pada kenalan atau kerabatnya. Di rumahnya yang besar hanya ada Dakrip dan anjing kurus kudisan .

Kehadiran si kudisan menyadarkan Dakrip bahwa selama ini telah bertindak diskriminasi terhadap anjing-anjing kampung yang banyak berkeliaran di kotanya. Dakrip makin jatuh hati pada si kudis. Mereka bersenyawa sehidup semati tak berpisah seharipun.

Suatu malam Dakrip bermimpi mendapat perintah suci untuk menyelamatkan anjing-anjing kampung yang menggelandang di kotanya. Dakrip yakin bahwa mimpinya itu wahyu dari langit yang harus dilakukannya dan ia langsung teringat cerita tentang Yudistira yang berhasil naik ke sorga karena bersetia pada anjingnya.

            Bersama sahabatnya, si kudis, ia mulai menjalankan tugas suci menyelamatkan anjing-anjing kampung yang sering diburu dan diculik penduduk untuk dimasak dan dijual dagingnya. Pernah pada suatu siang Dakrip melihat dua orang berboncengan motor menangkap seekor anjing menjerat lehernya dengan seutas tambang lalu menyeretnya dengan kecepatan tinggi. Dakrip segera memburunya dengan mobilnya, menggasak keduanya, direbutnya  anjing itu dan dibawanya pulang.

Semakin hari semakin bertambah anjing-anjing yang ikut dengannya. Semuanya anjing kampung liar yang tak terawat. Dakrip merasa tenteram sejahtera setiap kali melihat anjing-anjing itu.

Berbeda dengan tetangga-tetangganya. Mereka resah, anjing-anjing itu menimbulkan bau yang tak sedap dan mereka ketakutan terkena rabies. Bersama Ketua RT mereka protes. Dakrip cuek saja. Akhirnya mereka melapor Bupati, dan suatu siang yang terik bersama Pak Bupati mereka berbondong-bondong mendatangi rumah Dakrip.

“Pak Dakrip, saya atas nama warga meminta dengan hormat agar Anda tidak lagi memelihara anjing-anjing itu di rumah Bapak”, kata Pak Bupati dengan nada berat.

“Lho, memangnya kenapa Pak? Ini kan rumah saya, jadi apapun yang saya lakukan adalah hak saya”, Dakrip menjawab dengan tegas.

“Benar Pak, tetapi penduduk kota ini terganggu dengan bau anjing-anjing kotor itu. Pak Dakrip kan  dapat memelihara binatang lain. Ikan hias, ayam, itik atau apa saja, yang penting jangan anjing kotor dan bau itu”.

“Maaf Pak Bupati, saya lebih suka memelihara anjing. Mereka lucu-lucu tidak kalah indahnya dengan ikan louhan yang mahal itu.”

“Kalau begitu kenapa Pak Dakrip tidak membeli dan memelihara anjing impor dari ras pilihan saja? Misalnya doubermen, herder, chow-chow, atau apalah. Anjing pemburu juga boleh, asal jangan anjing-anjing bau dan penyakitan itu?”

“Saya dulu pernah memelihara anjing-anjing yang Bapak Bupati sebutkan tadi tapi saya tidak merasa senyaman dan sebahagia seperti sekarang ini. Anjing-anjing kampung yang Bapak katakan kotor dan penyakitan itu lebih penurut, lebih bersahaja, dan lebih taat . Mereka tidak neko-neko. Diberi makan apa saja oke.”

“Ya Pak Dakrip. Tapi Bapak harus tahu anjing yang kotor dan bau, apalagi kudisan seperti anjing-anjing Bapak itu membawa penyakit anjing gila. Nanti kalau orang-orang ini digigit bisa kena penyakit rabies semua. Kalau Pak Dakrip yang digigit sih kita nggak apa-apa, kan Bapak memang sudah nggak waras!” teriak Pak Bupati tak kuat menahan marahnya.

Dakrip langsung naik darah. Lupa siapa yang berdiri di depannya. Meloncat berdiri dari kursi. Tangannya menuding wajah Pak Bupati dan kerumunan orang-orang di depannya. Teriaknya lantang seperti layaknya seorang yang sedang berpidato di lapangan.

“Bapak Bupati. Pak Bupati telah bertindak diskriminatif pada anjing-anjing saya ini. Anjing tetaplah anjing. Meskipun wadaknya penuh kudis dan bau tapi hati dan nuraninya tetaplah nurani anjing. Mereka menghamba pada pemiliknya karena fitrahnya. Mereka patuh dan taat kepada saya semata-mata karena menuruti kodrat mereka sebagai hewan. Tak ada pamrih atau niatan apapun juga. Mereka tidak pernah protes. Mereka hanya menggonggong, Menggonggong karena mereka adalah anjing, Titik!. Mereka menggonggong bukan karena apa-apa, hanya karena dikodratkan jadi anjinglah mereka menggonggong. Ayo, siapa diantara Bapak-bapak ini yang keihlasan dan ketaatannya melebihi mereka? Ayo siapa diantara kalian yang melakoni hidup ini hanya karena berlandaskan titah semata sebagai manusia? Ayo ada nggak?  Justru karena saya bukan anjing saya berusaha menerima mereka seperti apa adanya…!”

