Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-Puisi Aufannuha Ihsani

0


tentang pengetahuan

 

angin yang mengawinkan benang sari

pada putik, tak akan menjawab dirimu.

hanya rasa syukur dari mereka

yang pernah menanam cinta

melulu berdengung

seperti lebah atau dzikir malammu

yang paling bisu, mengembara

dari muhammad ke locke

dari qur’an ke tabula rasa.

 

akal kita tenggelam dalam

deretan ayat-ayat suci

satu kegilaan yang kauterima dalam diri

lantas kauamini.

tiba-tiba,

pada sehembus angin

yang menyibak rambutmu

kautemukan alam raya.

 

//2013

 

 


 

rijsttafel

 

enam puluh jongos

tanpa alas kaki, mengular

dan kepala-kepala petani

tersaji pada tiap baki.

 

enam ribu petani

tanpa kepala, mengubur

harapan di ladang-ladang celaka

milik para tuan dan noni belanda.

 

begitu dingin sejarah

begitu miskin kisah-kisah

orang lemah.

 

//2013

 

 

 


terasi

 

sembah sujud binatang-binatang laut

dan liurmu tertahan pada penantian.

ajal datang bersama hancur jasad

menghitam dan pekat. secuil kaugenggam

jadi sambal atau bumbu sayur asam.

secuil lagi untuk esok hari

buat santapan yang itu-itu lagi.

 

maka bikinkan aku terasi yang kaukumpulkan

dari sekerat ideologi. tambah dengan

besi-besi tua bekas senapan

atau mayat-mayat bayi.

makan siangku daging manusia, didorong

ke lambung dengan darah yang

netes dari luka. nyam!

 

terasi itu jadi daging dan darahku.

binatang-binatang laut, kini,

enggan singgah di meja makanmu.

 

//2013

 

 


 

das ding an sich

 

jika kupandangi rekah mawar, atau

kucium wangi melati, usaikah kukagumi

apa-apa yang indah

sementara nalarku bekerja

dengan pemakluman demi pemakluman

akan segala yang melintas

dan disimpan dalam pikiran

sebelum mawar dan melati itu layu

dan yang lain sama sekali

kembali bermekaran?

 

//2013

 

 


 

jembatan

 

waktu berhenti di atas bus,

kaca jendela lepas, bising tak lagi.

dalam dadaku yang nahan rindu

dan fajar pecah di atas suramadu

aku tak tahu

wajahmu kah yang kunanti

atau matahari pagi itu?

 

//2012

 

 


 

telepon genggam

 

telepon genggam itu merajam gelisahmu

untuk sebuah pesan, yang mungkin

tak pernah datang.

deringnya kepak kumbang,

getarnya denyut nadi, pelan-pelan ia

menghunjam ke pangkal

penantianmu.

 

deringnya lalu kauganti

dengan lagu yang mempertajam duri

di sepanjang perjalananmu.

ketika ia berdering,

kau terbangun dari kebebasan

dari kesadaran dalam ketaksadaranmu.

 

//2012

 

 


 

jejak

: p.s.w.

 

kemudian kaususuri jejak-jejak jauh

ke muasal, diri yang mana

yang tinggal dan tertanam

: tanah, barangkali penanda

di mana hatimu tertambat sementara.

 

silsilah-silsilah tua, luka

dari hulu yang muskil memuara.

matamu daun bambu, dihembus ragu

dibasuh kenangan yang sengaja.

 

satu-dua anak-anak hawa pergi tanpa pamit

ribuan mil ke ujung benua, mampir.

sebentar lalu melayari samudra.

tapi siapa tahu apa yang mereka tanam, apa

yang mereka tambatkan.

 

lalu agama, ritus, dan upacara.

iklim, musim, dan cuaca.

para pemikir, peperangan, juga negara.

jejak-jejak makin pupus, dihapus

slogan-slogan soal nasion

pidato-pidato dengan suara bariton.

 

jejak kita, jejak-jejak kuasa.

 

maka tanamkan apapun, tambatkan

ke tiada.

 

//2012

 

 


 

selesai

 

dan lagu-lagu tentangmu, dalam mimpi

yang disentuh tanganmu.

aku jaga.

 

langit cerah,

rambutan ranum di halaman

dan anak-anak mainan bola,

percakapan kita hamlet dan orfelia.

 

kau pergi, lalu sepi.

isakku mampat di pita suara.

