Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Bagus Sulistio

0


 SHINJUKU DAN PEREMPUAN BISU

 

Cahaya mentari kian merangkak ke arah barat. Ia terus terbenam hingga cahaya lampu bingar-bingar menggantinya.

"Habis ini mau ke mana?" tanya Kenzo.

"Entah lah. Mungkin langsung pulang," jawabku sekenanya.

"Sepertinya kamu harus menikmati salah satu distrik di dekat sini." Aku mengernyitkan dahi. Tidak tahu akan menjawab apa. Sebagai orang asing di Jepang, aku hanya bisa mengiyakan segala ajakan teman kerja baruku ini. Baru dua bulan aku pindah ke negeri sakura. Semenjak kenaikan pangkat di Indonesia, aku dikirim oleh atasan untuk kerja di sini.

"Kinerjamu bagus. Aku akan memindahkanmu ke pusat perusahaan ini. Tenang saja. Untuk masalah gaji, aku akan melipatgandakannya hingga lima kali lipat," ucap atasanku dua bulan lalu. Hatiku tidak bisa menolak tawaran gila itu. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan dan akhirnya berada di negeri yang cukup asing untukku. Perlu waktu dua bulan untuk menyesuaikan diri. Rasa makanan, budaya kerja dan kehidupan di sini berbeda jauh dengan di Indonesia. Aku hampir kewalahan untuk mengikuti budaya Jepang. Namun, Kenzo selalu mengajari dan memberitahuku untuk fleksibel di sini.

Seperti biasanya, Kenzo memberitahu hal baru kepadaku. Ia mengajak ke tempat hiburan yang terkenal di dekat kantor kami bekerja.

"Tenang, tempat itu tidak akan menguras dompetmu kok."

Setengah jam setelah kantor tutup dan karyawan sudah pulang semua ia mengajakku masuk ke mobilnya. Kami berangkat tepat matahari telah hilang di langit. Malam menjadi teman kami saat itu. Lampu jalan menerangi laju mobil. Jalan-jalan yang dipenuhi pejalan kaki kadang mengganggu laju mobil kami. Namun aku suka budaya Jepang yang selalu mengunggulkan pejalan kaki atas pengendara mesin.

Tidak sampai setengah jam semenjak meluncur dari kantor, kami tiba di distrik Shinjuku. Benar kata Kenzo, daerah hiburan ini benar-benar menghiburku. Belum masuk ke salah satu bar saja mataku sudah dimanjakan oleh gadis-gadis mungil Jepang. Mereka berjalan melenggak-lenggok di tepi jalan distrik tersebut. Sebagian berjalan sendirian, sebagian bersama seorang laki-laki, dan sebagian lagi bergerombol.

"Dari sekian bar di sini, ada satu bar yang selalu membuatku rindu," celetuk Kenzo ketika sedang menyetir.

"Apa yang membuatmu rindu akan bar itu?"

"Nanti kamu juga akan tahu." Aku tidak melanjutkan perbincangan dan pertanyaan. Kenzo pun terlihat asyik dengan kemudinya walaupun mobil tunggangan kami berjalan sangat lamban. Perlahan tapi pasti ia memarkir mobilnya di sebuah gedung khusus parkir. Kami turun lalu berjalan kaki di distrik itu. Langkah kaki kecil Kenzo terlampau cepat bagiku. Aku sedikit kesulitan mengimbangi jalan Kenzo. Kami hampir terpisah karena ramainya tepian jalan dan perhatian mataku yang menjelajah.

"Dasar orang udik," ejek Kenzo. Akhirnya aku harus fokus kepada tubuh Kenzo. Aku mengikuti setiap langkahnya. Ketika ia berbelok, aku pun demikian. Hingga kami masuk ke sebuah bar yang tampaknya jauh lebih kecil dibanding bar lainnya.

"Tempat seperti ini yang kamu rindukan?" tanyaku.

"Iya. Bukan perihal tempatnya yang membuatku terkesima, tetapi orang di dalamnya."

Kenzo menghampiri bartender tempat tersebut. Ia memesan sebotol sake untuk kami berdua. Kami duduk di sofa yang berada di pojok bar. Aku melihat pemandangan langka dengan takjub. Sepasang muda-mudi Jepang saling berinteraksi dan duduk bersama.

