Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-Puisi Ardy Suryantoko

0



 ANGIN KEMBARA

 

angin telanjangi senja

bunyi tongkeret berputar di telinga

burung kecil dibiarkannya terbang

melintasi langit retak

 

bunga-bunga kelapa rontok

sementara angin tak diam

kaleng berkeloneng

sabit belum juga usai

pangkasi rumput di pematang

 

senja telanjang, tak ada anggun

di sobekan daun pisang

tak ada jingga maupun wanginya

 

kuncup padi tak tersemai

tubuh gigil kala senja padam

cangkul tengkurap di punggung pematang

sementara emak bapak asyik

bersihkan sisa lumpur di tangan dan kaki

 

senja dimakan angin berlaksa

hidup tak hanya membungkuk

sekalipun liar putik padi tak akan bermilyar

karung-karung kosong atau

berlubang oleh angin lalu

 

juni, 2015


 



BAGIAN SAJAK DARI TANAH KELAHIRAN

 

ingatkah kau percakapan di kota yang terkatup kabut

di sana kesepian tak pernah mau pergi

melahap nama yang kita anggap sebagai raja

dan kita hanya bagian dari ketegangan semata

 

ribuan surat selalu dikirim kepada yang esa

dengan perbedaan aksara dan tutur kata

kita hanya tak pernah tahu ihwal rupa dan warna

 

di tanah dingin segala urban adalah sangsi

bagian yang tak pernah bisa dipisahkan

sebagai langit atau buminya

 

jalanan lengang, saat matahari mengintip dari celah gunung

mata kita terbelalak saat waktu merangkak

dan terus berdetak menggambar orang-orang yang bergerak

 

di kota ini kita besar

kota yang katanya subur dan makmur

dari tepian kita selalu coba mengenalnya

mencari bagian pulung yang ditinggalkan

di rumah dan gedung-gedung

 

kemana angin akan berlari

sementara mereka selalu mengumpat, kita ini gila!

 

di pinggir jalan anak-anak sulit tertawa

mereka hanya menggigil

makan dan minum dari kebaikan hari

tubuh lemah terlalu lama menahan gelisah

untuk pulang ke rumah

 

saat senja pulang sama-sama kita lihat

banyak orang tua tertunduk lemas di tepi pematang

ladang garapan tak ditumbuhi harapan

 

angin begitu cepat berlalu, melahap waktu

doa membeku, mengingat masa lalu

masa kecil penuh mimpi dan harap

di dadaku akan selalu kuketuk pintu

untuk yang benar-benar perlu

 

juli, 2015






IA SEMAKIN DEWASA

: Pasar Wonosobo

 

belum genap usia di tengah musim

ia membakar yang baru dimulai

hanya sisa bau abu mengepul

kayu-kayu berserakan di lantai

keramik pecah hanya saksi

 

rumah ini tak pernah mau sepi

dari tangga ke tangga tersaji janji

lampu-lampu tergantung sepi

lalu apa yang mesti ditangisi

sedang gedung-gedung dibangun

perempuan penggendong bakul

tumpahkan keringat mandul

 

ia tak semudah itu lahir

dari sampah-sampah kota

membakar luka yang sama

di jalan yang seharusnya

tak ada antara

 

juli, 2015




 

GADIS PEMANTIK ANGIN

 

harum bunga dari rahimmu

cumbui hidung yang resah

sempat kita nyanyikan kidung

untuk hormati kematian terdahulu

kemudian mencari hidup baru

 

mengigau untuk habiskan waktu

sepi menelikung jalan pulang

angin dipantik dari ladang kering

seorang gadis pergi menuju perigi

tak ada air, tak akan tumbuh tunas

hanya sisa bunga rahimmu

yang gugurkan mahkota

 

juli, 2015


 



SETELAH JALAN

 

gadis-gadis hibuk di trotoar

menunggu musim berganti

rambu jalanan digerogoti angin

trotoar lusuh dan berlumut

tak ada gorong-gorong muat

menampung airmata

 

gadis-gadis hibuk di trotoar

lupa di desa emak bapak

kelimpungan menggembur doa

nyanyi terdengar di sepanjang jalan

dari rumah kecil berlampu pelangi

 

gadis-gadis hibuk di trotoar

bukan sanak saudara ditemui

tapi mereka yang tak dikenali

tak ada senyum simpul atau

peluk hangat seperti suasana

di tepi tungku dari dingklik bambu

 

juli, 2015




 

