Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-Puisi Mauliya Nandra Arif Fani

0

NYANYIAN BURUNG BELANTARA

 

Kepada kawanan burung,

Masihkah ia ingat

Cerita sayap di kala masih mungil

Di atas pulau belantara

Melewati ribuan warna warni bunga

Deru cicit yang menggema di angkasa

Dan ranting-ranting menari

Mengikuti suara alam

Yang bersamanya sepasang kekasih

Memupuk subur cintanya

Dalam kemerduan nyanyian pusaka

Diiringi lambaian daun-daun kelapa

Damai menjadi rumah singgasana

Lantaran langit masih biru

Membirui samudera raya

Yang merekam kisah mungil anak gajah

Bersama bianglala yang mengitarinya

Tiada jemu,

Berlari, memungut buah delima

Lalu berebut dengan kawannya

 

Kini hari semakin larut

Gelap malam memberikan ruang kabut

Hingga coretan pada kertas hikayat

Tidak lagi menceritakan

Kemerduan nyanyiannya

Juga pada dongeng ibu

Tidak terdengar tangisan anak kancil

Sebab pohon timun tiada yang berbuah

Dan cacing tanah keluar dari sarangnya

Mencari nafas yang hilang

Sebab waktu telah mengalun

Melahirkan gedung-gedung muda

Di atas tanah dan air

Tempat bertengger akar rotan

Juga tumbuhnya rumput dan jamur

Dengan rangkaiannya menembus awan

Tempat burung parkit mengisi hari liburnya

Melagukan syair kebahagiaan

Untuk melukiskan senyum

Pada bibir si yatim

 

Kini nyanyian burung belantara

Telah mencapai batas purnama

Di akhir liriknya dilukiskan doa

Lalu menguap bersama

Panas atmosfer bumi hari ini

Hingga menjadi titik-titik embun

Lalu turun di antara hujan akhir tahun

Dan menumbuhkan akar cita-cita

Sembari menopang mimpi di atas daunnya

Serta kuncup bunga yang mengangkasa

 

Purwokerto, 11 November 2019 

 

 

 


SAJAK MENYAPA DI TAHUN KE DUA PULUH SATU

 

Pada suatu hari lalu

Matamu melihat dunia

Ragamu terjerembab

Dalam warna-warni semesta

Dan angin surgawi mengantarmu

Pada hangatnya musim gugur

Rumahmu

 

Kini mentari menyapa

Dirimu di tahun ke dua puluh satu

Nikmat dan syukur memenuhi

Larik-larik sajak usiamu

Sinar bahagia terpantik

Dari matamu kian membiru

Teranglah segala cita dan cinta

 

Dan di antara lirik doa

Aku tidak pernah lelah

Menempatkanmu pada singgasana

 

Banjarnegara, 13 Agustus 2020

 




BAIT SEMESTA


Dalam alunan pagi

Jalanan penuh air

Daun-daun basah,

Dan angin datang dari sungai

Tujuh tangkai bunga yang menguning

Siap meniti hari

Di bawah rintiknya hujan

 

Aku tidak berpikir menemuimu

Sebab hasta terlampaui panjang

Berderet-deret menghubungkan tiang-tiang listrik

Di antara jalan dan gedung tua itu

 

Malam ini jika hujan mereda,

Tidurlah di gugusan sinar-sinar purnama

Biarkan aku mengelilingi bait semesta

Mendenyutkan lagu-lagu indah pengantar setia

 

Purwokerto, 1 Oktober 2018

 

 



PERAHU JINGGA

 

Kala tangan menggandeng tanganku

Ke hadapan lesung kayu

Yang kau sebut perahu jingga

Sutra pelangi di garis cakrawala

Seketika berbalik arah lengkungnya

Dedaunan mencumbui bunga-bunga yang dicintainya

Seperti kora-kora di taman ancol

Yang menghapus jejak pilu gadis desa

Barulah kesedihan yang berlalu lalang

Mencari jiwa agar ia tumbuh segar

Lalu aku membiarkan senyumku melayang

Menembus langit merah sendu

 

