Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Dewandaru Ibrahim Senjahaji

0


DI BALIK KABUT NARMADA

 

Seorang dari kaum Rakshasa yang didandani dan mirip sekali seperti Rahwana itu digelandang oleh prajurit Arjuna Sasrabahu, ia diikat dan diarak berkeliling sebelum dibawa ke alun-alun Maespati. Tubuhnya yang gagah telah penuh luka dan hampir tak bisa dikenali, tapi dia tak merasakan sakit di tubuhnya sedikitpun, selain rasa sakit atas kesewenang-wenangan yang telah menindas kehormatan perempuan, rakyat kecil, dan keserakahan yang menciptakan kerusakan alam. Di tengah pidato kenegaraan Arjuna Sasrabahu, kesadarannya sudah hampir hilang, dia tak dapat melakukan apa-apa. Tapi di balik tubuhnya yang terikat tak berdaya, dadanya yang sesak, dan nafasnya yang tersenggal; api perlawanan masih berkobar dan takkan pernah padam.

***

Kala itu di sebuah pertapaan di daerah Bhadravasvavarsa dekat sungai Narmada, seorang laki-laki bertubuh legam, berperawakan gagah dan kekar, tiba-tiba terbangun dari semedinya. Dia meloncat dan mengaum laksana gemuruh guntur di musim ke tujuh. Perasaan kecewa dan marah tampak jelas di sorot matanya yang nyalang. Orang-orang di sekitar pertapan yang mendengar teriakannya itu segera menghambur dan menuju ke sumber suara tersebut. Masih dengan napas yang memburu, laki-laki itu berkata dengan nada yang berat dan berwibawa.

“Aku melihat genangan darah meluap dari sungai Narmada!” Orang-orang di sekitarnya menunduk, kepala mereka diliputi dengan tanda tanya, akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang menganggap perkataan itu adalah mimpi atau halusinasi semata. Mereka semua sangat sadar akan pertanda yang didapat oleh seseorang yang telah diwejang ilmu Sastra Jendra Vijnana (Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu). Dengan satu tarikan napas, laki-laki itu melanjutkan

“Marica! Bawalah beberapa orang bersamamu, selidiki apa dan siapa yang sedang membuat ulah di sekitar sungai Narmada.”

Sendika dawuh, Sinuwun.” Ditya Kala Marica, Rakshasa ahli penyamaran dan intelejen Alengka itu segera menyahut, matanya menatap ke beberapa rekannya, memberi isyarat anggukan dan kemudian melangkah pergi.

“Untuk yang lain, segeralah evakuasi warga pertapaan atau pun warga desa sekitar pertapaan, terlebih untuk yang tinggal di daerah yang lebih rendah, bantulah mereka menuju ke tempat yang lebih tinggi. Aku punya firasat yang buruk terhadap tempat ini!”

Sendika!.... Sendika!... Sendika!.... Mohon pamit Paduka!” Orang-orang Alengka itu segera menyahut dan segera melaksanakan perintah dari raja mereka; Rahwana.

Selang beberapa jam kemudian, para penduduk di sekitar pertapan mulai menuju ke tempat yang lebih tinggi. Mereka di bantu oleh prajurit-prajurit Alengka. Salah seorang prajurit menghadap bersama beberapa penduduk.

“Paduka Raja Prabu Rahwana...” Prajurit itu memberi hormat kepada rajanya, kemudian mempersilakan penduduk itu untuk menghadap.

“Mohon izin, Sinuwun, hamba mendapat kabar bahwa permaisuri Raja Maespati; Dewi Citrawati (titisan Dewi Sri / Dewi Kesuburan), mengingikan mandi bersama selir-selir Prabu Arjuna Sasrabahu yang berjumlah delapan ratus. Untuk mewujudkan keinginan permaisuri tersebut, Prabu Arjuna Sasrabahu melakukan triwikrama, triwikrana berwujud brahala sewu itu tidur melintang dan membendung sungai Narmada.”

***

“Ketiwasan, Sinuwun. Ada bendungan besar yang memotong sungai Narmada. Bendungan itu berbentuk seperti seorang raja yang sedang tidur melintang. Bendungan itu dibangun oleh raja Maespati, Prabu Arjuna Sasrabahu. Pembangunan bendungan tersebut menjadikan air naik di hulu sungai dan membanjiri daerah sekitar sungai. Tidak hanya itu, penambangan batu yang dilakukan oleh orang-orang Maespati juga mengakibatkan beberapa desa di sekitar sungai Narmada mengalami kerusakan lingkungan hidup” Kala Marica agak ragu untuk mengatakannya, ia sedikit menunduk. Rahwana yang melihatnya segera tanggap.

“Katakan Kala Marica, akan kudengarkan.”

“Kami melihat air di sekitar bendungan berwarna merah seperti air yang bercampur darah, Paduka.”

“Bukankah katanya bendungan itu untuk mandi permaisuri dan delapan ratus perempuan lain yang dijadikan selir ?” kening Rahwana agak berkerut seperti memikirkan sesuatu.

“Keparat! Itu hanya pencitraan dan ternyata benar firasatku.”

