Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Suminto A. Sayuti

0


 Engkau Sendirilah Kesabaran Itu

 

I/

 

di pembaringan kaurajut jerami cinta.

aku pun terjaga. ketika bayangmu meruang.

kita berbagi kata. fondasi rumah masa depan.

kita urai kristal-kristal kenangan. adalah makna bagi sisa usia. pohon kesabaran yang dulu kautanam.

kini berbunga sudah.

 

adalah harum kasturi yang meruah. kini berbuah sudah. adalah kesetiaan yang taksudah.

 

dan di ujung malam yang merona merah.

bayangmu menghilang. tapi tetap ada

di berbagai arah.

 

II/

 

seperti biasanya. takada balon dan lampu

warna-warni. yang ada cuma kata-kata. lalu puisi sunyi. pendar-pendar cahaya meruang dalam rongga. lalu alir doa bersama air mata.

 

engkau tahu. ketika aku bersama anak cucu.

larut dalam sekutu puji dan puja. mengenang

senyum dan tawamu di serambi surga.

benih yang kautanam dulu. kini telah tumbuh kembang. batangnya mulai menjulang.

reranting berdaun rindang. di bawahnya aku berteduh. bersama anak cucu. sebatang pohon kesabaran. berbunga cinta. berbuahkan setia.

 

engkau pun tahu. pada saatnya kita bakal ketemu. berbagi kenangan. di rumah yang dijanjikan.

 

III/

 

cuma bayangmu yang meruang. tapi pohon kesabaran yang dulu kautanam. kini mulai

berbunga dan berbuah. karena engkau sendirilah kesabaran itu. aku melihat dengan jelas. dalam bahasa anak dan cucu.

 

aku pun setia di tepian batas. seperti engkau

pun setia di rumah yang dijanjikan. menungguku dengan senyum. juga salam. karena, seperti

katamu, rumah itu rumahku juga. pada saatnya.

 

IV/

 

ingin kuterjemahkan kembali sorot mripatmu.

yang melati. pagi itu. menjadi baris-baris puisi abadi.

biar wanginya hinggap di dedaunan pohon rindang.

yang tumbuh tegak di pekarangan kalbu.

 

sebatang pohon kesabaran. yang 40 tahun lalu

kausemaikan benihnya. kausirami dengan air kasih

sayang. kaurawat dengan pupuk kesetiaan.

 


 


Aku Pun Tiada dalam Ada

 

“aku tahu,” bisikmu di tengah raung malam.

“engkau tetap tegar dan sekukuh merapi.”

 

antara jaga dan tidur, aku raih tubuhmu.

ingin kembali kuterjemahkan kehendakku

ke dalam kehendakmu. kuterjemahkan tubuhku

ke dalam tubuhmu. kuterjemahkan sukmaku

ke dalam sukmamu. tapi engkau ada dalam tiada.

aku pun tiada dalam ada.

 

antara ada dan tiada. jarak takpernah

                                                memisahkan kita.

 

 


 

Sebuah Jalan

 

nomor induk kematian. itu NIK,

jelas dalam canda. engkau pun tertawa.

 

“bacalah dengan cermat,” pintaku.

 

“oh, iya. di sana tertulis dengan jelas,” katamu dengan seulas senyum.

 

“tertulis atau ditulis,” sergahku.

 

engkau pun diam. mengiyakan.

jari-jari tangan kita tidak saling

                                    menceraikan.

 

kamu pun mengaminkan.

kematian cuma sebuah jalan.

menuju rumah keabadian.

 

kematian cuma sebiji kata yang

dimitoskan. kata yang membuat kita

merasa pernah terjaga.

 

yang membuat kita merasa

pernah hidup dengan jantung

            kita yang berdegup.

 

 


 

Menyelinap ke Balik Kelam

 

di ceruk sindoro-sumbing.

matahari jatuh di gunung miring.

bayang-bayangmu meruang,

lalu semerbak kembang.

si gagar mayang.

 

“jangan bilang aku takada

di antara anak cucu,”

bisikmu perlahan. di telinga kanan.

 

“aku selalu hadir

melengkapkan hari-hari kalian.”

 

lalu sunyi.

bersama matahari mengawal malam.

engkau pun menyelinap ke balik kelam.

meniti pelangi. menuju rembulan.

di antara gurau dan tawa anak cucu.

gunung miring kelabu. lalu pathetan.

 

“sisanya cuma sendu, istriku.”

 

 


 

Di Utara, Pada Tangkai Daun

 

di utara. engkaulah angin gunung

yang menyapu mendung.

menipu harapan bagi jiwa murung.

adalah isyarat bagi daun

agar tetap bertahan pada tangkai.

adalah lambai bagi gapai

yang taksampai-sampai.