Aku tahu,

Dirimu yang bertahun lamanya dirajai rindu

Ingin bertahta tanpa usai

Dalam alunan nadiku

Menjadi melodi

Di setiap nyanyian hidupku

Kala tangan memelukku

Mengayun lembut diri ini

Di atas perahu sebelum melaju

Selendang biru ibu bidadari

Membumbung tinggi menembus angkasa

Membisikkan ke alam semesta

Bahwa surgaku

Bersemayam di bawah kakimu

 

Banjarnegara, 11 Januari 2019

 

 



CERITA SANG POHON KOPI

 

Di antara dahan-dahan pohon kopi

Selalu berbuah cerita-cerita manis

Dari sekawan yang selalu lupa dengan tangis

Mereka seperti riuh ombak

Pada samudra raya lintas benua

Tampak indahnya saat sinar emas

Pendar dari ufuknya

 

Cubitan di pipi mungil,

Terbalas senyum oleh gigi gingsul

Lalu tarikan pada poni

Yang melengkung di atas alis

Menjadi cerita putih tak berdalih

Berkubang mengakar

Di pulau melati yang mekar

 

Sampai kini akarnya tetap menguat

Pun ukiran tertanda pada batangnya

Segala gelak tawa

Saat dicengkeramai oleh cakrawala

Dari embun hingga ke senja

 

Langit berhias lembayung

Saat mengulang catatannya

Gubuk dan kebun

Jadilah penampung hari

Bersama ribuan cicit burung parkit

 

Kini waktu bukan apa-apa lagi

Bukan juga suara deras hujan

Yang membasahi lari-lari kecil

Lalu berteduh di pohon kopi

Hingga bertambah lebat daun-daunnya

 

Purwokerto, 19 Februari 2019   

 




DI SEPOTONG GIETHOORN

 

Aku melihat sepasang hati

Tergeletak di perahu yang melaju

Dayung mengayun,

Air muka turun berduyun

Menyusur pipiku blood moon

Lorong jembatan, jembatan tua

Tempat penghubung pulau-pulau rasa

Yang menyemayamkan

Pada dalamnya palung di dada

Angin membawanya ke bibir sungai

Tepat depan gubuk kayu

Coklat manis seperti wajahmu

Yang terikat oleh sumbu pelita

Terpasang bulan pada damainya

Jalanan Giethoorn

Bertabur daun yang gugur

Serta keemasan bunga yang jatuh

Di curamnya leher hatiku

 

Cinta, sinarnya kupantik tiap detik

Agar terang seluruh dunia kita

Sampai pada keabadian nanti

 

Banjarnegara, 30 Desember 2018

 

 



SI PELAFAL RINDU                                                                                                                                                                                                     

Dari cemara tegak di depan

Mendekap indah menambah hijau sang bilik

Di hati tempat bertemu dua senyawa

Dongeng terbaik di sepanjang malamku

Pembalasanku tidaklah serupa

Sengaja menusuk sampai ruang darahmu

Dan caraku berjalan menjadi racun

Bagi tulang dan nadimu

 

Tanpa sesal dan tak kenal menyerah

Sesampai berakhirnya waktu itu

Kini ada dan bersama senyumku

Harmoni mengalun di setiap hembusan nafas

Menyejukkan lagi menentramkan

Mawar di tepi ombak menggulung pantai,

Mengiringi setiap serpihan cerita

Dari sudut pandang hati ceria

Ditambah merdu kicauan burung camar

Menghiasi atap sepasang kursi

Yang enggan beranjak dari bahagianya

Tak kenal waktu, sampai lupa di mana ia berada

 

Akankah selamanya begini?

Atau ada hal lain yang mencoba mencuri kedamaian?