Belum selesai pidato Dakrip, orang-orang menjadi tak terkendali. Mereka berteriak melempari merengsek maju mencoba menangkap dan memukuli Dakrip dan aning-anjingnya. Dakrip tenggelam dalam keroyokan mereka. Wajah dan sekujur tubuhnya bengkak berdarah-darah. Bahkan mereka berteriak-teriak hendak membakar Dakrip hidup-hidup. Suasana carut-marut. Teriakan marah orang-orang bersahut-sahutan dengan salak anjing-anjing Dakrip yang mengkaing-kaing ketakutan.

Ajaib. Entah bagaimana Dakrip dan anjing-anjingnya bisa meloloskan diri dari kepungan massa yang marah. Dakrip diikuti anjing-anjingnya berlari ke arah luar kota. Orang-orang bersorak menang. Masih sambil berteriak memaki-maki mereka beramai-ramai membakar habis rumah Dakrip. Rumah megah beserta segala isinya itu ludes, gosong menjadi arang dan debu. Dakrip dan anjing-anjingnya lenyap di telan bumi.

******

 

      Sebulan kemudian. Di suatu sore yang lumayan panas, penduduk kota memperingati hari kemerdekaan. Mereka berduyun-duyun ke alun-alun untuk melihat arak-arakan karnaval yang digelar rutin setiap tahun. Karnaval itu diikuti mulai dari setiap instansi pemerintah, perusahaan swasta, sampai anak-anak sekolah. Ada drum band, reyog, badut, kereta mini, dan banyak lagi. Meriah, mewah dan gemerlap.

        Tiba-tiba terjadi keributan luar biasa. Di bagian ekor karnaval itu seseorang muncul dengan rombongan anjing-anjing. Orang-orang langsung mengenal laki-laki itu tak lain Dakrip bersama anjing-anjingnya ratusan jumlahnya. Semuanya jenis anjing kampung, kurus-kurus, kudisan, dengan air liur menetes-netes. Bau sengak bacin langsung menyergap.

Tapi ambooi! bocah-bocah malah berteriak mengelu-elukannya. Bocah-bocah yang semula duduk manis menonton, seperti dikomando berontak melepaskan diri dari pegangan ibunya, bapaknya, kakaknya, kakeknya, pamannya, dan baby sisternya. Mereka ikut berbaris dan bersorak-sorak bersama di belakang barisan Dakrip dan anjing-anjing. Bahkan ada yang bergelayut manja pada punggung dan leher anjing-anjing itu. Anjing-anjing itu berjalan sambil menjilat-jilat tangan, kaki dan wajah bocah-bocah yang berjalan sambil menari-nari dan makin tambah jumlahnya. Jalanan penuh dengan bocah-bocah dan anjing-anjing. Orang-orang diam terlongoh-longoh. Petugas-petugas keamanan blingsatan. Pak Bupati di tribun kehormatan jatuh pingsan ….!



                                                            ***************






Tentang Penulis


TJAHJONO WIDIJANTO

Sastrawan nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, alumnus Program Doktoral Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta (2020)  ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya a.l:  Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai Sastra  (2020):  Dari Jagat Wayang Hingga Perahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020), Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011),), Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000),  Birahi Hujan (Logung Pustaka, 2004,) Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dll..

Diundang dalam berbagai acara sastra nasional dan internasional a.l:,  memberikan ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan  (Juni, 2009), Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival (2009), Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), dll. Memperoleh Penghargaan Seniman (Sastrawan) dari Gubernur Jawa Timur (2014), dan Penghargaan Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur (2019). Pada bulan April-Mei tahun 2017 lalu ditunjuk Badan Bahasa untuk mengikuti program residensi sastrawan berkarya di Talaud Sulawesi Utara.

Memenangkan berbagai sayembara menulis a.l: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004), , Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009), Pemenanang Lomba Mengulas Karya Sastra Nasional (5 kali berturut turut; 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006), dll.

Saat ini selain sebagai penulis dan penyair juga “nyambi” sebagai kepala sekolah di sebuah SMA Negeri di Ngawi. Tinggal di jl. Hasanudin Gg Cimanuk 1 A Ngawi, HP: 082143785362, email; tjahwid@yahoo.co.id

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top