Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-Puisi D. Zawawi Imron

0

TAFSIR PELANGI

 

Gendang berdentam, berdentam-dentam

Di antara dentam aku melangkah di sela ilalang

Bunyi berhenti, aku terus berjalan mencari makna

Kenapa jejak ditinggalkan kaki

Dan pahlawan yang kari tulang

Bukan sekedar tulang belulang

Ada kunir, jahe dan lengkuas

Yang membumbui awan di atas

Ada mendung hitam

Akan mematangkan langkah hujan

Agar langit tak sedih

Dan bumi tidak menagih

 

Gendang masih berdentam

Melakukan tafsir baru pada pelangi

Pada bambu, kelepak elang dan padang senja yang sunyi,

Bahwa hidup tak cukup nyali

Atau gula yang jadi tengguli

 

Jantung berdetak mengetuk langit

Benih menderai bagai disemai

Ada tafsir lain tentang pelangi

Melayang dari rongga langit menjunam ke rongga kenangan

Itu maknanya, tarian silat yang membuat pisau tampak mekar

Tak akan melukai seseorang




 

TAFSIR PELANGI II

 

Tafsir pelangi berkabar, agar orang tahu akar

Agar aku tetap aku dan engkau tetap engkau

Dalam senyummu yang menggagalkan topan

Aku berdayung dan engkau bersampan

 

Meskipun bumi bisa dibagi

Dalam petak ladang dan pekarangan

Cobalah duduk, bayangkan langit, laut dan danau

Bayangkan kebebasan burung dan ikan-ikan

Air dan angkasa tak bisa dikapling

Tak bisa dibuat sejenis pematang yang bisa dilewati anjing

 

Dengan ketinggian bintang semalam

Semoga aku tahu kedalaman lautan

Kaharuman tanah perbatasan

Serta bisa minum dari kelepak capung

Yang setiap pagi mengibaskan angin dan embun

Agar aku lebih menikmati

Lambaian tanganmu yang mekar di seberang

 

 

 


LANSKAP

 


Mulut dan jariku memainkan suling

Tapi kalah pada rohku yang melengking

Ketika mataku melihat Merapi

Ditandingi bayang-bayang yang menjulangi langit yang tinggi

Tapi di tengah kenyataan ini

Aku makin kecil makin bebal

Seharkat sebutir debu yang melekat telapak sandal

 

Itulah gunanya menakar pikir yang tak terukur

Baik oleh jengkal atau lagu tekukur

Kita nikmati kelebat suling berkawan tambur

 

Tambur yang renyai

Mengumandangkan senyum musim menuai

Di bawah awan yang berjingkrak

Menjadi kaligrafi sajak-sajak

Yang bercermin di danau Singkarak

Orang-orang mulai ragu pada Washington

Yang membiarkan ribuan letusan bom

 

Burung lagi, burung-burung lagi

Yang menjelaskan damai pada aku di pantai

Atau engkau di kaki dangau

Di sudut lembah

Tempat paruh bangau menyisir kutu-kutu kerbau

 

 

 


RENUNGAN TEPI NGARAI

 


Aku harus menjelma siamang atau ular

Untuk memasuki belukar yang tak kunjung selesai itu

Di balik daun demi daun

Sedikit kubaca, sebihnya adalah rimba

Yang selalu bicara dengan bahasa rahasia

 

Menjadi ular, kususuri lubuk-lubuk bumi

Kumasuki lubang demi lubang, kuterjemahkan

Ke dalam bahasa yang tidak pernah didengar bulan

Itulah kenapa langit harus berbintang

Dan jalan disebut jalan karena dilewati orang

Tapi aku ular, tak mau lewat jalan yang dilewati orang

Aku menyerbu, mendesis dan memangsa

Katak atau puyuh tanpa serakah

Untuk menyambung hidup dan membuktikan

Bahwa aku hadir dan selalu pergi untuk mencari

 

Menjadi siamang, kupanjat ketinggian pohon

Kudengar bisik hujan pada daun

Kuteriakkan kesal karena kapak-kapak yang galak

Yang membabat pohonku, aku sedih

Tak tahu orang-orang yang membaca buku

Suka merusak suka memburu

Apa guna sekolah dan gelar yang mekar

Di samping nama, kalau lubang kiamat

Digali sendiri

 

Kembali menjadi orang, aku tak mampu

Menghitung hutang, sejarah yang darah-darah

Cerita dan airmata, perang dan

Senapan membuat kiblat bertanya

Sejauh kapan bumi bisa berdandan?







