Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Musyafa Asyari

0


KENANGAN YANG BERUJUNG KELAM


Jika burung gagak hitam berkoak-koak di atas bumbungan rumah, maka kematian akan segera menjamah dan sudah semingu ini seekor burung gagak hitam besar terbang berputar-putar, di atas bumbungan rumah Nabila sambil berkoak-koak. Para tetangga saling bertanya-tanya, dari mana datangnya si burung gagak hitam. Awalnya hanya satu dua orang tetangga yang melihatnya, tapi kabar keberadaan burung gagak itu cepat terbawa angin, merambat ke pucuk-pucuk daun, dan menerobos celah-celah dinding tetangga yang lain.

Tentang burung gagak itu, Nabila sudah mengetahui keberadaannya sebelum orang lain mengetahuinya. Ketika para tetangga memberitahukan perihal gagak tersebut, Nabila hanya bisa mengangguk. Namun, wajahnya menggambarkan seorang perempuan yang diambang kesedihan.

Tepat malam sabtu, ketika Nabila sedang tidur pulas di kamarnya. Sedang malam menyapa dengan keheningan yang dingin. Suara yang terdengar hanyalah jangkrik, bersahutan satu sama lain. Nabila terbangun dengan mata yang begitu berat. Ia memaksa untuk bangun. “Wush!!!” Semilir angin malam lewat begitu terasa masuk ke dalam kamar, di mana ia tidur. Angin masuk menerpa seluruh ruangan dan menembus pori-porinya. Sungguh dingin sekali kala itu. Ia tidak langsung bangun dari tempat tidurnya. Hanya terduduk dan melepas lelah dalam tidur.

Langit semakin gelap. Terdengar teriakan anak-anak yang bekejaran dan tawa ibu-ibu yang bergunjing di tepi jalan. Pintu yang tak terkunci itu perlahan terbuka dengan derit yang sudah akrab di telinganya. Di sana, di atas karpet ruang tamu warna merah lengkap dengan motif bunga mawar yang merupakan hadiah pernikahan dari rekan kerja satu perusahaan, terbaring Komar, suaminya, dengan wajah pucat. Nabila merasa hatinya robek dari dalam, seakan hal yang ditakutinya ini akan terjadi, dengan langkah yang gelisah. Ia pun menghampiri tubuh yang sedang terbujur kaku itu.

Tubuh lelaki itu sudah lemah tak berdaya. Matanya mengarah ke lampu gantung yang berada di langit-langit ruangan. Perempuan berambut panjang itu membungkuk hingga ujung rambutnya itu jatuh tepat mengenai telinga Komar. Kemudian ia dekatkan telinga kecilnya ke hidung besar Komar, tak ia rasakan embusan nafas pun keluar hidungnya. Ia masih tidak percaya. Lalu ia dekatkan tangannya ke pergelangan tangan Komar, lagi-lagi denyut nadinya pun tak terasa. Dengan rasa yang masih tak percaya, Nabila menyentuh leher Komar, dan ia merasakan kulit yang sedingin air musim hujan.

Refleks, air mata Nabila turun, jatuh di kulit pipinya yang berlimpit. Ia hapus matanya yang mulai mengabur itu. Secara tak sadar Nabila mengelontarkan jeritan di mulutnya. Jeritan itu keluar lewat pintu depan dan terbang di langit malam, menghentikan warga yang sedang beristirahat. Para wanita berdaster berbondong-bondong mendatanginya, disusul dengan suami mereka yang kaget dengan suara Nabila. Rumah itu langsung berguncang disebabkan jeritan Nabila dan diikuti jeritan ibu-ibu kampung yang mendatanginya. Malam itu adalah malam yang kelam, malam terakhir ia berjumpa dengan suaminya, Komar.

Malam itu juga seluruh warga kampung berkumpul. Kemudian para lelaki menyiagakan keranda dan para perempuan menyiapkan kain mori panjang. Beberapa remaja perempuan saling mendengungkan ayat suci, sebagian lainnya meronce sedap malam, melati, kantil, dan diselingi dengan potongan pandan. Ada pula yang duduk di sekeliling jenazah yang sudah ditutup kain mori panjang. Namun, Nabila hanya terdiam di sudut ruangan dengan pikiran yang berkelana di masa lalu, melihat kembali sebuah kenangan indah dan kilas balik hidupnya bersama Komar.

Ia teringat ketika Minggu siang di bulan Maret. Matahari begitu perkasa dengan teriknya. Menampar wajah-wajah bumi yang sensitif. Keringat berkeluh membanjiri kulit-kulit yang berbalut baju hitam, butiran keringat yang mungkin sebesar biji jagung itu membasahi baju hingga jaket yang membungkus tubuhku, dan setiap orang menghabiskan waktu mereka bersama keluarga dan orang terkasih. Menonton, mengobrol, makan bersama, dan sederet kegiatan mengasyikkan lainnya.

