Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Rahma Anggita Laras

0

RUMAH MASA DEPAN

 

Langit menghitam, pertanda hujan akan datang. Rintik hujan mulai turun membasahi desa. Di dalam rumah yang sederhana, Slamet tengah asik menikmati secangkir kopi sembari membaca koran. Tetesan air jatuh tepat di tengah koran yang sedang dibaca. Ia mengambil ember untuk menampung tetesan itu. Hujan semakin deras disertai angin kencang, hingga setiap satu jam sekali ia harus membuang air tersebut ke dalam kamar mandi. Bunyi decitan bambu yang bergesekan terdengar, setiap kali angin berembus kencang. Slamet membetulkan hordennya yang berkibar-kibar seperti bendera tertiup angin, lalu menghampiri kedua orang tuanya di ruang tengah.

 “Pak, Bu, kelak ketika sudah kerja nanti aku ingin bangun rumah ini menjadi rumah yang layak untuk ditempati. ucap Slamet.

Aamiin nak, ibu dan bapak tak pernah hentinya mendoakan kebaikan untukmu.

***

Slamet pergi ke negeri seberang untuk mencari pekerjaan. Zaman sekarang mencari pekerjaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Seminggu sudah ia mencarinya, namun kata tiada lowongan selalu terngiang di telinga. Bajunya lusuh serta rumput liar terselip di antara helaian rambut. Berjalan gontai tak punya tujuan. Hingga ia putuskan untuk mampir di sebuah warung kopi.

“Nak, nak, zaman sekarang ijasah SMA tak berarti apa-apa kalau kamu tak punya keterampilan, sekalipun nilaimu sempurna. Terus rencananya kamu mau kemana sekarang? tanya pak Jamal.

“Saya belum tahu mau kemana, Pak. Ingin pulang namun aku malu, tak pulangpun aku tak tahu harus kemana, karena sanak saudarapun aku tak  punya.

“Begini saja, anakku sedang menggarap suatu perumahan dan masih butuh orang untuk membantu para tukang membuat pondasi. Jikalau tak keberatan, kamu bisa tinggal di sana sementara waktu sambil membantunya.

Terucap tahmid di dalam hati. Ternyata di zaman yang modern ini, masih ada orang yang mau menolongnya. Tak peduli pekerjaan apa yang sekarang ia kerjakan, yang penting halal baginya. Ia putuskan untuk berbohong, sekarang menjadi karyawan di salah satu perusahaan terkenal karena tak enak hati memberi kabar kepada kedua orangtuanya kalau ia menjadi kuli bangunan.

Sedikit demi sedikit Slamet mampu memperbaiki rumahnya, namun bapak tak sempat melihat hasil jerih payahnya bekerja, karena beliau lebih dahulu pulang kepada sang pencipta. Gubuk bambu yang dulu rapuh kini terlihat kokoh dan sederhana. Baginya rumah yang ia perbaiki sudah layak untuk ditempati, hingga ia putuskan untuk menikahi Siti, anak pak RT yang telah lama mengisi hati.

***

Di sela istirahat, Slamet mengamati lingkungan di sekitar tempat bekerja. Ia melihat perumahan Pondok Gede. Terbesit di benaknya untuk memiliki salah satu rumah di perumahan itu. Suatu malam ia mengutarakan keinginannya kepada sang istri. Hingga menempati sebuah perumahan yang megah dan mewah menjadi targetnya kali ini. Ibu, istri, sekaligus tiga anak terasa sesak jika harus tinggal  dalam rumah yang kecil. Ditambah lagi disampingnya terdapat rumah Bambang yang seperti istana. Pagar besi mengelilingi rumah, serta lantai marmer yang menyilaukan mata menjadikan Slamet minder bertetanggaan dengannya.