 

//2011

 

 

 


peziarah kubus

: aunil fadlilah

 

barangkali

rindu telah menjelma piutang

yang musti lekas kaubayar

musti kaulunasi.

 

kaukunyah firman,

ayat-ayat perjalanan, ketika

takbir dari bibirmu gemetar,

mimpi-mimpimu tangis ismail

atau gelisah hajar

dan igau bergarau, memanggilmu

dengan dengih nafas yang selalu

: bergegaslah.

 

kau pamit pada suatu pagi

diantar orang-orang berharap berkah

dan sebagainya dan sebagainya.

yang kutahu: perjalanan membekas

bukan di awal mula.

 

nanti, bisikkan namaku

di antara ratus doa-doa berdengung

di arafah. lalu kenanglah mereka,

yang merayakan duka

setelah terusir dari surga.

kenang juga pembunuh

dan yang terbunuh

sebagai hulu sejarah

yang menjelma riwayat kuasa manusia.

 

titi shafa dan marwa

tanpa tergesa. biar mimpimu jangan lagi,

biar tak lagi basah bantalmu

pagi-pagi. lalu salamku sampaikan

buat muhammad, air mata

yang membasuh duka dunia.

sampaikan padanya: lacur,

orang-orang mengingatnya, seraya

menghancurkan warung makan

di terik puasa.

 

kemudian dalam kubus,

sembahyanglah menghadap mana saja

sebab tuhan tak bersemayam, dan diam

akan peristiwa ke peristiwa.

 

//2011






persinggahan di rumahmu

 

di teras rumahmu, kita

lepas berbincang soal

gembur tanah yang rekah dibawa musim

menyambut buldozer membajak

dan kerbau-kerbau menunggu nyawa

dicabut saat idul adha.

 

kaupastikan anak-anak tetangga

bermain gobak sodor

sebelum betara kala lewat

di penghujung maghrib, sebelum

iklan-iklan pasta gigi di televisi

meracuni mereka.

 

kaulah juga

yang mengetuk pintu kamarku

di bibir subuh, berkata

: “jangan,

jangan sampai anak-anak di surau

menantimu dengan beragam prasangka”

selepas gigil yang nyeruak

dari pintu jendela terbuka, membangunkanku

untuk membetulkan selimut yang tersingkap

dari dada dan ujung kakiku.

 

anak-anak itu mesti tahu

usia hanyalah bilangan

dewasa dan menua adalah perjalanan

yang tak pernah seketika.

 

gumamku mengkhianati nurani,

kamu menanam duka

pada gigil pagi hari.

sebelum matari meninggi

aku telah pamit dalam sepi.

 

//2011




 

pembabakan

: buat m.

 

dari belakang pentas, aku ingin melihatmu

menarikan sungai, mengantarkan seorang bayi

dilarung ibunya. demikian titah dewa, atau

sang ibu mau anaknya belajar merindukan

samudra?

 

aku ingin melihatmu

melukiskan duka lewat gerak dan laju,

namun akhir nantiku pada babak kesekian.

beberapa saat menunggu, beberapa saat

usiaku berkarat.

dan pada pelafalan naskahku, aku tahu

: peran telah memisahkan kita

dalam babak dan bagian, mungkin juga

dalam kehidupan.

 

tak ada percakapan denganmu, tak ada

tegur sapa atau sebagainya. kukira

begitulah baiknya.

tiap peran adalah kesementaraan

yang fana, seperti kenangan

kau melulu ingat dan melupa.

 

//2011






Tentang Penulis

            AUFANNUHA IHSANI, lahir di Semarang, 29 September 1990. Dia mulai menulis puisi sejak 2005, saat masih nyantri di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, hingga 2013, saat tengah berjuang untuk lulus kuliah. Selepas itu dia hampir tak pernah lagi menulis puisi. Beberapa puisinya dimuat di rubrik “Kakilangit” Horison saat Aliyah, beberapa lagi dalam antologi puisi Agonia (2012), dan sisanya yang kurang bagus berserakan di https://sokseriHYPERLINK "https://sokserius.livejournal.com/"uHYPERLINK "https://sokserius.livejournal.com/"s.livejoHYPERLINK "https://sokserius.livejournal.com/"uHYPERLINK "https://sokserius.livejournal.com/"rnal.com. Sejak 1 Desember 2021 Aufannuha Ihsani menjadi Dosen tetap di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto, di Prodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora (FUAH).



Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top