Nabila menaiki bus yang biasa naiki ketika akan ke kantor. Namun, kali ini ia bersama dengan Andung adik lelakinya untuk pergi ke sanggar seni kota, Nabila ingin menemani Andung melihat pergelaran wayang yang diadakan setiap Minggu siang, kala itu adalah kala pertama kalinya Nabila berjumpa dengan Komar. Komar adalah pedalang andal yang baru saja memainkan wayang-wayangnya. Komar bukan hanya andal dalam memainkan wayang tapi juga mempunyai sesuatu yang membuatnya menarik.

Seusai mendalang, Komar mengambil tempat duduk di meja seberang dan memesan segelas kopi hangat dengan sedikit gula. Ia mengangkat kopi dan tersenyum menghadap Nabila. Kemudian, Nabila membalas dengan senyuman sederhana dan menganggap senyuman Komar adalah undangan agar Nabila pindah duduk semeja dengannya.

“Kau suka wayang?” tanya Komar begitu Nabila duduk di depannya.

“Aku suka. Begitu juga adikku.” Nabila menunjuk bocah lelaki gemuk berambut ikal yang sedang berusaha mengambil buku bergambar di rak nomor tiga. Rak buku yang berisi tentang buku-buku sejarah Nusantara. Tangannya menggapai-gapai ke atas sehingga lengan pendek dengan kaus hitamnya tersingkap. Setelah beberapa kali percobaan, ia menyerah dan mengambil buku itu di rak nomor satu.

“Oh, itu adikmu? Ia pintar. Tadi ia sempat mengajukan pertanyaan kepada temanku yang sedang membuka sesi tanya jawab setelah ia menjelaskan sejarah Majapahit. Aku jadi bertanya-tanya apakah kecerdasannya menurun darimu atau dari ibunya?” Ujar Komar sambil meminum kopi hangat yang baru saja diantarkan, sedangkan pandangannya itu menyapu ke barisan orang tua yang sedang duduk di karpet ruang sastra.

Nabila tersenyum “Kecerdasan Andung, tentu turun dari ibunya. Ibunya sekaligus adalah ibuku adalah seorang penulis, penulis buku sejarah lebih tepatnya.”

“Mungkin kau pernah mendengar nama ibuku.” Cetus Nabila sambil menyebutkan sederet nama pena ibunya.

Mata Komar sedikit berkilat dan mulutnya membentuk lubang donat, seakan ia tau siapa sebenarnya ibu dari Nabila.

“Itulah kenapa aku membawanya ke sini. Aku ingin ia mencintai buku, seperti halnya ibunya. Mungkin saja kelak ia akan menjadi penulis.”

“Aku yakin ia akan menjadi penulis hebat. Bukankah kakaknya adalah penulis yang hebat pula? Buah tak akan jatuh dari tangkainya.” Ujar Nabila sambil melontarkan gigi gingsulnya.

“Aku aminkan saja. Kau dan adikmu akan mewarisi ilmu dari ibumu dan akhirnya bisa menjadi seorang penulis yang hebat,” bisik Komar dengan pelan seakan ia tak mau obrolan kita itu terdengar oleh orang ketiga.

Tiba-tiba suasana hening, tak ada yang dipertanyakan Nabila, ia melihat seluruh perempuan yang duduk di bangku taman itu gelisah. Mereka sama-sama menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu hingga mengungkapkan cinta. Tetapi, Nabila, salah satu di antara lima perempuan yang duduk di lima bangku itu, tidak memperlihatkan aroma kegelisahan walaupun ia juga berharap ada lelaki yang menghampirinya dan mengungkapkan cinta. Bagaimanapun juga, menunggu adalah pekerjaan, pikirnya. Bukankah bekerja tak ada yang sia-sia kecuali bagi yang putus asa?

Perempuan berumur dua puluh lima tahun itu selalu bertemu dengan Komar, hampir setiap hari ia bertemu di sanggar seni itu. Nabila merasakan ketenangan, kenyamanan, hingga jatuh hati. Begitu juga dengan Komar yang tiba-tiba menyatakan cinta kepadanya.

“Aku mencintaimu.” Ucap Komar seraya bergumam dalam hati bahwa Nabila adalah pendamping hidupnya kelak.

Di sini Nabila dipertemukan dengan Komar. Setelah beberapa bulan pendekatan Nabila pun menjawab perasaannya.

“Aku juga mencintaimu.”[]






                      Tentang Penulis


        Musyafa Asyari. Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto. Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni 2003. Penulis beragama Islam dan bergiat menjadi anggota SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban). Karyanya pernah terpublikasikan di Cerano id, Borobudur Writers, dan go kenje. Sekarang berdomisili di ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah 1. Penulis dapat dihubungi melalui HP 08572722834 atau Email: musyafaasyari03@gmail.com

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top