Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-Puisi Zakiyyatul Fuadah

0

LANTAS HARUS KUNAMAI APA DIRIMU


Jika antik adalah sepeda ontel dan sepi adalah pojok bilikku, lantas harus kunamai apa dirimu?

Jika tinggi adalah tembok dan rendah adalah buku yang tergerai talu, lantas harus kunamai apa dirimu?

Pada teguk kopi yang mengepul kabut di pinggir jendela pagi tadi; dalam pahitnya aku menjumpaimu menjadi jeda yang meminta spasi malam-malamku kemarin

Pada kemenangan yang sepakat untuk membayar tuntas janji bahagia; dalam tawanya aku mendapatimu menjadi gelas kosong penuh kerompong


Bali, 2020

 



 

TUTUP MATA SEMENIT


Dalam pejamku

Aku mengeja tiap pohon jati yang meranggas

Di sana ada namamu yang dulunya sengaja ditenggelamkan pada riuh angin hutan

Mestinya aku tidak perlu kembali untuk menjadi relawan atas rindu-rindu yang tidak aturan

Sementara daun-daun memisahkan dirinya untuk terjatuh

Dan guruh itu; guruh yang dulunya aku takuti dan menjadi sumber dari segala peluk yang akut- pelukmu

 

Tepat di tiga catatan terakhir, kutuliskan selarik janji

Di mana kita akan bahagia di linimasa putaran jam

Lalu di seperempat jam sore itu, kau memelukku lebih erat

Katamu, takut kehilangan

 

Purbowono, 2020

 

 



SETUMPUK WANGIMU


Malam itu di mana setumpuk wangimu masih tergambar jelas di antara rimbun yang mengembun

Kota yang ramai, desa yang sepi

Kunang yang malam, malam yang sunyi

Pohon-pohon yang menggugurkan daunnya, melupakan yang patah yang resah yang sudah

Kunang yang membawa alang, cerita-cerita menyimpan kenang

Kenang yang menimbun angan

Makna atas makna oleh artinya sendiri

Sial, ingatan ini selalu memuat tentangmu

Terlalu banyak kenang yang kaku

Rumah-rumah yang teduh

Atap-atap yang tinggi menyimpan tadah tanganmu

 

Purworejo, 2020

 

 



LEKASLAH KEMBALI, NARENDRA


Lekaslah kembali, Narendra..

Di puncak bukit pada terjalnya gunung di bawah pohon akasia pada samping bunga edelwis pada manisnya, sudah kusiapkan tempat di mana kau pernah memesan sebelum pulangmu yang terkesan paling menang

Di mana kau bisa melewati sore paling bingung menikmati senja pada padunya

Mana yang lebih terjal; di antara terjalnya gunung dari gunung-gegunung oleh gunung-gunung itu, Narendra?

Senyummu yang tak lagi bujangan

Wangimu yang tak lagi rupawan

 

Purworejo, 2020

 

 



LENGAN MALAM


Aku masih terjaga dalam gelapnya malam, dalam dinginnya yang beku, dalam sunyinya yang tanpa suara itu

Seperti ejaan belanda pada batu kali di hulu, pada bekas sesapan bibirmu di kopiku, pada lampu, pada buku, pada kedua yang terpaku

Aku tertidur dalam bisu tak aturan, dalam lengan malam tak karuan, dalam benturnya aku masih terjaga tanpa suara, tanpa nada, tanpa sajak, tanpa prosa, tanpa nama

Di sini, di tanah kota tua ini, kita pernah membayar lunas semua janji bahagia

Di mana setelahnya kau yang sibuk pada senangmu sendiri

Aku yang tak kalah sibuk pada raguku yang tunggal

Lalu waktu membawa kita berjalan lebih lamban, seolah biar supaya kita tak lagi bising dari keramaian kenang

Biar nanti kita lebih tenang

 

Purworejo, 2020

 



 

PUISI SERIBU


Tak ada perumpamaan kasmaran untuk puisi

Tinggal angin, deru, dan serunya yang berguru pada lagu

Lagu yang lugu

Lugu yang lagu

 

Tak ada yang perlu dibicarakan untuk puisi

Cuma warna, bentuk, dan sifatnya yang candu

Candu yang rindu

Rindu yang biru, biru yang seru

 

Tak ada yang mungkin dirahasiakan dari puisi

Ia berani, di sini, dan inilah puisi; instuisi, ambisi, juga seni

Puisiku mengeja matamu, matamu dieja buru-buru

Biar memburu cepat pada sepi yang kusut

 