“Satu lagi, Paduka. Sang Sukrasana, Ksatria berdarah Rakshasa yang tekenal dengan dharmanya itu telah tewas terbunuh beberapa hari yang lalu setelah peresmian taman kerajaan.”

“Siapa yang telah membunuhnya?”

“Menurut kabar, ia telah tewas oleh kakak kandungnya sendiri; Patih Sumantri. Kabarnya Sumantri yang  mempunyai warna kulit lebih terang sebagai tanda bahwa keturunan kaum Arya, merasa malu dengan Sukrasana yang berkulit sebagaimana keturunan Kaum Rakshasa. Tapi maaf, Paduka, menurut hamba itu agaknya tidak masuk akal, sebab kabarnya Sukrasana mempunyai tubuh yang kerdil dan bermuka jelek, sedangkan sepengetahuan hamba Sukrasana adalah manusia normal seperti kita, hanya saja dia keturunan kaum Rakshasa di tengah kaum Arya.”

Mendengar penjelasan dari Marica, muka Rahwana semakin merah padam.

“Memang kaum Arya tidak pernah menganggap Rakshasa, Naga, ataupun saudara-saudara kita yang lain sebagai manusia. Siapkan Pasukan! Kita gempur Maespati atas nama kaum Rakshasa, perempuan, dan orang-orang yang telah diinjak-injak oleh kesewenang-wenangan.”

“Ampun, Paduka Rahwana… Apakah sebaiknya dipertimbangkan dulu sambil kita mencari celah bagaimana melumpuhkan Arjuna Sasrabahu dan pasukan Maespati?” Patih Alengka yang bijak segera menyela.

“Ada apa, Paman Patih Prahasta yang bijaksana, apakah Paman meragukan kekuatan Alengka?”

“Bukan begitu, Anakku” Patih Prahasta menarik napas panjang. Dalam hatinya sama sekali tidak ada keraguan, hanya saja Patih Prahasta ingin Rahwana lebih hati-hati ketika berhadapan dengan musuh yang mempunyai gerakan terstruktur, sistematis dan terencana.

“Maespati merupakan kerajaan yang besar dan kokoh. Arjuna Sasrabahu sendiri terkenal sakti dan pandai bertempur. Belum lagi kabarnya ia merupakan titisan Wisnu dan dapat bertriwikrama menjadi brahala sewu.” Patih Prahasta mencoba menjelaskan dengan halus tentang orang-orang Maespati yang pandai membangun cerita dan citra.

“Paman Patih Prahasta, bisa jadi citra itu dibangun, toh laporan dari Kala Marica mengatakan bahwa yang menutup sungai Narmada bukanlah brahala sewu, melainkan bendungan yang sengaja dibangun menyerupai seorang raja yang tidur melintang. Aku tidak meragukan kemampuan tempur Kaum Rakshasa yang tangkas dan disiplin. Lagi pula, apa yang dilakukan orang-orang Maespati itu harus segera dihentikan sebelum menimbulkan bencana besar dan menelan lebih banyak korban.”

“Baiklah, Ngger… jika itu memang keputusanmu aku yang tua ini akan tetap mendukung, tapi aku harap jangan sampai membawa terlalu banyak penderitaan orang banyak.”

***

Pagi itu, surya telah menggantung namun langit mendung,  awan-awan hitam seolah tak mengizinkan sinar surya bersetubuh dengan tanah, hawa dingin perbukitan itu pun masih terasa begitu menusuk kulit. Pasukan Alengka yang dipimpin Rahwana dengan perlahan namun pasti mulai mendekat ke arah bendungan Narmada. Tidak seperti biasanya, pasukan itu tidak menabuh iring-iringan perang, mereka hanya berjalan dengan kesunyian dan dada yang terbakar. Semakin mendekat ke arah bendungan, Rahwana dan yang lainnya semakin mencium bau aneh, seperti darah manusia yang masih segar bercampur dengan bau tanah pagi hari.

“Paduka!” Teriak salah seorang bawahan Marica.

Terlihat di depan pesanggrahan di dekat bendungan itu penuh dengan mayat-mayat yang tergeletak. Tanah telah berubah merah dan udara beraroma anyir darah.

“Patih Sumantri!” Kala Marica tersentak. Rahwana dan beberapa pembesar lainnya segera mendekat.

“Astaga! Cari tubuhnya, dan satukan, orang-orang ini layak untuk dihormati sebagai ksatria” Rahwana segera memangku kepala Sumantri. Seketika suasana menjadi tegang dan orang-orang tercengang.

Di sela-sela ketercengangannya, pasukan itu kembali dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak di antara tumpukan mayat yang menggunung. Sebuah lengan yang tertimbun mayat-mayat bergerak, jari-jarinya menggapai-nggapai, sontak para prajurit Alengka segera menyingkirkan mayat-mayat yang menimbun. Orang itu tampak lemas dan sekarat. Rahwana segera mendekatinya.

“Beri dia air!” teriak Rahwana.

Setelah meminumkan, beberapa prajurit mencoba mengevakuasi dan mengangkat tubuhnya, tapi orang itu menolak.

