Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Ahmad Sultoni

0


 Tokoh-tokoh “Pinggiran” Arif Hidayat

Ahmad Sultoni*

Membaca cerpen-cerpen arif Hidayat yang realis mengingatkan saya pada karya-karya Ahmad Tohari, khususnya cerpen-cerpennya. Kisah tentang tokoh-tokoh pinggiran yang dipanggungkan dalam pentas cerita. Orang-orang pinggiran, memang jarang dibicarakan, seperti Karyamin si buruh batu miskin di sebuah desa di pinggir sungai, Sanwirya si penderes bernasib tragis, atau orang-orang seberang kali yang bernasib getir.

Arif Hidayat mencoba membaca realitas sosial, menokohkan kisah hidup orang-orang pinggiran itu, lalu ditampilkan dalam pentas cerpen-cerpennya. Seperti kisah Darsono dalam cerpen Darsono Rindu Pulang, kisahnya begitu memilukan. Darsono adalah TKI yang bekerja sebagau buruh kebun sawit di Malaysia. Selama menjadi buruh sawit, Darsono kerap mendapatkan ketidakadilan dan kekerasan.

Darsono bekerja penuh waktu, namun tidak dibayar, bahkan sering mendapat siksaan fisik dari tempatnya bekerja sebagai buruh sawit ilegal. Terakhir, ia berusaha kabur dari ladang sawit tempatnya pertaruhkan nasib dengan menaiki perahu dari Malaysia ke Indonesia, tepatnya ke Banyumas. Cita-cita mendapatkan nasib hidup yang lebih baik pun akhirnya pupus. Untunya Darsono berhasil kabur dan pulang ke kampung halaman dengan selamat. Meski Darsono pulang dengan tangan kosong.

Hal yang menarik dari kisah Darsono justru alasan mengapa ia memutuskan untuk merantau. Rupanya iming-iming dari para tetangganya yang terlihat sukses sepulang jadi TKI. Tentu saja alasan ketidakmampuan ekonomi dan minimnya kesempatan kerja di desa akhirnya ia memutuskan merantau ke luar negeri. Meski nasib dirinya harus digadaikan dengan ketidakmenentuan nasib. Di masyarakat pedesaan di Jawa era 90-an hingga awal 2000-an, kisah-kisah getir seperti Darsono sering saya dengar dari cerita tetangga yang merantau. Tulis Arif Hidayat dalam cerpen Darsono Ingin Pulang:

Dari desa itu, dulu, Darsono ngotot pergi ke luar negeri. Bayangannya, bahwa orang yang merantau selalu pulang mengesankan: baju baru, banyak uang, rambut dicat, kulit jadi putih, bahasanya. Rumahnya banyak dikunjungi orang untuk minta oleh-oleh atau sekadar dengar cerita pengalaman luar negeri itu seperti apa (hlm.3-4).

Dari tokoh Darsono beralih ke tokoh Tasno yang kisah hidupnya tak kalah getir. Cerpen Tasno dan Sepedanya ini bercerita tentang tokoh Tasno yang kehilangan sawah warisannya demi mengejar impian yang sangat diidam-idamkan. Tokoh Tasno sebetulnya tidak punya impian yang rumit-rumit. Impian yang lazim dipunyai oleh orang desa, mengingingkan anaknya menjadi PNS. Menjadi PNS dapat pensiunan, kerja di kantoran, berpenampilan perlente. Tak seperti petani yang selalu siap bertaruh nasib antara panen atau tidak panen.

Impian boleh saja melambung tinggi, tapi nasib bisa berkata lain. Sawah warisan satu-satunya yang dijual seharga 400 juta segera lenyap. Uang 300 juta yang sedianya dibayar untuk pengangkatan anak semata wayangnya menjadi PNS digondol calo bodong. Anaknya gagal menjadi PNS dan Tasno hanya bisa meratapi nasibnya.

Sawah yang dimiliki Tasno adalah warisan ayahnya yang pernah menjadi kepala desa. Ia mendapat bagian yang sebenarnya cukup untuk ditanami padi dan kebutuhan makan. Ia tidak pernah kekurangan beras. Tetapi hidup hanya Bertani semakin tertinggal dari tetangga yang mampu beli sepeda motor, mampu bangun rumah, dan hidup dengan Makmur. Ia ingin anaknya bisa menjadi pegawai. Untuk bisa menyejahterahkan hidup yang senantiasa berubah (hlm. 114).

Darsono dan Tasno setidaknya menggambarkan kekuatan Arif Hidayat dalam bercerita. Dengan kata lain, pemilihan tokoh-tokoh Arif Hidayat menjadi faktor penting dalam cerpen-cerpennya. Kekuatan karakter tokoh menjadikan Arif Hidayat leluasa untuk menghadirkan peristiwa dan konflik, meski konflik tersebut lebih bersifat batin. Hal yang tak kalah menarik adalah pemilihan tema seputar persolan khas masyarakat desa, seperti terwakilkan dalam tokoh Darsono dan Tasno.

Penguasaan tema yang mumpuni menjadikan Arif Hidayat leluasa dalam menghadirkan suasana desa ke dalam ceritanya. Hal ini bertemali dengan latar sosial budaya yang kuat, tidak sekadar tempelan dan tanpa makna. Meski kadang-kadang saya harus melewati beberapa cerpen yang dianggap monoton, setidaknya lebih banyak kemenangan diperoleh Arif Hidayat. Cerpen yang sederhana tetapi bermakna.

Pada akhirnya, serumit apa pun sebuah cerita yang digubah oleh pengarang, tujuan akhirnya adalah pembaca akan menemukan tujuan akhir cerita, di samping aspek hikmahnya. Meskipun bisa saja yang difokuskan oleh pengarang bukanlah hikmah cerita itu sendiri. Terkadang pengarang harus berpikir rumit tentang tokoh-tokoh yang direkanya agar tidak terkesan klise. Juga alur cerita yang dibuat, sebiasa mungkin menampilkan sesuatu yang beda dari cerita-cerita yang lebih dulu menemui pembaca.

Justru hal yang berbeda saya peroleh dari pengarang Arif Hidayat melalui kumpulan cerita pendeknya bertajuk Yang Menunggu di Halte Menjelang Oktober (Jejak Pustaka, 2021). Kumpulan cerpen yang memuat 12 cerpen itu memuat cerita yang terkesan biasa-biasa saja, namun menjadi tidak biasa. Dalam artian, Arif Hidayat tidak dipusingkan bagaimana menenun cerita yang rumit, namun ceritanya justru seperti air yang mengalir, pembaca seperti diajak menikmati kelok cerita yang tak melulu tajam.

Ada hal yang mewah meskipun pengarang tidak menekankan teknik bercerita yang rumit-rumit. Arif Hidayat bercerita layaknya ia sedang menceritakan suatu peristiwa kepada kawan bicaranya. Ya, mungkin itu kemenangan berikutnya dari Arif Hidayat.




Tentang Penulis


            Ahmad Sultoni, Dosen di Institut Teknologi Telkom Purwokerto. Bermukim di Adipala, Cilacap. Tulisan-tulisannya termuat di beberapa media massa daring dan cetak. Buku puisi terbarunya bertajuk Selepas Musim Menjauh (2021). Ia bisa disapa melalaui IG: a.su_ltoni.


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top