Puisiku ini yang kasmaran berlebih

Biar kenapa? Biar si kata tergila-gila untuk menggila lebih banyak

Biar si bait terbirit-birit meluaskan barisnya

Biar aku semaput oleh kata-kata

 

Purworejo, 2020

 



 

DESEMBER


Yang kutahu di ujung kangen yang tak habis dimakan udara, yang menyebar melewati celah, lalu istirahat di bawah batu; menemu Desember

Yang kutahu, di sana hanya tertinggal rona yang jingga, yang berbisik menelan pahit yang ditelisik hujan masa lalu, pergi menyeberang menjumpai sunyi

Di pertigaan jalan itu, kabut-kabut bermainan dengan angin, burung-burung bernyanyi, pohon-pohon menari, kaki-kaki kecil yang lugas mulai menyeka tangismu

Katanya tangismu tangis paling sepi

 

Puisi-puisi merekam kita

Kita yang sok sibuk pura-pura lupa

Lupa akan hujan, lupa akan siang, lupa akan malam

Parahnya, kita lupa tempo hari pernah seasyik ini bukan?

 

Kulonprogo, 2020

 

 



PELATARAN PUISI


Aku bertemu lelaki dalam draf puisi

Dari dalamnya aksara yang semestinya kata-kata tak akan lapuk dan segala doa ada menyalami tanganku

Di mana seutuh tubuhnya ada, terbit di pinggiran kata-kata

Dan mimpi, kini seperti semburan ombak di pesisiran pantai

 

Sungguh asyik, apabila sore kita tenun dari gemuruhnya air laut

Dari karamnya luka dan liku yang meredup

Dari karangan syair yang menutup jeda dalam suara

Kita telah lewati empat belas jam berlalu

Berkendara di putaran bukit

Menikmati belantara

Bercengkerama, bernyanyi, dan tertawa

Semestinya puisi ini jadi nyata, Sayangku

 

Wonosari, 2021

 

 



MENGUNJUNGI PUAN


Seluruh bekas omong kosongmu ada di air yang tenang ini, Ra

Sekarang malu sendiri

Kulingkarkan syal di lehermu, terpikat aku dimabuk cinta oleh si pacar kawat pagar danau atau kesengsem

Ah kangen tak akan sampai padamu

 

Angin membawa debu, deru-deruan terapung di air, sejuk di orong-orong pagi, melintir, memendekkan bicaraku pada kuda-kuda di taman, perasaanku ringan tapi asal-asalan

Duh syahdu! Aku duduk termangu dalam pelukan pagi

Puisi sudah kuselam berapa kali, biar puisi punya isi

Tidakkah aku sia-sia menulis ini?

 

Ah, kangen belum sampai padamu, Ra

Aku terduduk lagi

Sekarang malu sendiri

Memetik bunga camelia, menghirupnya, wangi sekali

 

Temanggung, 2021

 

 

ASTUNGKARA


Pada ruang yang entah kapan, kita berdua; mengarang puisi berhalaman buku-buku

Pada waktu yang entah kapan, kita berdua; berhasil labuh pada dermaga

 

Sebelum suara telah jauh mendalami telinga

Dan jemu, aku bayangkan bulan berpendar membaca malam

Dan pena ini menari ayu di tembok-tembok gang

Di sana, di tempat kita beradu kesedihan; sepotong es krim mencair dengan leleh cokelat kesukaanku

 

Terlebih, kau lebih suka keindahan

Pagi itu ditumbuhi mendung dan sepayung hujan

Dengan asam gerimis dan rintik pahitnya

Aku lebih ingin menyukai ketenangan dalam air kolam

 

Purwokerto, 2021




Tentang Penulis


          ZAKIYYATUL FUADAH lahir di Purworejo, 18 April 2003. “Kiyya” begitu kiranya panggilan kesayangan teman-temannya. Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unsoed ini aktif di beberapa komunitas seni, salah satunya KTP (Komunitas Teater Purworejo), Lingkar Jelma, dan SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) Purwokerto. Ia mulai mengakrabi dunia kepenulisan sejak di bangku SD, mulanya hanya iseng membaca diary milik si bunda, lama-kelamaan asyik sendiri.

        Beberapa karyanya telah di muat di majalah Purworejo tahun 2020, lalu dua puisinya berjudul “Javad” dan “Awak Kapal Terenggut Sepi” berhasil masuk dalam kategori puisi terbaik Nasional tahun 2020 dan diterbitkan dalam antologi bersama.

         Kini, ia sedang menulis antologi solo untuk yang pertama kalinya. Doakan semoga cepat tuntas yha! 


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top