Mereka tidak pernah tahu

Yang berusaha bertahan dalam ribuan pekan

Mengajak sepotong buaian rindu

Di setiap tepian senja

Untuk menemani sang cakrawala

 

Terlihat pelangi dalam laut yang tenang

Seakan kita tahu kalau ini tidak ada yang kekal

Alangkah bahagia hati jika sampai sekarang

Nikmati pemberian Robb-Mu Yang Maha Rahman

Masa depan biarlah Ia Pengatur segala ruang dan waktu

 

Rindu memang selembut itu

Tidak ada yang salah dalam pelafalannya

Mari gabungkan dua senyawa dalam darah

Biar tidak lagi menjadi racun

Dalam peraduannya seiring ikatan suci

Di keabadian

 

Purwokerto, 2018

 

 

 

 

BAYANGAN DI DINDING DOA

 

Menjelang petang, malam yang kelap

Barangkali, wajahmu yang temaram

Tenggelam dalam larutan suci

Seperti langit bersama air

Yang menghendakinya tumpah

Pada bibir yang manis

Namamu melambung ke angkasa biru

Berhias bintang di indah jagad tubuhmu

Seluruh kulit dan sendiku bergetar

Mengguncangkan selaput darahmu

Yang memerahkan dadaku

Angin di pantai asmara

Melabuhkan putik kembang sariku

Lalu menghembuskan nafas pada jelmaan mawar merah

Di warna yang merekah marwah

 

Purwokerto, 30 Agustus 2019




 

DI BAWAH KAWANAN HUJAN

 

Di bawah kawanan hujan

Aku tidak berkeluh

Sebab basah hariku

Juga lusuh sarungmu

Tetaplah kopi yang hangat untukku

 

Aku menghitung rintiknya

dengan sederhana

Setiap tetes adalah kehangatan

Setiap derasnya adalah telaga

Meraup habis lelah dan dahaga

 

Dan aku bersamamu

Lebur dalam butiran kesejukkan

Bersama nafas yang selalu pagi

Di bawah kawanan gerimis

Yang gemerciknya memancur

 

Di bawah kawanan hujan

Aku tidak berkeluh

Meski petirnya menyambar denyut nadi

Tetapi harmoninya

Menjadikan kita sepasang

Tanpa perlu alasan

Melangitkan hati dan hari

Di keabadian lembah asmara

 

Hujan hari telah menyibukkanku

Bersama bibir lembut

Yang bertemu di ujung kerut garisnya

Hingga siang meninggi

Petirpun kembali ke khayangan

 

Purwokerto, 7 April 2019


 

 

 

DALAM PERHELATAN

 

Kala waktu yang dituliskan di hadap mata

Maka apa yang dapat dihina

Sedang aku dalam genggaman

Sang Maha Cinta

Aku tak ubahnya putri embun

Yang merayu kepada bapak subuh

Hendak pecah dari daun talasnya

Meleleh diri kepada hati belahan nafas

Mempercaya bahwa sinar kehidupan

Memancar di tiap sudut waktu

 

Ramai orang datang

Dan saling memelukkan tangan

Bertukar kisah dari desa kepada desa

Menjadi yang terpandai

Perihal daging di tengah lalapan

Sambil memanja diri

Pada keindahan bunga-bunga kain

Berlapis lampion keemasan

Menggantung di atap tenda merah muda

Juga di keasrian dinding-dinding tirai

 

Tubuh ini memanglah anggun

Berbalut kain panjang penyejuk aura

Menjulur-njulur di tangan dua gadis cantik

Mutiara menambah kilau

Seri wajahku sebab rembulan

Berbutir mengusap seluruh debu

Hingga hatinya semakin tertawan

Sejak hamdalah menjadi akhir

Di setiap perjalanan

Mengharap ridho empat sekawan

 

Purwokerto, 18 Februari 2019

 





Tentang Penulis


      MAULIYA NANDRA ARIF FANI, berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Sekarang dia menempuh pendidikan S1 di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto, Prodi Pendidikan Agama Islam. Dia aktifis di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) UIN SAIZU. Karyanya dimuat di beberapa surat kabar, buku antologi bersama, dan pernah jadi Juara 3 Lomba Puisi Nasional Event Hunter Indonesia sehingga dia berkesempatan melakukan kunjungan sastra ke Singapura. HP 085726377842; Email mauliya.nandra@gmail.com; Facebook Mauliya Nandra Ariffani; Instagram @mauliyanandra


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top