Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi D. Zawawi Imron

0


CATATAN AKHIR TAHUN 2008


Senja ini tahun berganti

Antara pintu yang tertutup dan daun yang terbuka

Sayap-sayap zaman

Siap memekarkan sejumlah senyuman

 

Tapi sejauh manakah detik berjalan

Menyusun dan mengarang langkah ke depan

Esok yang mengintip dan esok yang setia

Punya kartu yang berbeda

 

Alangkah berat merangkak dari satu detik yang mau lepas

Meskipun terbangnya seringan kapas

 

Astaghfirullah!

Pada tahun yang pergi berbegegas

Ada umurku yang dimakan rayap




 

DAUN

 

Tak terpikir, daun-daun itu

Berkeping, berjuta keping

Tak bertulis, tapi kalau hatimu bisa menyikat

Pastilah akan terdapat ayat atau puisi

Tapi rimbunnya

Menyimpan laut untuk berlayar

Untuk diam atau untuk berkobar

 

Aku ingin membaca walau selembar

Atau sekeping yang gemetar

Daun yang urat-uratnya menyambung

Nyawaku ke perut busung orang-orang lapar

 

Sekeping daun yang kering

Yang konon ringan dibawa angin

Akan mencatat cuaca,

Embun yang berkilauan yang dulu memantulkan kasih

Hanya berbisik dalam tiada,

Karena fana bukan habis segalanya

 

Lembar demi lembar tak kan habis

Menampung perih bintang yang mendidih pedih

Membaca bumi yang pulang tanpa kaki

Tapi daun tetap daun

Setelah luluh ke dalam tanah

Yang kering pun akan kembali mengolah hijau


 



LAYANG-LAYANG SINGKARAK

 

Singkarak di tepi danau

Kota kecil untuk sujud, untuk keringat

Tapi aku memilihnya untuk mengigau

Dalam mimpi yang indah

Dosakah igau? Nanti dulu

Kita berembuk dengan airmata ibu,

Untuk apa kita mengalir

Meniru Batang Ombilin?

 

Menjadi sungai

Adalah saluran bagi danau

Untuk mengalir

Untuk ketemu laut

Dengan ombak yang mengajar nelayan

Mencintai air

 

Singkarak tidak berombak

Tapi danaunya kadang beriak

Berharmoni dengan takdir

Layang-layang terbang di atas sana

Memacu darah masa kanakku

Melawan rambu-rambu yang tak tampak

O, dunia dengan darah penuh gairah

Irama gendangmu

Membuat tak bosan aku menari

Meniru layang-layang

 

Saat matahari bercerita dengan gerimis

Belalai pelangi datang dengan warnanya

Kubuka keramahan

Pelangi minum ke dalam jantungku




 

SEKITAR KINCIR

 

Terlambat. Biarkan kalau sudah terlambat. Tidak!

Tapi orang bilang, terlambat bukan kiamat

Waktu kadang bagai cambuk kusir bendi

Tapi kadang bagai lembar-lembar bulu merpati

Yang runtuh sehelai-sehelai

 

Tapi kincir terus berputar,

Mengulang kemarin yang sudah dihapal

Aku mencatat, dan engkau berjalan

Ke mana bulan tak pergi-pergi,

Tak sampai-sampai kalau benar bumi berputar

 

Lalu hidup menjadi segar

Oleh air, oleh segala yang mengalir

Kecuali kincir yang merasa terkutuk

Oleh kebosanannya sendiri

 

Lalu kita memilih jangan dulu bicara jernih

Kita menempuh masih demi masih

Yang kita sayangkan pada waktu, pada detik-detik itu,

Seperti tak menderingkan kasih yang basah


 



PEMANJAT TEBING

 

Kau memanjat tebing Lembah Harau

Pasti ada yang engkau cari

Dari kekar otot-ototmu sendiri

 

Bukan kursi, bukan mahligai

Tapi tafsir dari sebuah pengembaraan

Meskipun kau bukan musafir

Bukan penyair

Tapi barangkali engkau seorang musafir

Yang tak mau gagal memberi tanda pada umur

Dengan sumur yang kau gali

Antara teka-teki hidup dan mati

 

Atau mungkin juga kau seorang penyair

Yang dianggap orang terlalu murah

Menghargai maut

Tapi engkau tidak menyahut

Atau sudah tak punya takut

 

Kulihat di atasmu langit miring

Tapi tanganmu menjalar melebihi akar

Meskipun pelan, ada sesuatu yang dikejar

Yang padaku terasa asing





Tentang Penulis


D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron  mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top