Pergi pagi pulang larut malam menjadi kebiasaan Slamet. Istrinya selalu menunggunya pulang, bahkan sampai ia ketiduran. Kalau ditanya, Slamet selalu menjawab “Bapak sedang berusaha agar bisa membeli rumah disalah satu perumahan Pondok Gede mah, jadi tiap hari harus lembur. Segala macam cara dilakukan demi mendapatkan sebuah rumah impian. Padahal istrinya tak pernah mengeluhkan perihal rumah kepadanya. Baginya rumah sederhana ini cukup layak untuk ditempati. Namun tidak bagi Slamet, apapun keinginannya harus dituruti.

Berkat kerja keras, akhirnya Slamet kini berhasil membeli salah satu rumah impiannya ini.

“Lihat Bu, aku bisa membeli rumah ini dengan jerih payahku selama ini.

***

Genap setahun setelah Slamet menempati rumah impiannya tersebut. Kini baginya rumah impiannya adalah rumah yang besar, halaman luas serta mobil mewah yang terparkir di garasi rumah. Sebisa mungkin ia harus bisa membangun rumah itu. Keluarganya tak pernah meminta rumah yang mewah, bagi mereka rumah yang sederhana asalkan nyaman untuk ditempati itu sudah cukup. Namun lagi-lagi keinginan Slamet tidak bisa dibantah sekalipun istrinya sudah berulang kali membujuknya.

Kebiasaan pulang malam terulang lagi. Istrinya selalu mengingatkan tentang kesehatannya namun tak pernah ia gubris. Hingga suatu malam Slamet tak pulang ke rumah, juga tak memberi kabar keluarga sehingga membuat panik istri yang selalu menunggu kepulangannya. Pagi harinya, teman kerja Slamet datang menjemput Siti dan membawanya ke sebuah rumah sakit. Tubuh Siti gemetar saat melihat suaminya yang kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia menangis melihat kondisi suaminya.

Slamet terbangun dari tidur panjangnya. Pandangan serba putih yang pertama kali dilihatnya serta bau obat-obatan menyeruak di dalam ruangan ini. Apakah sekarang ini aku berada di rumah impianku, pikir Slamet. Namun pikiran itu ditepis kasar saat jarum infus tertanam di punggung tangan kirinya serta selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Akibat kurang tidur sekaligus makan yang tidak teratur ia kehilangan konsentrasi. Ia terjatuh saat menaiki tangga lipat. Untungnya luka yang dideritanya tidak cukup fatal, namun ketika tidak langsung mendapatkan pertolongan mungkin ia akan banyak kehabisan darah. Beruntung Tuhan masih menyayanginya.

Luka sakit belum sembuh, ia memaksakan diri untuk terus bekerja, agar apa yang diinginkannya itu cepat terlaksana. Begitu semangatnya bekerja, ia melupakan bahwa kesehatannya pun butuh dijaga. Pandangannya kabur, saat sebuah hebel jatuh mengenai kepalanya. Dunia terasa gelap baginya.

Harum mewangi, inilah rumah impianku saat ini. Tapi mengapa begitu gelap, dan terasa begitu pengap. Di mana keluargaku, mengapa hanya ada aku disini.

“Selamat jalan, Pak. Sesungguhnya inilah rumah Bapak yang sebenarnya, berbahagialah di sana.

Ia hanya mampu mendengar sanak saudara mengucapkan selamat jalan kepadanya tanpa melihat rupanya. Hasrat hati ingin bangkit mencari mereka namun ikatan-ikatan yang ada di tubuh ini membuatnya kaku tak bisa digerakan, suaranya tercekat tertahan di tenggorokan, ia hanya bisa melihat tubuhnya kini dipenuhi cacing tanah, lintah dan kalajengking. Hanya pasrah yang dapat ia lakukan.

 

 

 

 

Tentang Penulis


        Rahma Anggita Laras, lahir di Brebes 25 Desember 1999. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci Purwokerto Utara. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Satra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. E-mail: rahmaanggitalaras25@gmail.com 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top