 

engkau pun paham.

aku cuma setangkai daun

yang mencoba bertahan.

                        sekeping jiwa murung

di ngarai tersaput kabut.

menunggu panggilan demi panggilan.

menanti kereta dengan empat kuda

sebagai jemputan.

 

 


 

Di Timur, Pada Tinta Embun

 

di timur. engkaulah fajar hari

yang meredakan gelisah mimpi.

puisi pun kutulis dengan tinta embun fitri.

selembar asa kaurajut dari benang-benang usia.

aku pun tahu. untuk siapa kaugelar

permadani cinta beraroma cempaka.

di bawah cahaya itu. kecuali untuk anak-anak

                                    dan cucu-cucu.

aku pun sedia mengawalnya.

hingga tiba janji sang waktu.  

 

 


 

Di Selatan, Pada Angin Laut

 

di selatan. engkaulah landai pasir putih pantai.

gelombang pasang pun reda. dan sapa

mawarmu pun sampai. penuh cinta bagi

jiwa bahagia. ketika diri beringas angin laut.

engkau pun selendang bagi jiwa haus pagut.

dekap hangatmu merayapi rongga-rongga dada. karena bagi laut dan gelombang, tepian pun        

senantiasa sedia.

 

ah, jiwa yang rindu jiwa.

adakah tapal batas antara air dan tepian.

adakah batu-batu jarak yang tertata.

demi memisahkan dua jagat berbeda.

                                                dua jagat cinta kita.

yang sejatinya tetap tunggal makna.

 

 


 

Kita Tulis Puisi

 

“malam sudah larut,” bisikmu dari kelam.

dalam aroma mawar segenggam.

 

“sebait lagi, istriku,” tawarku dalam gumam.

 

segumpal puisi dirampungkan.

sebelum ninabobo engkau lantunkan.

lalu derit kata-kata saling bersentuhan.

kalimat demi kalimat menuliskan hikayat.

narasi hayat yang tak berkesudahan.

cinta yang tak terceraikan.

 

“lusa akan aku baca,” lanjutmu

dalam katup mata yang cempaka.

 

“aku mengantuk. mau tidur duluan.

silakan kamu lanjutkan. kutunggu kamu

di pinggir waktu. takusah tergesa.

walau tidur aku tetap terjaga.

 

 


 

Ketika

 

ketika aku pun pohon kelam.

engkau pun daun-daun cahaya.

 

ketika aku pun kembara.

mencari batas antara ada dan tiada.

engkau pun mega-mega katulistiwa.

hingga gelisah pun reda.

 

ketika adaku dan tiadamu menyatu.

sisanya cuma onggok rindu.

kata-kata pun bisu. lalu kembali.

engkau pun dedaun cahaya.

 

lalu kembali. langkahku satu-satu.

menujumu. cuma menujumu.

 




Tentang Penulis


SUMINTO A. SAYUTI lahir di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, 26 Oktober 1956. Pada dekade 1970-an saat tergabung dengan komunitas Persada Studi Klub Yogyakarta, namanya tidak pernah absen dalam forum-forum diskusi sastra maupun pementasan-pementasan puisi dan teater. Di kalangan seniman Yogyakarta, Suminto dikenal sebagai pemuda “bengal” yang tidak pernah puas dengan ilmu yang didapat. Proses kreatifnya dimulai dari kegemarannya membaca dan menulis sejak kecil. Semakin tersihir oleh dunia sastra sejak masuk Yogyakarta sekitar 1974. Sejak bergabung dengan komunitas Malioboro, mulailah ia menancapkan kukunya di dunia sastra. Penulis yang Guru Besar UNY ini, juga menggeluti seni karawitan dan menggagas serta pengurus Masyarakat Karawitan Jawa. Ratusan karya lahir darinya, baik berupa makalah, diktat, buku, kumpulan puisi, cerpen, esai sastra, dan sebagainya.

 

Daftar ini hanya memuat sebagian karya Suminto A. Sayuti :

  • Kumpulan Sajak Malam Tamansari
  • Resepsi Sastra
  • Intertekstualitas: Pemandu Pengkajian Sastra
  • Ensiklopedia Sastra Indonesia
  • Evaluasi Teks Sastra (2000, terjemahan The Evaluation of Literary Texts karya Rien T. Segers)
  • Semerbak Sajak (2000)
  • Berkenalan dengan Prosa Fiksi (2000)
  • Berkenalan dengan Puisi (2002)

 

Penghargaan :

  • Kedaulatan Rakyat Award, Bidang Kebudayaan (2005)
  • Anugerah Sastra Yayasan Sastra Yogyakarta (2014)



Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top