Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-Puisi Farikhatul ‘Ubudiyah

0


MENGISI TUMBU

 

Sawah ini bentangan balong, Nusamangir

anak-anakmu mencari pematang setelah seluruh

kakinya berlumur lumpur dan keranjang ikan berisi

empat belas ekor kating

 

Di jembatan irigasi sungainya menghadap mata angin

air agak malas mengalir tetapi memantulkan cahaya

musim kemarau

di mana petak-petak padi dipaneni

di bentangan petak lain ditanami

 

Berangkatlah ibu, simpanan padi kita hampir habis

hari-hari adalah bingkisan yang tidak pernah terduga

untung ruginya

angin dingin Nusamangir terasa limbung

di bulak yang dibatasi jalan angkutan antar kota

dan laju kereta yang hanya terdengar derit jeritnya

mana ada tempat berteduh untuk nanti

ketika matahari menghitung waktu Zuhur

mesin penggiling dami riuh

panas dan debu lekat di keringat

makin retak tanah keringmu

makin dalam lumpur lebakmu

 

Ibu yang berhari-hari mbawon dari desa ke desa

membawa delapan kilogram gabah pada hampir senja

dari arah timur, barisan bangau terbang pulang

anak-anakmu berteriak seperti meneriaki diri

            ;

            kuntul… kuntul… omahmu wis kobaran

terbakarlah hasil buruhan dan buruan ikanmu

di malam perapian tungku ibu




 

MAHKOTA BUNGA

            : Bidens pillosa

 

Bunga ajeran yang tumbuh di pematang, di manakah

ingatan anak-anak mesti diletakkan

seorang dewasa sedang cemas berjalan

mencari bunga-bunga liar yang tumbuh selepas

hujan semalam

 

Ia memandangi rumput yang lapang mendampingi

tangkai panjang ajeran dan bunga kecil menjalar

pada rasa takut tentang waktu mendatang

 

Bagaimana merangkai mahkota bunga seperti masa kanak

yang berlarian begitu cepat dan melompat-lompat bahagia

sementara tangannya telah lupa mengikat satu tangkai ke

lainnya, seperti menautkan tabah dan sedih hingga

lepas dan patah

 

Ia butuh tangkai bunga ajeran lebih banyak lagi

tetapi langkahnya melambat, sendiri




 

MENGAKHIRI PERJALANAN

            : Rubus strigosus

 

Seperti membuat goresan

dari ranting raspberry di jalan menikung

Aku menggenggam buah merah yang kau

petikkan untuk mengawali percakapan

warnanya serona cahaya pagi yang kita punggungi

dan kau berjalan lebih jauh tanpa mengatakan

apa-apa

 

Aku melintasi jalan ini berkali-kali lagi

memasuki semak penuh duri, memetik buah

beri, memotret jalan liku

juga umpatan yang aku tahan sendirian

hingga dua-tiga musim

 

Aku memilih doa baik meski melukakan diri

menahan dingin di bukit Limpakuwus

tanpa pembicaraan

apa-apa

 


 


KERANJANG BELANJA

            : Limnocharis flava

 

Seusai pulang dari pasar kau berkisah

tentang seikat sayur dan luka

 

Kita pernah menanam dan memanen

di balongan, kadang aku memikirkan

keong sawah

bertelur di tepian

dan bernaung di rimbun daun-daun

Kau menangkap, mengetuk pintu rumahnya

sampai hancur, dilemparkan

ke mangkuk pakan hewan ternakmu

 

Pagi ini kau membeli sayuran

seperti yang pernah kita rawat belasan tahun silam

kau akrabi kenangan dan rasa pahit dari

olahan masakanku yang sering

kuaduk dan kunyalakan api paling biru, tetapi

 

esok pagi jangan lupa, uangmu harus baik-baik saja

mengisi penuh keranjang belanja

 

 

 


MINUMAN POHON

 

Pohon durian samping rumahku

makin tinggi dan sendiri

ibu meramu minuman, disiramkan

sebagai persembahan juga membuka perbincangan

pada tengah siang tanpa bayangan

 

Lalu kemarau menurunkan hujan kiriman

tumbuhlah daun baru

dan bunga yang pendek usianya

mengabarkan dirinya ingin tetap hidup

meski belum dianggap berguna

 

Ia mengingat induknya yang tiada

telah mengumpulkan anak-anak cucu dan saudara

menjadi bahagia, tertawa, bertengkar

menangis satu per satu

tapi lekas baik biasa saja

 

Lelaki yang menanamnya telah mati

padahal ia berjanji

berbuah untuk dibagi-bagi

tapi lupa meminta agar manis, besar

dan segera




 

INGATAN SANGAN KOPI

            :nini

 

Tidak ada lagi asap dan jelaga di tiupanmu pada tungku

kayu di para menghabiskan pembakaran demi pembakaran

waktu; tanahmu makin kering serupa retakan sangan

hampir rapuh dan tetap saja kau tabahkan perapian

gelombang panasnya menguap ke wajahmu

 

Di dingklik kau duduki ingatanku yang menjulur serupa api

dari bibir tumang ditindih sangan sangkaan sepasang kekasih

biji-biji kopi kau tuang dan merebaklah bau basah hujan

di mula musim

 

aku melihat lumpang sebelum kau sentuhkan alu

debar tumbukanmu selalu seperti pelukan

mendetak lantai rumah dan butiran kopi berlompatan

serangga diam di dindingmu yang getar

 

dug-dug nutu anake lagi nangis

 

kau merapal serupa mantra sementara binar mata

cucumu tempat biji-biji kopi bercemin

sebelum kopi di sanganmu menjadi pekat

liuk tanganmu tidak berhenti mengaduk

ada jelaga singgah di sanggulmu

tubuhku tinggal dingin

usai usiamu kuantar ke arah uap

segelas kopi diseduh

dengan sepenuh kenangan

            dan kenangan






Tentang Penulis

        Farikhatul ‘Ubudiyah, lahir pada 21 Oktober 1995 di Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Dia berkegiatan di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Dia meraih Juara 2 pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) penulisan puisi tahun 2016, dan Juara 1 lomba menulis tingkat mahasiswa se-Indonesia UKM KIAS tahun 2018. Beberapa puisinya dimuat di media massa. Tergabung dalam antologi bersama, Pesisiran (Negeri Poci, 2019), Khatulistiwa (Negeri Poci, 2021), Membaca Hujan di Musim Kemarau (Tembi Rumah Budaya, 2019), Arun (UKM Kias, 2018), dan lainnya. Berrumah di e-mail farikhah.ubudiyah@gmail.com.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top