MANINJAU


 

Berkelok jalan turun Maninjau

Berbelit bagai nasibku, meskipun tiap kelok

Bagai lembar-lembar buku, yang menyimpan derap darahku

Derap-derap akan berharga kalau kata menyimpan sejarah

Atau menjadi sajadah

 

Aku seperti laut yang dangkal

Tak punya terumbu karang dan ikan-ikan

Tapi Maninjau bukan laut

meski tak dangkal

Dan membiakkan jutaan ikan

Purnama sering berwudu di sini bergantian dengan kartika

Agar bisa membetulkan senyumnya kepada Ilahi

Aku telah meninjau, ini danau Maninjau

Untuk menyisir jejak dan nafas Buya Hamka

Yang disimpan bayang-bayang pohon kapuk yang tua

Di tepi jalan di tepi danau

 

Riak-riak danau yang bergerak

Berpendar-pendar memacu dahaga

Kata-kata pun berjingkrak

Aku makin pengembara, makin kelana

Yang makin haus untuk menyelam

Ke langit untuk minum madu keyakinan

Yang hampir tak dicari orang

 

Tapi kenapa kehausan ini hanya sesekali

Membuat lava menyalakan magma

Dalam diriku? Kupanggil biru tapi ungu yang datang

Kupanggil kapak yang datang landak

Kupanggil sampan yang datang langau

Yang mengacaukan subuh-subuhku

 

Karena bernama Maninjau kususur jalan ke Sungai Batang

Kutemukan majalku menyia-nyiakan kata

Kamus tergeletak di sudut beranda Buya Hamka

Untung aku menemukan kata “beliau”

Pada senyumnya, tanpa bermaksud jadi feodal

Kamus itu kubawa pulang

Aku tidak menyesal menjadi diri

Menjadi santri, menjadi orang

Maninjau yang terlambat datang ke hati seorang munsyi







BERTAHUN

 

Bertahun-tahun kami bertahan

Pada setangkai ranting bernama takdir

Tak ada yang mengusir

Tapi terasa, dan seperti nyata

Ilalang suka mencibir

 

Sawah yang hamil kalau tidak disiram darah

Dan ladang yang tak gembur kalau tidak digores pedang

Menunggu puisi yang menyapu tanpa lidi

Agar bendera tak hanya pandai berkibar lantang

Tapi bisa bersujud, menyukuri segenap wujud

 

Lalu mana otak-otak cemerlang

Yang kembang meniru bintang

Kalau tak bisa mengusir gelap

Kalau hanya menambah legiun gagap

 

Inilah keajaiban, semakin pandai orang

Semakin pandai membakar hutan,

Membiak virus dan menggadaikan tanah warisan

 

Bertahun kami bertahan

Pada setangkai kembang bernama melati

Seakan-akan sekadar main kata dengan nurani

Padahal kami ingin mengharkati bumi

Dan merias dengan kecermatan matahari







SINGKARAK

 


Pohon kelapa dan daun ketela

Tetap mencatat isyarat angin berjingkrak

Menggerakkan air Singkarak:

 

Keramas di ujung siang, nanti menyusui jantung malam

Bertingkat bukit mengambang suara bangsi

Banyak orang berkunjung ke rumah perawan

Dan hidup memang mahal

Tapi sedikit yang mampu membayar

Dengan harga yang tunai, dengan harkat yang pijar

 

Di sini aku mencari

Sebut saja akar, tempat jiwa mempercayakan lapar

Lapar yang awal, haus yang asal

Tak pernah berhitung air laut dan air tawar

Semua adalah melati, adalah mawar

 

Inilah sejarah singkat Singkarak

Membuai tapi juga teriak, mendesak

Agar saya berlayar ke tengah

Ke pusar danau ziarah

Tempat aku bertanya kepada aku

Tempat bersumbu semua arah

 

Kembali ke tepi, aku seperti puisi

Yang diasuh pokok dan daun randu

Dalam kembara yang meniti benang nurani

 




Tentang Penulis


D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron  mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top