"Apakah kamu ingin memesan gadis?" Aku terkejut dengan pertanyaan Kenzo. Aku baru tahu bahwa gadis itu seperti barang yang dapat dipesan.

"Apakah kau sudah gila? Mana mungkin hal itu terjadi."

"Hey orang baru. Selama kamu punya uang, apa yang kamu inginkan akan ada di depan mata." Kenzo melambaikan tangannya ke bartender tadi. Sang bartender meneruskan pesan Kenzo dengan tepukan tangan. Seketika muncul gadis-gadis dari salah satu pintu di sana. Aku semakin terkesima dengan tempat ini. Beberapa gadis berpakaian seksi mendekati kami. Walaupun aku senang, namun aku merasa canggung akan hal itu.

"Ayo nikmati malam ini, Sayang." Seorang gadis Jepang membelai pipiku lembut. Ia kemudian mengelus pahaku yang dilapisi celana bahan hitam. Aku semakin merinding ketika gadis-gadis tersebut bringas membelai.

"Walaupun banyak gadis di depan kita. Namun aku lebih tertarik dengan salah satu gadis yang belum muncul," bisik Kenzo persis di telinga kananku. Aku tidak menyahut perkataannya. Aku sudah telanjur kaku. Di depan dan kiriku sudah ada gadis yang menggoda. Mereka menarik-narik tanganku untuk berdiri. Ketika aku sudah berdiri, mereka kembali menarik tanganku. Aku dibawa ke pintu tempat mereka keluar. Setelah melewati pintu, sebuah lorong kecil terlihat. Kanan dan kiri lorong terdapat beberapa kamar. Di salah satu kamar itu aku dibawa mereka. Sebuah kamar sempit yang hanya menyediakan satu ranjang tidur. Aku duduk di bibir ranjang dan dihadapkan dengan dua orang gadis. Mereka menggoda dan aku dipenuhi birahi.

Setengah jam yang penuh syahwat telah lewat. Aku keluar dari kamar meninggalkan dua orang gadis yang tergeletak lemas. Saat aku keluar, Kenzo berada di depanku.

"Sudah selesai?" tanyanya sambil membenarkan resleting celana. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Kenzo. "Kamu hebat juga ya bisa mengalahkan dua gadis sekaligus. Oh ya, ini Kazumi." Kenzo mengenalkan seorang gadis yang tampak berbeda dengan yang lain. Wajahnya tidak seperti orang-orang Jepang. Jika aku tak salah, wajahnya seperti orang-orang Indonesia dengan kulit sawo matang.

"Apakah wanita ini yang membuatmu rindu akan tempat senakal begini?"

"Tentu saja. Dia sangat manis dan liar. Sayangnya dia ini bisu. Makanya kalau kamu bertanya kepadanya, kamu tidak akan pernah mendapat sepatah kata pun keluar dari mulutnya," terang Kenzo dan Kazumi hanya tersenyum ketika lelaki itu berusaha menjelaskan tentang dirinya.

Kami keluar dari lorong. Kami mengajak Kazumi duduk ke tempat awal minum sake tadi. Mulai saat itu aku selalu memerhatikan gerak-gerik Kazumi. Walaupun ia tak pernah bicara, raut mukanya sangat menggoda. Aku hampir terbuai dengan kecantikannya. Namun aku sadar ia milik sahabatku.

"Aku sudah tidak kuat lagi. Aku ingin pulang, apakah kau ingin ikut atau ingin bersenang-senang dulu disini?" tanya Kenzo yang mabuk berat.

"Aku ingin menikmati suasana baru dulu di sini."

Kenzo pergi diantar oleh beberapa orang wanita penghibur keluar. Tinggal aku dan Kazumi yang berada di lingkaran itu. Lagi-lagi aku dibuat canggung. Aku tidak tahu akan berbuat apa kepada perempuan bisu. Kami hanya diam hingga suasana bar tersebut benar-benar sepi. Untuk mengisi waktu sepi ini, aku mencoba mengasyikkan diri dengan gadget—membuka beranda akun sosial.

"Sumi. Namaku Sumi." Dua kalimat lirih keluar dari mulut bisu Kazumi. Sontak aku kaget bukan main mendengar suara halusnya. Label bisu yang disandangnya kini hancur oleh dua kalimat yang menggunakan bahasa ibuku.