“Tidak usah repot-repot, Paduka. Hamba sangat berterimakasih…, tapi hamba rasa kematian telah semakin dekat dan segera menjemput hamba.” orang itu berkata dengan suara serak dan pelan, serta sesekali terbatuk.

“Ada yang ingin hamba sampaikan sebelum hamba menyusul saudara-saudara hamba ke swargaloka….” Orang itu menghentikan kata-katanya sambil melirik mayat-mayat yang sedang dievakuasi oleh pasukan Alengka.

Ia menghela napas lalu melanjutkan dengan mata nanar

“Kampung hamba telah hancur. Orang-orang itu telah mengambil dan merusak semuanya. Setelah pembangunan taman Sriwedari, mereka belum juga puas, mereka ingin membuat bendungan yang sangat besar dan batu-batu yang membangunnya ditambang dari desa kami. Tanpa kesepakatan apapun. Ratusan prajurit tiba-tiba mengepung kampung kami, dan langsung merudpaksa tanah kami yang asri. Tanah kami yang dulunya bukit itu kini telah hancur bahkan tidak layak untuk kehidupan binatang”

Orang itu berhenti dan air kesedihan mulai menetes dari kedua matanya.

 “Patih Sumantri dan orang-orangnya tidak sependapat dengan kebijakan raja. Patih Sumantri dijadikan kambing hitam atas kematian misterius Sang Sukrasana di taman Sriwedari, taman yang bangun sendiri. Sepengetahuan hamba, Sang Sukrasana, ksatria berdarah Rakshasa yang bijak itu telah terbunuh setelah menolak pembangunan bendungan. Kami selama beberapa waktu dapat selamat di bawah perlindungan Patih Sumantri.”

Ia menatap ke arah kepala Sumantri, ia sedikit terisak, dengan menahan perasaannya dan kembali bercerita.

“Tapi apa daya... kami hanyalah orang kecil sementara mereka datang dengan berlaksa-laksa tentara. Fajar tadi, di bawah pimpinan Patih Sumantri, kami menginginkan keadilan, tapi beginilah akhirnya. Kami tetap kalah dan terkapar di bawah tirani kekuasaan” orang itu menatap ke langit, nafasnya semakin payah.

Dengan sisa kekuatannya ia melanjutkan “Anak dan istri kami sedang berjalan menuju ke Bhadravasvavarsa, tolong selamatkan mereka, Paduka...” Ia menarik napas panjang  “Kemarin tanah kami.. bukan tidak mungkin… be..sok.. hal ini terjadi di ta..nah.. ka…li…an…”

Orang itu memandang sekelilingnya sebelum pandangannya mengarah ke langit dan setelah beberapa saat kemudian matanya tak lagi berkedip.

Rahwana dengan perasaan hati yang bercampur segera memerintahkan pasukannya untuk mengevakuasi para perempuan serta anak-anak, yang suami dan ayahnya telah gugur menjadi mayat. Sebagian pasukan yang lain, memindahkan mayat-mayat dan memberikan pada mereka upacara kematian sebagaimana seorang kusuma bangsa yang gugur. Hati Rahwana terasa sesak, ia ingin sekali menggempur Maespati, tapi ia tidak bisa membiarkan anak-anak dan perempuan terlunta-lunta tanpa suaka.

***

Mengetahui Rahwana telah sampai ke Maespati dan telah mengurus mayat-mayat pasukan Sumantri, Arjuna Sasrabahu geram. Raja Maespati itu memerintahkan pasukannya untuk mencari seseorang berdarah Rakshasa dan mendandaninya seolah-olah seperti Rahwana. Orang yang dimirip-miripkan dengan rahwana itu diikat dan diarak keliling Maespati sebelum dibawa ke alun-alun. Setelah sampai di alun-alun dengan lantang Prabu Arjuna Sasrabahu naik ke mimbar “Wahai rakyat Maespati! Sumantri telah gugur, sekalipun dia telah berdosa membunuh adiknya, tapi jasanya tetaplah besar kepada Negara Maespati. Patih Sumantri telah gugur sebagai kusuma bangsa. Ia dengan gagah melawan Rahwana, Raja Rakshasa yang bejat! Tapi tenanglah, aku telah menangkapnya dan dia kini terikat seperti seekor monyet pencuri yang kehilangan ekornya! Hahaha!”

“Hidup Prabu Arjuna! Hidup Raja Maespati!”

Berita tentang Sukrasana, Sumantri, kekalahan dan kejahatan Rahwana itu segera menyebar ke seantero kerajaan, serta terus menerus terjaga oleh kekuasaan dari zaman ke zaman.

 

Purwokerto, Maret 2022





Tentang Penulis

Dewandaru Ibrahim Senjahaji, seseorang yang masih belajar menulis. Berproses di Sekolah Penulisan Sastra Peradaban (SKSP) UIN SAIZU Purwokerto. Pernah menjadi teman belajar anak-anak SMK Tujuh Lima 1 Purwokerto, sekarang menjadi kawan belajar anak-anak SMKN 2 Purwokerto dan belajar di Pascasarjana Sosiologi Unsoed Purwokerto.

 


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top