WAKTU DAN KOTA

 

waktu pandang melengkung

jauh ke seberang pengasingan

kota dikembarai angin menderu

bayang di seberang tak tampak

 

di kota mana sekarang berada

gadis membujur ke arah maut

angin meneriakan teka-teki

 

tangis membuncah

ia mati dari jerit ibunya

begitu mengalir ke awal

kesakitan tertinggal di kota

tapi bukan miliknya

 

juli, 2015




 

DI TEMPAT KITA BERBINCANG

 

tak ada yang lebih sedih lagi

seperti beringin rontokan buahnya

lalu lebih sedih lagi seperti

sendang yang mengering

dan buah-buah tadi tercebur

langsung ke dasar yang batu

 

puing-puing bertumpuk sisa masa lalu

lebih mirip setumpuk tanah uruk

lenyap sudah sejarah murninya

rumah-rumah semakin ramai

jalan-jalan tempat dulu

memulai kerja penuh waktu

kini mulai pecah

luput dari catatan sejarah

 

 

september, 2015




 

JEJAK ANGIN I

 

tak ada jejak di pegunungan Dieng ini

hanya angin hibuk menangkap titisan Drupadi

dan kalian yang datang dari bumi tepi

nujumata air tancapkan dupa pada kuil semadi

 

pada hampar dingin, mendesir tangis dekat muasal

anak-anak minum dari mulut hujan

angka masehi deras mengucur dari sendang

menyepuh airmata pada deras Serayu

 

wangi belerang menguat dari dasar telaga

sementara petilasan mulai renggut dahaga

anak-anak menarik kabut dari derita

seorang pertapa menangkap derap moksa

yang hilang pada putih ufuk nirwana

 

bila Bima tersuruk ke balik goa

maka jauh ke lembah doa terbangkan malaikat

yang sayapnya mengepak turunkan hujan

basahi bibit-bibit kentang yang mulai tunas

dalam bahasa yang padam dan hambar

 

biarlah emak bapak telanjang

berbual dalam syukur dan mendengkur

saat tidur menghadap surau

menghisap aroma tembakau

 

adakah anak-anak seperti sorga

tempat berpijak duka setelah musim berkelakar

rintih angin mengarak dengung peristiwa

mengecup atap rumah yang landai

sepi terpelanting pada punggung bumi

 

barangkali Drupadi mengaca ke dalam bening telaga

menitikan airmata yang jelma nyawa

hingga waktu makin purba dan berwarna

memulas langit tanpa perantara

anak-anak nyelip di rindang pohon karika

 

oktober, 2015


 



JEJAK ANGIN II

 

di kotaku tumpang-tindih lembar hidup masai

segala muasal tak pisah dari siang malam

berita-berita telah sampai pada alamat tepat

harap menjadi kekasih paling setia

 

duh mak, kuputari jalan terbenam pilu

getir lintasi manusia tak henti

sebagaimana takdir nafas berat mengudara

jam tak lagi menunjuk waktu yang tepat

anak-anak minggat dari rumah adat

 

angin turun dari langit kitari kota

seperti aku turun dari gendonganmu

pijakkan kaki pada tanah lapang berdebu

kenangan terlontar pada pasar berserak

kupandang langit dengan tangis terisak

 

kubawa buku dongeng pemberian kakek

kuselipkan pada malam yang kehilangan bunyi tokek

lagu-lagu nostalgia mengalun lirih di riuh pasar

lagu-lagu kebangkitan leleh di lubang sejarah

ia bisikkan sendiri cerita pada bumi

 

di pasar hanya cemas yang diperjualbelikan

sementara gelas bekas kita sulang airmata

tergeletak pada lapak-lapak dan mulai retak

kepada siapa masehi akan dititipkan

putarannya semakin menepi mereka lapar

 

di tengah pasar ini

tawa bentuk dusta dengan harga paling murah

tak dijual di pasar manapun

pedagang musiman jajakan aneka barang

sementara aku mencari masa kecil

yang hilang di bawah bayang bianglala

 

duh mak, aku ingin beli mainan anak-anak lagi

di lapak yang dulu sering kita sambangi

tidakkah sekarang mereka berkeluh

mereka mundur dari pusat kota

ke pasar-pasar yang dibuka di tanah lapang

tidak setiap waktu berdiri menjulang

 

oktober, 2015






Tentang Penulis

ARDY SURYANTOKO, kelahiranWonosobo, 19 Desember 1992. Penyair ini beralamat di Binangun 002/004, Gunungtawang, Kec. Selomerto, Kab. Wonosobo. Saat ini dia menjadi pendidik di SMA Takhassus al-Qur’an Wonosobo, dan bergiat di Komunitas Sastra Jejak Imaji. Pos-el: ardysuryantoko@gmail.com.


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top