"Sumi?" Aku mendekatkan diri dan berusaha mengobrol dengannya. Dan tampaknya berhasil. Kazumi benar-benar berbicara kepadaku namun dengan suara yang lirih.

"Ya, nama asliku Sumi. Aku berasal dari tempat engkau berasal," jelasnya lagi dengan bahasa kami—bukan Jepang.

"Bukankah kau seorang perempuan bisu?"

"Lebih tepatnya pura-pura bisu." Kazumi alias Sumi mengambil bungkusan rokok dan korek api gas yang berada di atas meja depan kami. Ia mengambil sebatang rokok di dalamnya lalu mengampitnya dengan sepasang bibir yang manis. Rokok disulut dan ia menghisapnya dalam-dalam. Kemudian menghembuskannya dengan lepas. "Aku tak kuat menahan beban ini lagi. Aku ingin bercerita namun aku takut melimpahkan ke orang yang salah," jelasnya lagi.

"Maksudmu?" Aku benar-benar tidak mengerti perkataannya. Ketidaktahuan dan kepolosanku nyatanya membuat Sumi tertawa.

"Kau ini laki-laki bodoh ya," ia kembali tertawa. "Apa kau tidak pernah berpikir bagaimana rasanya seorang perempuan menjadi pelacur untuk negeri lain."

"Pastinya menyedihkan. Lalu kenapa kau memilih menjual diri di sini dan berpura-pura bisu?"

"Ceritanya sangat panjang. Yang jelas aku dikelabui oleh orang sini dan dijual di sini. Jika aku berani kabur, aku dan keluargaku bisa-bisa habis oleh orang-orang biadab itu."

"Lalu, kalau bisu?" tanyaku yang dibalas oleh gelak tawanya.

"Selain bodoh, kau juga seorang yang tak sabar ya." Ia menghisap kembali rokoknya dan menghembuskan asap itu tepat di wajahku. "Apalagi yang bisa dibanggakan dari pelacur yang menjual diri ke negeri orang lain? Aku ingin merdeka, namun tubuhku saja sudah dijajah. Maka salah satu cara agar aku merasakan merdeka adalah dengan memerdekakan bahasaku sendiri."

Sebenarnya aku tidak paham dengan apa yang dikatakannya. Namun aku takut dihina lagi oleh wanita ini. Aku pun memilih menangguhkan pertanyaan hingga ia sendiri yang akan menjelaskannya kepadaku.

"Aku bersumpah tidak akan menggunakan bahasa mereka untuk berbicara kepada mereka. Walaupun itu sulit, aku sangat merasa senang dapat melakukannya. Jika tubuh ini tak bisa merdeka, setidaknya bahasa yang aku miliki jangan sampai dijajah," jelasnya dan diakhiri oleh hisapan panjang rokok di tangan mungil itu. "Ya sudah itu saja yang aku ingin bicarakan. Setidaknya aku telah lega mencurahkan isi hati kepada orang yang baru aku kenal. Namun aku juga bangga bisa berbicara dengan bahasa ini setelah sekian tahun tak terucap."

Aku hanya terdiam. Aku tidak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasannya. Tidak habis pikir, ada saja orang hebat seperti dirinya di dunia ini. Aku seperti terhina karena terkadang merasa bangga menggunakan bahasa asing. Aku terus merenungi perkataannya. Sehingga menimbulkan kebisuan di antara kami berdua. Kebisuan yang bertahan lama membuatnya jenuh dan meninggalkan aku sendirian. Aku pun tidak akan menghabiskan waktu sendirian di tempat ini. Aku pulang membawa beban pikiran.

Hampir semalaman aku tidak bisa tertidur pulas. Pikiranku diganggu oleh ucapannya. Untuk membayar rasa penasaran, aku mengunjunginya lagi di keesokan malam. Usai sampai di distrik Shinjuku, aku tidak menemukan Kazumi alias Sumi di bar itu. Aku semakin penasaran. Kucoba mencari tahu kepada bartendernya.

"Aku dengar ia mati bunuh diri kemarin malam. Tapi biarlah, masih banyak gadis-gadis di kota ini yang bisa Anda pesan."

 




Tentang Penulis


Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya pernah menjadi nominator sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah, Juara 2 esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Suara Merdeka, Kompass Id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi. Nomor Hp/WA. 083126620440. Facebook : Bagus Sulistio.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top